29 Jul 2009

SEGERALAH BERLARI MENUJU ALLAH

oleh : Zul Fahmi

Allah adalah dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia memberikan nikmat yang besar kepada seluruh hamba-NYA, kendati tidak sedikit dari para hamba tersebut selalu bermaksiat kepadaNYA. Allah masih tetap memberikan rezeki pada manusia, memberi kesehatan kepadanya, serta masih menyelamatkan hidupnya, ditengah-tengah kesibukan manusia tersebut menentang hukum-hukum Allah SWT.
Dan di antara sifat kasih sayang Allah terhadap hambaNYA tersebut adalah Allah selalu menyeru kepada manusia agar senantiasa bertaubat kepadaNYA karena dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukanya. Dia berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“ Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Semoga dengan taubat itu Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan akan memasukkan kamu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” ( QS. At-Tahrim : 8 )

Dalam ayat ini Allah menyeru manusia untuk bertaubat, karena dengan taubat itu ada alasan bagi Allah untuk menghapus dosa-dosa manusia, menyelamatkanya dari adzab neraka, serta memasukkanya ke dalam surga. Kalau manusia mau berfikir, sesungguhnya siapa yang butuh hidupnya selamat ? siapa yang butuh terbebas dari siksa neraka? dan siapa yang butuh masuk surga ? maka jawabanya adalah manusia. Allah SWT tidak pernah butuh kepada pujian dan bakti manusia, Allah juga tidak butuh ketaatan dan ketundukan manusia. Allah akan tetap agung nama dan sifatNYA, dan tetap suci serta mulya dzat-NYA tanpa ketaatan dari manusia. Keagungan serta kesucian Allah itu tidak akan pernah terpengaruh dan tidak akan pernah berkurang karena polah tingkah manusia.

Taubat adalah penyesalan manusia atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukanya. Dalam kitab “ Mukaffirotul Al-Dzunuub wa Muujibaatu Al-Jannah “ yang di tulis oleh Ibnu Daiba’ Asy-Syaibani dijelaskan bahwa Taubat itu harus memenuhi empat syarat, yaitu meninggalkan kemaksiatan yang telah dilakukan, menyesal telah melakukan maksiat tersebut, bera’azam untuk tidak mengulanginya dan yang keempat adalah minta penghalalan kepada orang yang telah dirampasnya apabila dosa itu berkaitan dengan perampasan hak-hak adami seperti menipu, mencuri, ghibah dan lain sebagainya. Itulah taubat dan syarat-syaratnya, dan begitu pula yang diterangkan oleh kitab-kitab akhlaq yang lain seperti “ Mukhtashor Minhajul Qosidin “ Ibnu Qudamah, “ Madarijus Salikin “ Ibnul Qoyyim Al-Jauziah, maupun ” Ihya’ Ulumuddin “ oleh Imam Abul Hamid Al-Ghozali.

Kemudian mengenai tingkatan orang bertaubat maka dalam hal ini ada tiga macam tingkatan. Seorang ulama zuhud Dzun Nun Al-Mishri rahimahullah mengatakan bahwa tingkatan taubat yang pertama adalah taubatnya orang awwam yakni taubat karena melakukan dosa dan pelanggaran, kedua adalah taubatnya orang khusus ( Khosh ) yaitu taubatnya seseorang karena lalai berdzikir dan beribadah kepada Allah, dan yang ketiga adalah taubatnya para Nabi dan Utusan, yakni taubat yang dilakukan oleh mereka para Nabi karena melihat penyimpangan-penyimpangan masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Sedangkan Abul Qosim Al-Qusyairi, beliau menyebutkan tiga macam tingkatan taubat, yang pertama adalah kata at-taubat itu sendiri yang menjadi sifatnya orang-orang mu’min, kedua adalah al-inabah yang menjadi sifatnya para auliya’ dan muqorrobin, kemudian yang ketiga adalah al-aubah yang menjadi sifatnya para Nabi dan Rasul.

Taubat sebagai sifatnya orang-orang mu’min adalah taubatnya orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, kemudian mereka merasa sakit karena perbuatan dosa tersebut, baik dengan merasakan kesusahan dalam hatinya maupun terkena musibah karena perbuatan dosa-dosanya, kemudian dia menyesal dan menyadari kesalahanya, lalu minta ampun kepada Allah SWT. Ini adalah tingkatan taubat yang paling rendah. Kemudia Inabah sebagai sifatnya para kekasih Allah dan orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah, adalah taubat yang dilakukan bukan karena menyesal melakukan dosa tetapi karena lalai dalam beribadah kepada Allah SWT. Karena mereka para auliya’ dan muqorrobin tersebut adalah orang-orang yang telah mampu menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa. Taubat tingkatan ini adalah seperti taubatnya Umar bin Khotthob ketika terlambat melakukan sholat ashar berjama’ah dengan mensedekahkan kebun miliknya, atau seperti taubatnya Ali Bin Abi Tholib karena terganggu sholatnya oleh burung yang bermain di dekat tempat sujudnya. Sedangkan Al-Aubah sebagai sifatnya para Nabi adalah taubat yang dilakukan bukan karena dosa dan kelalaian dalam beribadah tetapi karena melihat keadaan masyarakat dan kaumnya. Karena para Nabi tidak pernah melakukan dosa dan juga tidak pernah lalai beribadah kepada Allah. Mereka bertaubat karena merasa prihatin dan sakit atas kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan kaumnya.

Demikanlah tingkatan-tingkatan taubat. Entah masuk derajat manapun taubat kita, tapi yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk selalu bertaubat kepada Allah dan yakin bahwa pintu taubat senantiasa dibuka oleh Allah sampai hari qiyamat. Sesungguhnya seorang hamba yang tenggelam dalam kesalahan dan dosa tidak boleh berputus asa untuk mendapat rahmatNYA dan selalu berusaha keras kembali dalam ampunan-NYA. Allah mengecam orang yang berputus asa mendapat ampunan-NYA dan juga mengancam orang yang memutuskan harapan orang lain untuk mendapat ampunan-NYA. Bahkan Allah sangat senang apabila ada seorang hamba yang telah lama meninggalkan ketaatan kepadaNYA kemudian menyesal dan kembali bertaubat, melebihi senangnya seorang musafir yang kembali menemukan untanya setelah unta tersebut dan seluruh perbekalanya hilang ketika berjalan sendirian di padang sahara dan musafir tersebut telah putus asa mencarinya. Ini adalah penjelasan Rasulullah SAW yang disebutkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.

Imam Muslim juga mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah senantiasa membentangkan tangan-NYA di waktu malam untuk menerima taubatnnya orang-orang yang berbuat buruk di waktu siang. Dan Allah juga membentangkan tangan-NYA di waktu siang untuk menerima taubatnya orang-orang yang berbuat buruk di waktu malam. “

Imam At-Tirmidzi mengeluarkan sebuah hadits juga dari sahabat Anas Bin Malik : “ Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda , berfirman Allah Ta’ala, : Wahai anak Adam ! sesungguhnya jika engkau berdo’a kepada-KU dan berharap kepada-KU, maka pasti aku akan mengampuni dosa-dosamu dan Aku tidak menganggapnya lagi. Seandainya engkau datang kepada-KU dengan dosa setinggi langit kemudian engkau mohon ampun kepada-KU maka pasti aku akan mengampuninya. Wahai anak Adam seandainya engkau datang dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemui-KU dengan tidak menyekutukanKU dengan sesuatu pun, maka Aku akan datang dengan ampunan sepenuh bumi pula. “

Hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa Allah senantiasa menerima taubat para hambaNYA, maka janganlah manusia berputus asa darinya. Manusia adalah hamba Allah yang harus kembali kepada Allah setelah selama apapun berbuat dosa dan tidak mengindahkan hukum-hukumNYA. Mari segera berlari menuju ampunan Allah, menuju kasih sayang Allah dan keridhoan Allah. Sebagaiman seruan Allah sendiri dengan firman-NYA,


وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“ Bercepat-cepatlah kamu sekalian menuju ampunan dari Robbmu dan jannah seluas bumi dan langit yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imron : 133 )

( ZUL fAHMI )

No comments :

Followers