13 Jul 2010

AGAMA SEBAGAI PEUBAH SOSIAL

Oleh : Zul fahmi

Perubahan sosial
Perubahan sosial setidak-tidaknya memiliki dua bentuk yang berbeda, yakni perubahan sosial dalam perspektif evolusi dan perubahan sosial dalam perspektif revolusi. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Bertolak belakang dengan perspektif tersebut, revolusi merupakan sebuah bentuk perubahan sosial yang berlangsung cepat. Revolusi merupakan wujud perubahan sosial yang spektakuler. Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Faktor perubah sosial
Berbicara mengenai perubahan sosial, kita mau tidak mau harus membahas mengenai faktor yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan pada masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Secara garis besar faktor penyebab perubahan dapat dikelompokkan dalam dua perspektif, yaitu materialistic factors dan idealistic factors.
1. Perspektif Materialis
Kubu perspektif materialis memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Pada dasarnya, perspektif ini menyatakan bahwa teknologi baru atau moda produksi baru menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma.
Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Peran penemuan teknologi baru di dalam perubahan sosial sangat besar, karena dengan adanya penemuan teknologi baru menyebabkan perubahan moda produksi dalam masyarakat. Masuknya teknologi telah dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya menghasilkan kesempatan kerja pada industri-industri baru yang bermunculan di kota besar. Perubahan lain yang sangat mendasar adalah munculnya kelas ekonomi baru yaitu kaum pemilik modal (pengusaha) dan buruh.
2. Perspektif Idealis
Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.
Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Weber, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :
1. Rasionalitas tradisional.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.
3. Rasionalitas afektif.
4. Rasionalitas instrumental.
Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.
Tokoh lain adalah Lewy yang memperjelas pendapat Weber tentang peranan agama dalam perubahan sosial. Lewy mengambil contoh sejarah yang menggambarkan bahwa nilai-nilai agama mempengaruhi arah perubahan. Dia menyebutkan adanya pemberontakan Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam di Sudan, pemberontakan taiping dan boxer di China. Seperti halnya Weber, Lewy tidak menyangkal bahwa kondisi material mempengaruhi perubahan sosial. Namun demikian kita tidak dapat hanya memahami perubahan sosial yang terjadi hanya dari faktor material saja.
Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang berbeda, yaitu kubu materialis yang dipelopori oleh Marx dan kubu idealis yang dipelopori oleh Weber.
Agama sebagai peubah sosial
Sesuai dengan uraian di atas, maka antara agama dengan perubahan sosial ada sebuah hubungan yang sangat dekat. Merujuk pada Max Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Agama merupakan sebuah idielogi yang dengan nilai-nilainya telah mendorong para penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dan membangun sebuah peradaban.
Namun kalau merujuk kepada pendapat yang lain, bahwa Weber bukanlah manusia ‘hari ini’, tesisnya mengenai agama sebagai motor perubahan sosial itu dilahirkan sekitar seratus empatpuluh tahun yang lalu . Ada pandangan bahwa hari ini kelihatannya yang terjadi sebaliknya, agama (utamanya) melalui instrumen teologinya harus mengejar ‘kebaruan’ pola interaksi sosial. Misalnya saja Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Tesis ini berangkat dari sebuah teori kritis yang menyeruak sekitar tahun 60-an.
Sehingga paling tidak hingga hari ini, terdapat tarik – menarik yang begitu besar pada wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, agama berubah karena lebih dipicu oleh ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, berpendapat kondisi hari inilah yang harus (dirubah) menyesuaikan (teks-teks) agama.
Pendapat tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial. Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya. Bahkan entitas ‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama. Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya. Karen Amstrong bahkan menggunakan term Tuhan (God), A History of God dalam menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya.
Pendapat yang pertama bahwa agama sebagai perubah sosial yang spektakuler sebagaimana Weber tegaskan, adalah pendapat yang didasarkan pada kondisi real secara empirik. Sejarah telah membuktikan bahwa agama sangat berperan penting dalam merubah kondisi sosial. Dan semodern apapun tata kehidupan dunia ini dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, agama tetap merupakan sumber idiologi yang paling beperan memberikan inspirasi dan kekuatan bagi manusia untuk melakukan perubahan dan perombakan system dan struktur sosial yang dipandang kurang sesuai dengan idiologi yang diajarkan. Agama yang ditafsiri sebagai sumber dan produk pemikiran mungkin dapat berubah mengikuti perkembangan dan pergeseran struktur ekonomi dan budaya. Namun agama yang ditafsiri sebagai sumber ideologi , tata nilai, doktrin keyakinan, tetap memainkan peranan yang besar dalam mendorong manusia untuk melakukan perubahan secara sosial.

7 Jul 2010

Agama dan Kekuasaan Agama Sebagai Medium Pembebasan

Oleh : Ruslan H. Husen

Agama sebagai institusi keyakinan memiliki perangkat-perangkat yang memberikan penjelasan dan konsepsi pada Tuhan, manusia dan alam semesta. Dari—nya memberikan arah orientasi yang akan di capai oleh penganutnya untuk mewujudkan konsepsi ideal itu. Dalam pencapaian tujuan itu, kadang menumbuhkan sikap fundamentalisme dan radikalisme, sebagai konsekwensi menghadapi tantangan dan hambatan.

Sementara kekuasaan sebagai salah satu perangkat agama, sangat di tentukan oleh “siapa” yang menjalankan kekuasaan itu. Artinya untuk tegaknya hukum-hukum agama perlu di topang oleh kekuasaan yang pro—hukum agama. Walhasil pelaksanaan kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai kultural keagamaan. Sisi ini merupakan penyatuan agama dengan negara dalam pelasanaan kekuasaan, di samping sisi lain yakni pemisahan agama dan negara serta pengakuan negara terhadapap nilai-nilai keberagamaan atau pluralisme dalam arti luas.

Agama Rakyat
Agama rakyat merupakan keyakinan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan menjadi pendorong serta penggerak terjadinya perbaikan dan perubahan, yang kadang dipengaruhi faktor kekuasaan. Agama rakyat itu merupakan agama monoteisme yang melakukan perlawanan terhadap agama multiteisme. Agama multiteisme meniscayakan dirinya sebagai pendukung banyak kebenaran yang hakikatnya kebodohan dan kerusakan. Sebab kebenaran dan keadilan memiliki substansi pada suatu kausa prima yang teraktualkan oleh manusia melalui sikap dan tingkah lakunya.

Agama rakyat dalam realitasnya dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki banyak sisi. Artinya realitas sosial selalu dipengaruhi oleh posisi agama. Olehnya itu, Zainuddin Maliki menuliskan bahwa tesis agama rakyat dengan melihat fungsi-fungsinya dalam masyarakat, dapat di kemukakan berikut :

Pertama, Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan penyatu dan kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meskipun menghadapi perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat memiliki keyakinan dan kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem sosial.

Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan kualifikasi tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak ke arah integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan-pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang menganggap agama rakyat tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.

Kedua, legitimasi. Di sini agama rakyat di posisikan sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya di tengah konflik sosial-politik dan ketidak-pastian. Antara pemimpin dan yang di pimpin merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem sosial. Dalam hal ini karakteristik otoritas pemimpin akan menentukan legitimasi di hadapan yang di pimpin. Karakteristik itu bisa berasal dari sumber tradisonal, legal rasional dan kharisma pemimpin.

Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan persetujuan masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat merupakan fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis, tetapi berubah kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya munculnya agama rakyat mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan masyarakat.

Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial yang autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara episodik sesuai kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya dalam hal ini, pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi kekuasaan dan otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.

Ketiga, Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang sedang dicapainya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme dan lebih memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan kenestapaan.

Agama rakyat memposisikan dirinya sebagai medium pembebasan atas segala kerusakan dan kebobrokan yang menimpa termasuk dilakukan oleh penguasa. Dalam hal ini jika penguasa merupakan pendukung status quo maka agama rakyat menjadi pendukung perubahan yang anti kemapanan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden. Nilai-nilai profetik keagamaan menjadi orientasi ideal serta motivasi dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan. Walhasil terjadi di kotomi antara agama rakyat yang pro-perubahan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden dengan pendukung realitas sosial yang rusak dan bobrok.

Agama dan Perubahan Sosial
Wacana agama dan perubahan sosial saat ini menjadi penggalan pendek sejarah peradaban. Hubungan tersebut di bangun dari rumusan pertanyaan dan ragam argumentasi mengenai letak agama dalam perubahan sosial. Merujuk pada Max Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dengan nilai-nilai keagamaan mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka melahirkan peradaban yang lebih humanis.
Sepanjang sejarah, agama berkonfrontasi bukan dengan non-agama. Agama berjuang melawan agama. Agama monoteisme yang berdasarkan kesadaran, wawasan cinta dan kebutuhan seseorang, primordial, kebutuhan filosofis berdiri berhadapan dengan agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan. Pendikotomian itu berdasarkan nilai-nilai ke-agamaan yang terdapat pada setiap agama dan keyakinan. Bahwa di agama dan keyakinan itu selalu mengakui dan meng-orientasikan diri pada keadaan yang humanis-transenden.

Setiap kali Nabi diutus kepada agama monoteisme yang merupakan agama revolusioner, untuk bangkit dan melawan agama multiteisme, umat manusia di seru untuk mengikuti hukum alam yang mengatur jagad raya, perjalanan penciptaan yang merupakan kehendak Tuhan. Pada dasarnya, kewajiban agama monoteisme adalah pemberontakan, penolakan dan kata ‘tidak’ di hadapan kekuasaan yang lain.

Sebaliknya, bertentangan dengan penyembahan Tuhan, ada penyembangan penguasa arogan yang memberontak melawan perintah-perintah Tuhan, yang menyeru manusia untuk melawan sistem kebenaran yang mengatur alam dan kehidupan manusia, menimbulkan perbudakan dan berbagai macam berhala yang mewakili berbagai kekuasaan masyarakat.

Dari sini orang-orang tertindas membentuk suatu barisan perjuangan yang belum di selewengkan sehingga memungkinkan dilakukannya deduksi dari bagian-bagian kitab suci agama. Perlawanan itu ditujukan pada para aristokrat yang kaya, orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan, penguasa tanpa punya rasa tanggung jawab yang jelas-jelas atas namanya sendiri maupun dengan melindungi dirinya di bawah legitimasi agama Tuhan dan rakyat.

Agama monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan adalah pendukung orang-orang yang tertindas dan tertekan. Ia menyeru rakyat untuk menegakkan keadilan. Agama monoteisme lahir dari kesadaran dan kebutuhan terhadap cinta, penyembahan dan kesadaran bagi rakyat. Lebih dari itu, ia berbentuk suatu gerakan kritik melawan sejarah yang telah dirusak dan diracuni.

Perubahan sosial menjadikan gerakan yang selalu berasosiasi dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi tertentu di masyarakat. Respon atau reaksi terhadap suatu keadaan, adalah respon yang diberikan oleh agama monoteisme dalam masyarakat yang ingin mendorong perubahan. Perubahan sosial itu diawali dengan terjadinya relasi kekuasaan atau perubahan tata kekuasaan yang tentunya hal itu bukan akhir, tetapi awal. Artinya, perubahan yang dimaksud bukan sekedar suatu proyek penggantian kekuasaan, atau sirkulasi kekuasaan—melainkan suatu proses yang selalu aktif dan pro-perubahan sehingga terwujud suatu peradaban yang humanis-transenden.

PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM KUNTOWIJOYO

PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM
KUNTOWIJOYO

Shofiyullah Mz., M. Ag.*

Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena keberagamaan umat Islam di Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos sebagai akibat dari proses agrarisasi masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin mengarah pada sekularisasi agama. Untuk itulah kemudian Kunto melontarkan gagasannya mengenai Paradigma Islam. Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan lima program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan penafsiran dari individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif menjadi teoritis, mengubah pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir dari subjektif ke arah objektif, dan mereformulasi wahyu yang bersifat umum menjadi khusus.



A. Iftitah
Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.
Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi sosialnya.
B. Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan Islam, dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran keislamannya ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
C. Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:
Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.
Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.
Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.
Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.
Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.

Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.
Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.
Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.
Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx, bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.
D. Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan transformatif.
Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.














DAFTAR PUSTAKA




Abdurrahman, Muslim, Teologi Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)

Ali, Fakhri dan Efendy, Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Oerde Baru, (Bandung: Mizan, 1986)

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993)

Bagader, Abubaker A., Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam , Perspektif Sosiologi Agama, Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)

Bahasoan, Awad, “Gerakan Pembaharuan Islam; Interpretasi dan Kritik”, Prisma, No. Ekstra, 1984

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994)

----------------, “Tjokro, Natsir dan Habibie”, dalam Ummat, No. 9 tahun 1995

----------------, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)

----------------, “Islam Sebagai Ide”, Prisma, No. Ekstra, 1984

Raharjo, M. Dawam , “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)

Rahman, Fazlur , Islamic Studies and the Future of Islam, (Malibu, California: 1980)

----------------, Islam, (New York: Anchor Book, 1968)

----------------, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago, 1980)

----------------, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980)

Rahman, Budi Munawar, “Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia” dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI, 1995





Followers