27 Nov 2010

HIJRAH DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT ISLAM


Oleh : Zul Fahmi

Tanggal 1 Muharam atau tahun baru hijrah tidak hanya sekedar berakhirnya tahun yang lama dan mulainya tahun yang baru, tetapi perlu ada perenungan bahwa tahun baru hijriyah adalah sebuah momentum besar bagi sejarah Islam, bahkan bagi sejarah manusia secara keseluruhan.
Hijrah adalah tonggak sejarah di mana Rasulullah SAW. mulai mengukuhkan dasar-dasar peradaban dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik umat Islam. Perkembangan Islam pada masa Umar ra. hingga masa Bani Ummayah dan masa Abbasiyah, bisa dikatakan embrionya telah dirintis dan dibentuk oleh Rasulullah SAW. ketika sudah Hijrah ke Madinah. Bahkan perkembangan dan kemajuan Islam tersebut telah memberikan inspirasi bagi dunia Barat untuk menciptakan kemajuan yang serupa. Maka dari itu seorang penulis Barat Mechael Hart menulis dalam bukunya bahwa Muhammad lah tokoh yang yang paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan dunia. Di Madinah-lah para sahabat mengenal apa arti pluralitas, dan di Madinah pula kaum muslimin mulai melakukan rekonsiliasi ( kesepakatan ) dengan orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani, dan komunitas-komunitas non muslim lain untuk merekonstruksi sebuah system hidup yang secara sosial bisa memberi kenyamanan dan kesejahteraan bagi semua orang. baik untuk orang-orang di luar Islam lebih-lebih bagi orang Islam. Peristiwa Hijrah sesungguhnya mengingatkan kepada semua orang, bahwa sesungguhnya hanya Islam satu-satunya agama yang bisa meng-akomodir semua kepentingan dan cita-cita luhur semua orang, yakni cita-cita untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang bersahaja, sejahtera, aman dan penuh kemakmuran.
Dalam hijrah Nabi SAW. ke Madinah, ada pesan sangat berharga yang harus diteladani oleh semua kaum muslimin dalam membangun masyarakat Islam. Dengan hijrah tersebut Nabi mengajarkan bahwa penanaman akidah, perbaikan akhlaq, penggemblengan mental spiritual, serta terjalinnya ukhuwah islamiyah yang kuat adalah segmen yang paling penting dalam rangka melaksanakan pembangunan masyarakat Islam. ketika berhijrah ke Madinah, ada beberapa hal yang paling awal dilakukan beliau pada saat datang, yaitu menentukan letak pembangunan masjid, mempersaudarakan sahabat Muhajirin dengan sahabat Anshar, dan Beliau juga melakukan perjanjian damai dengan semua kelompok yang ada di Madinah termasuk dengan orang-orang yahudi dan Nashrani.
Di saat bangsa tengah menghadapi ujian dan bencana yang luar biasa seperti sekarang ini, seharusnya peristiwa hijrah menjadi refleksi bagi semua pihak, bahwa bencana itu tidak hanya terjadi karena fenomena alam semata, tetapi sesuai dengan perspektif agama bahwa bencana itu datang juga disebabkan karena ada bencana moral, bencana akidah, bencana agama yang telah lebih dahulu datang sebelumnya. Allah ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an :
“ telah dilaknat orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nashrani dengan lisan Dawud dan Isa bin Maryam, yang hal itu disebabkan oleh kemaksiatan mereka dan mereka telah melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar, sungguh buruk apa-apa yang mereka saling kerjakan. “ ( QS.Al-Maidah : 78-79 )
Oleh karena itu Hijrah seharusnya menjadi moment berharga bagi semua pihak untuk berkaca dan berintropeksi diri, bahwa selama ini pembangunan kehidupan yang selalu berorientasi pada materi, yang terlalu mementingkan pembangunan ekonomi, pengadaan sarana-sarana infrastruktur, pendirian gedung-gedung mewah, taman-taman wisata dan pusat-pusat olah raga yang fantastis, sementara itu mengesampingkan pendidikan, apalagi pendidikan moral, sebenarnya adalah kesalahan yang sangat besar dan nyata. Orientasi pembangunan seperti itu hanya akan melahiran orang-orang yang tahu dunia, cinta kemewahan tetapi tidak memiliki integritas moral. Orang-orang yang tidak memiliki integritas moral itulah yang telah melakuan banyak kerusakan. Untuk memenuhi kepentingan nafsu mereka, maka mereka telah berani melakukan kebohongan, melanggar aturan dan merusak norma kehidupan. Parahnya lagi mereka merusak harmonisasi hubungan manusia dengan alam dengan cara mengeskplorasi dan mengeksploitasi alam secara membabi buta, sehingga timbul-lah berbagai macam bencana dan kerusakan alam.
Rasulullah SAW. dengan hijrah telah memberi pelajaran bahwa akhlaq adalah dasar dari semua jenis pembangunan yang menginginkan kemaslahatan. Hal itu dipegang erat oleh para ulama’, para cendikiawan dan para filosof Islam, seperti Al-Farabi yang mengatakan bahwa tugas para pemimpin yang paling utama adalah membina dan memperbaiki akhlaq masyarakat yang dipimpinnya. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga diamanatkan bahwa Pemerintah harus mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam syair lagu kebangsaan Indonesia yang selalu dinyanyikan dalam setiap acara resmi kenegaraan ada kata-kata “..bangunlah jiwanya…bangunlah badannya., artinya negara harus membangun jiwa rakyatnya dahulu sebelum fisik kehidupannya. Hal itu menunjukkan bahwa mengutamakan pembangunan akhlaq di atas yang lainnya, sesungguhnya telah menjadi konsensus masyarakat muslim di negeri ini. Namun realitanya jauh panggang dari api. Pendidikan akhlaq dan agama sangat dipinggirkan dan diacuhkan dalam pentas pendidikan di Indonesia.
Hijrah juga memberi pesan bahwa persatuan dan kesatuan umat, ukhuwah islamiyah adalah modal utama yang harus mengawal dan akan menjamin berlangsungnya pembangunan yang bisa membuahkan kesejahteraan dan kemakmuran. Persatuan dan kesatuan umat itu tidak hanya terbatas dalam lingkup umat Islam saja tetapi juga dengan non muslim sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. di Madinah. Tentu saja persatuan dan kesatuan itu tetap dalam koridor kebenaran dan kesepakatan yang menjamin kebaikan bersama, bukan di atas keterpaksaan dan unsur-unsur kedzaliman.
Hari ini, problem besar yang melanda umat Islam dan melumpuhkan sendi-sendi kekuatannya adalah perpecahan umat. Di Indonesia ini, bahkan di belahan dunia mana pun, umat Islam selalu terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, ormas, atau partai, yang satu sama lain saling menyalahkan, saling menghujat, bahkan saling mengkafirkan. Ketika umat lain ( baca : orang-orang kafir ) tengah sibuk-sibuknya membangun ilmu pengetahuan, berlari cepat melakukan inovasi di berbagai bidang, dan dengan antusiasnya merekonstruksi tata kehidupan ekonomi, sosial, dan politik yang maju dan modern, maka kaum muslimin justru sibuk bertengkar dalam urusan-urusan kecil yakni urusan-urusan fikih, urusan-urusan ritual, dan keyakinan yang secara teologis berkisar pada masalah-masalah furu’iyah bukan ushuliyah. Perpecahan umat ini yang telah menyebabkan umat Islam ketinggalan dalam segala hal, sehingga umat Islam menjadi kelompok yang marginal dalam segala bidang. Dalam teori sosiologi kelompok marginal akan cendrung berpikir dangkal, bersikap arogan dan anarkis dalam menghadapi setiap hal yang dianggap sebagai ancaman. Maka dari itu Allah sangat mewanti-wanti agar tidak terjadi perpecahan. Allah berfirman :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“ Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imron : 103 )
Keimanan atau akidah kuat yang kemudian menumbuhkan sikap dan perilaku hidup yang mulya, dengan ukhuwah islamiyah yang kuat, adalah dua mata uang yang harus selalu bersama tidak boleh berpisah satu sama lain. Keduanya adalah modal yang sangat mendasar dalam melakukan pembangunan kehidupan yang baik. Pembangunan masyarakat yang tidak diawali dengan dua hal ini pasti akan selalu menemui kegagalan dan melahirkan persengkokolan jahat yang bisa merusak kemaslahatan. Dengan akhlaq mulya dan persatuan yang kokoh umat akan bisa bersama-sama bekerja keras, berlomba-lomba meningkatkan kemampuan dan menciptakan kemajuan, yang semuanya itu disinergikan dalam rangka mengemban amanah sebagai manusia yang oleh Allah SWT. ditunjuk sebagai khalifah Allah di bumi.
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan dalam kitabnya Syarh Riyadhus Shalihin, bahwa hijrah adalah berpindahnya seorang muslim dari darul kufr menuju darul Islam dalam rangka mempertahankan keimanan dan keislamanya. Namun hijrah juga bisa dimaknai dengan terminologi yang lebih luas, yaitu berpindahnya seseorang dari kafir ke muslim, dari hidayah ke petunjuk, dari perbuatan buruk ke perbuatan baik, dan juga dari kebodohan kepada ilmu. Maka dari itu tahun baru hijiyah adalah moment penting bagi manusia untuk berintropeksi dan memperbaiki segala kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Masuknya tahun baru Hijrah harus menjadi moment umat Islam untuk berazzam meningkatkan ilmu, keimanan, ketaqwaan dan amal untuk menggapai ridha Allah SWT. peristiwa hijrah harus menjadi cambuk bagi umat Islam untuk segera bangkit dari kebodohan menuju ilmu, dari keburukan menuju kebaikan, dari kemunduran menuju kemajuan, dari kekalahan menuju kemenangan.





16 Nov 2010

HIKMAH MENYEMBELIH QURBAN




Oleh : Zul Fahmi

Kata udhiyah( الأضحيةI ) secara bahasa berarti menyembelih ( binatang sebagai qurban ). Disebut udhkhiyah karena mengacu pada waktu pelaksanaanya yakni diawali pada waktu dhuha. Ibadah qurban atau udhkhiyah adalah sebuah amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, yang hukumnya adalah sunah mu’akaddah bagi orang yang mampu melaksanakannya. Sunah mu’akaddah adalah sunah yang sangat dianjurkan atau sunah yang hampir diwajibkan.
Allah ta’ala berfirman :

“ Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. “ ( QS.Al-Kautsar : 1 – 3 )

diriwayatkan oleh Syafi’I dan Baihaqi dari hadits Abu Suraihah Al-Ghifari ia berkata:


عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَ عُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُمَا لاَ يَضْحَيَانِ مَخَافَةً أَنْ يُرَى ذَلِكَ وَاجِبًا

“ Dari Abu Bakar dan Umar sesungguhnya mereka berdua tidak berqurban karena merasa benci kalau-kalau dilihat sebagai kewajiban”.


Syaikh Muhammad Khathib Asy-Syirbini, salah seorang ulama’ fikih terkemuka dalam madzhab syafi’I, menyebutkan dalam kitabnya Mughnil Muhtaj sebuah hadits Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Daruquthni , beliau bersabda :

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“ aku diperintah untuk menyembelih hewan qurban sementara hal itu sunah bagi kamu sekalian “

Dari ayat dan hadits itulah beliau Asy-Syirbini, termasuk pula para ulama’ ahli fikih madzhab syafi’I lainya menyimpulkan bahwa udhiyah hukumnya adalah sunah mu’akkad.

Berbicara tentang penyembelihan qurban maka tidak bisa dipisahkan dari kisah Nabiyullah Ibrahim as. bersama putra laki-laki-nya Ismail. Allah mengkisahkan keduanya dalam Al-qur’an sebagai suri teladan bagi umat Islam.

Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim alaihis salam memiliki putera yang tengah menginjak masa remaja namanya Ismail. Putera terebut lahir dari istrinya yang kedua bernama Hajar, setalah Nabi Ibrahim menunggu kehadiranya selama hampir ratusan tahun hingga memasuki usia senja. Nabi Ibrahim karena kehendak Allah meninggalkan Ismail dan ibunya di Mekkah dan ia tinggal bersama dengan istrinya yang pertama di Syam. Ketika Nabi Ibrahim mengunjungi anak terkasihnya tersebut, malam harinya beliau bermimpi telah menyembelih anaknya Ismail. Mimpi seorang nabi adalah wahyu baginya, maka pada siang harinya Nabi Ibrahim menjelaskan mimpi tersebut kepada puteranya Ismail. Karena Ismail adalah anak yang shalih, maka ia membenarkan mimpi tersebut dan mempersilahkan ayahnya melaksanakan perintah Allah tersebut, dan disepakatilah rencana pelaksanaan perintah Allah tersebut. Namun ketika Nabi Ibrahim hendak menghujamkan pedangnya ke leher Ismail, tiba-tiba datang malaikat Jibril membawa seekor kambing sebagai pengganti Ismail. Dengan kehendak Allah maka disembelihlah kambing tersebutsebagai pengganti Ismail.

Dari kisah nabi Ibrahim itulah bisa dipetik semua hikmah yang terkandung dalam ibadah qurban. Nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita apa yang harus dikerjakan oleh seorang hamba dalam berbakti kepada Allah Ta’ala, dan bagaimana seorang hamba harus tunduk kepada perintah-perintah Allah SWT.

Pertama, Udhiyah mengajarkan kepada kaum muslimin, bahwa hidup ini adalah sebuah pengorbanan. Segala kemulyaan, kesuksesan, dan kejayaan manusia itu harus diraih dengan pengorbanan. Sebuah bangsa akan menjadi besar jika para pemimpinya, dan juga semua rakyatnya mau bekorban untuk kebesaran bangsanya. Sebuah ideologi akan menjadi besar dan berkembang menguasai wacana pemikiran manusia secara global, jika para pengusungnya mau berkorban menyebarkan ideologinya dan memperjuangkan eksistensinya. Sebuah masyarakat akan makmur sejahtera, bisa memberi kedamaian, kenyamanan, dan pengayoman seluruh warganya jika para tokohnya, dan seluruh komponen yang berkompeten di dalamnya juga mau berkorban untuk menciptakanya. Demikianlah pula sebuah keluarga akan bahagia, makmur dan sejahtera jika kepala keluarga, atau orang yang menjdi tulang punggung keluarga mau bekerja keras, berjuang dan berkorban untuk kesejahteraan keluarganya.

Agama Islam yang lahir di mekkah, yang kemudian tersebar ke seluruh dunia dan pernah memiliki supremasi politik yang diperhitungkan dunia, hal itu karena pengorbanan Rasulullah SAW, para sahabat, para ulama’ dan pejuang-pejuang Islam yang tak kenal lelah dalam mendakwahkannya. Negara Indonesia bisa meraih kemerdekaan setelah dijajah dan dibodohkan oleh penjajah Belanda ratusan tahun lamanya, karena pengorbanan para pejuang-pejuangnya. Baik mereka para raja, para ulama’ atau para tokoh bangsa yang lainnya. Amerika serikat sebuah negeri jajahan Inggris yang sangat teraniaya, kemudian bisa meraih kemerdekaanya dan kemudian bisa melesat menjadi Negara super power hingga saat ini, adalah karena pengorbanan para pejuang dan seluruh rakyat Amerika.

Intinya setiap kemajuan, kesejahteraan, kemulyaan, dan kebesaran masyarakat dalam level apapun, maka sesungguhnya tidak bisa diraih kecuali dengan pengorbanan. Pengorbanan adalah syarat mutlak terwujudnya setiap kebaikan, pengorbanan adalah unsur baku yang harus ada dalam setiap pengabdian. Dan pengorbanan adalah inti dari ibadah dan ketaatan seorang mu’min terhadap Allah SAW. semua orang harus rela berkorban untuk orang-orang yang dicintainya dan dipimpinnya. Dan Allah menegaskan bahwa pengorbanan adalah satu-satunya syarat yang dilakukan oleh seorang mu’min agar seluruh amalnya di dunia dibalas dengan surga. Dalam Al-qur’an Allah berfirman :


"Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka..”( QS. At-Taubah : 111 )

Kedua, Ibadah qurban juga mengajarkan kepada kita untuk selalu bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Kenikmatan yang diberikan Allah kepada manusia, bisa digolongkan menjadi dua macam. Pertama adalah kenikmatan berupa jasad atau anggota badan dan yang kedua adalah kenikmatan berupa rezeki.

Karena kenikmatan-kenimatan itulah maka manusia berkewajiban untuk bersyukur kepada Allah SWT. Maka Dari itu Allah berfirman :

“ Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. “ ( QS.Al-Kautsar : 1 – 3 )

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kenikmatan berupa badan maka cara mensyukurinya adalah dengan melaksanakan shalat, sedangkan kenimatan berupa rejeki maka cara mensyukurinya adalah dengan menyembelih hewan qurban.

Shalat adalah symbol dari segala ketaatan dan ketundukan manusia kepada Allah SWT. bahkan khalifah Umar mengaitkan segala amal ibadah akan berkwalitas jika di dahului dengan kwalitas shalatnya. Artinya orang yang bersyukur kepada Allah maka harus bisa berperilaku hidup yang baik sebagai aktualisasi dari ibadah shalat yang dilakukannya. Karena shalat bukanlah amal yang sempurna jika hanya terhenti pada tataran ritualitas saja tanpa diaplikasikan dalam kehidupan yang nyata. Maka orang yang shalatnya khusyu’ adalah orang yang baik akhlaqnya, orang yang jujur perbuatannya, dan orang yang bisa menjahui perbuatan-perbuatan yang akan bisa merusak jiwa dan keselamatannya. Karena Allah berfirman :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“ Tegakkanlah shalat ! sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar “ (QS.Al-Ankabut : 45 )

Sedangkan qurban adalah symbol keikhlasan, ketulusan, dan jiwa yang rela berkorban demi kepentingan orang lain. Berqurban dengan seekor kambing, atau sapi adalah symbol bagi manusia bahwa berkurban harus menjadi falsafah hidupnya. Berkorban dengan sapi atau kambing adalah kurban kecil untuk mengantar manusia agar mau berkorban dengan sesuatu yang lebih besar. Karena sesungguhnya Allah tidak hanya menuntut manusia agar berkorban dengan kambing atau sapi tetapi lebih besar dari itu semua yaitu nyawa dan dan hartanya. Manusia diberi amanah untuk menjadi khalifah di bumi, yakni menjadi pemimpin di bumi yang harus berjuang menegakkan kebenaran, keadilan, dan menciptakan kemakmuran bagi semua manusia. Dan status sebagai khalifah itu tidak akan mungkin disandang oleh orang-orang kerdil, orang-orang egois, orang-orang yang hanya cinta dunia dan tidak mengenal arti pengorbanan di dalam hidupnya.

Ketiga, Selain qurban mengajarkan manusia untuk mengisi hidupnya dengan berqurban demi meraih kemaslahatan bersama serta megajarkan manusia untuk selalu bersyukur kepada Allah Swt, qurban juga mengajarkan kepada manusia bahwa manusia harus bisa mengendalikan nafsunya sebagaimana ia mengendalikan binatang ternak yang akan disembelihnya, dan manusia juga harus bisa membunuh pengaruh buruk dari hawa nafsunya sebagaimana ia menyembelih binatang ternak yang dikorbankanya.

Binatang ternak adalah symbol dari sebuah tabiat, di mana perilaku hidup tidak disertai dengan pertimbangan akal, tidak pernah melihat hak, ketentuan agama, hukum serta akibat bahaya dan manfaatnya. Tabiat seperti itu adalah tabiat binatang yang jika manusia menirunya, maka ia akan berderajat rendah sebagaimana rendahnya binatang yang disembelih tersebut, bahkan lebih rendah darinya. Namun bila manusia bisa menempatkan dirinya sebagai manusia, berbuat dan bertindak dengan tabiat aslinya manusia, tidak dipengaruhi oleh nafsunya, maka derajatnya akan mulya sebagaimana layaknya seorang manusia. Allah Ta’ala berfirman :

“ Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),”( QS. At-Tiin : 4 – 5 )

Jadi menyembelih hewan kurban pada hari raya tidak hanya difahami sebagai penyembelihan biasa tanpa arti apa-apa. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana manusia meng-azamkan dalam dirinya bahwa ia harus selalu berusaha untuk membunuh nafsu liarnya, dan keinginan-keinginan yang akan mencelakakannya.

Pesan dan hikmah yang tersirat dalam ritual ibadah qurban ini adalah pesan yang agung dan memiliki makna yang besar. Pengorbanan adalah sifat yang besar dan hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa besar. Jika masih banyak orang yang mau berkorban untuk kepentingan dan kemaslahatan orang banyak, jika masih banyak pula orang selalu bersyukur terhadap segala nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan jika masih banyak pula orang yang hidup dengan ruh agama dan idealismenya bukan dengan hawa nafsunya, maka sudah pasti kehidupan ini akan lebih sempurna keadaanya. Kehidupan ini tidak akan dikuasai oleh orang-orang yang senang berlaku dholim terhadap sesama. Kejahatan dan kriminalitas tidak akan selalu mewarnai persaingan manusia dalam meraih cita-cita dan ambisinya. Dan juga tidak akan ada konspirasi jahat yang akan memutar balikkan fakta dimana kejahatan diagungkan dan dibanggakan sementara kebaikan ditlikung dan dipinggirkan.

Manusia juga harus memahami bahwa apabila dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya, dan hawa nafsu tersebut telah mengalahkan dominasi akalnya, maka sesungguhnya kehormatan dirinya telah terjun bebas kebawah sebagaimana binatang ternak yang hina karena tidak berfungsi akalnya.

24 Aug 2010

Problematika Bilangan Rakaat Shalat Tarawih


Bulan Ramadhan adalah bulan termulia; bulan turunnya Al-Qur`an untuk pertama kali, bulan penuh ampunan, rahmah serta ridho Allah Subhanahu wa Ta`ala, bulan yang penuh dengan momen-momen terkabulnya doa, di bulan ini terdapat lailatul qadar, yakni suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Bulan Ramadhan merupakan kesempatan emas bagi umat Islam untuk memperbanyak pahala dengan melakukan berbagai macam amal ibadah.
Diantara ibadah yang mendapat penekanan khusus pada bulan Ramadhan adalah qiyam Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan qiyam pada (malam) bulan Ramadhan karena meyakini keutamaannya dan karena mencari pahala (bukan karena tujuan pamer atau sesamanya), maka diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (Muttafaq `alaih).
Qiyam Ramadhan yang dimaksud pada hadis di atas bisa dilaksanakan dengan shalat Tarawih atau ibadah lainnya.(1)
Kontroversi Jumlah Rakaat Shalat Tarawih
Perdebatan seputar jumlah rakaat shalat tarawih bukanlah hal baru dalam kajian hukum Islam. Perdebatan itu adalah perdebatan klasik dan telah ada sejak masa para ulama salaf. Imam Ishaq bin Manshur pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang jumlah rakaat shalat qiyam Ramadhan yang beliau kerjakan. Beliau menjawab: “Ada sekitar empat puluh pendapat mengenai masalah ini.” Imam al-`Aini menyebutkan sebelas pendapat ulama seputar jumlah raka`at shalat Tarawih.(2)
Walaupun terjadi perbedaan semacam itu, perlu diketahui, shalat Tarawih boleh untuk dilakukan hanya dua rakaat saja atau berpuluh-puluh rakaat.(3) Syekh Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa yang menduga bahwa sesungguhnya qiyam Ramadhan memiliki bilangan tertentu yang ditentukan oleh Nabi shallallahu alihi wa sallam, tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka sungguh dia telah salah.”(4) Para ulama hanya berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat yang paling utama.(5) Kebanyakan ulama memilih dua puluh rakaat.(6) Namun ada juga beberapa pendapat yang memilih selain dua puluh, seperti sebelas (delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir) dan lain-lain.(7) Ibnu Taimiyah menganggap semuanya baik dan boleh dikerjakan.(8)
Perbedaan ini muncul karena di dalam hadis-hadis yang shahih, tidak ada kejelasan berapa rakaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan. Yang jelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan qiyam Ramadhan yang kemudian dikenal dengan shalat Tarawih itu selama dua atau tiga malam saja dengan berjamaah di masjid. Malam ketiga atau keempat, beliau ditunggu-tunggu, tetapi beliau tidak keluar. Sejak saat itu, sampai beliau wafat bahkan sampai pada awal masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu `anhu, tidak ada yang melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dengan satu imam di masjid.(9)
Dalil Tarawih 20 Rakaat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja.
Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan, bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.”
Hadis kedua ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i, Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10)
Menurut disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti) bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah, karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Di samping kedua dalil yang sangat kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil di atas sudah lebih dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban).
Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)
2. Hadis Jabir :
حدثنا عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).(17)
Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang shalat Witir :
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih).
Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan rakaat :
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh, akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti, pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.(20)
2. Kesalahan dalam memahami maksud hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن عائشة – رضي الله عنها – : قالت : « كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها الوتْرُ وركعتا الفجر ».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah. Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat, pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun, dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam sebuah hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan :
إن الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i] Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya, minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat. Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
WA ALLAH A`LAM BI AL-SHAWAB.


* Penulis adalah mahasiswa tingkat III Fak. Syariah & Hukum Univ. Al-Ahgaff, Hadhramaut Yaman. Aktifis PCI-NU Yaman.

Catatan Kaki :
(1) Badrudin al-`Aini, `Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., XI/124. Ibnu Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Cairo : Dar al-Rayyan li al-Turats, 1407 H., IV/296.
(2) Badrudin al-`Aini, op.cit., XI/126-127. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al- Dimasyqi, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah min Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, Alexanderia : Dar al-Iman, 2005 M, hal. 315-316. `Ala`uddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al- Mardawi, al-Inshaf fi Ma`rifah al-Rajih min al-Khilaf, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1419 H, II/128.
(3) Menurut madzhab Syafi`i, shalat Tarawih boleh dikerjakan mulai dari dua rakaat dan maksimalnya adalah dua puluh rakaat. Lihat antara lain: Said bin Muhammad Ba`asyan, Busyra al-Karim, Jeddah : Dar al-Minhaj, 1429 H/2008 M, hal. 316. Ibnu Hajar al-Haitami, al-Manhaj al-Qawim, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/469. periksa juga komentar al-Kurdi dan al-Tarmasi pada halaman yang sama.
(4) Mulla Ali al-Qari, Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, hal. 175. Abd. Qadir Isa Diyab, al-Mizan al-`Adil li Tamyiz al-Haq min al-Bathil, Damaskus : Dar al-Taqwa, 1425 H/2005 M, hal. 247. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, al-Mausu`ah al-Yusufiyah, Damaskus : Dar al-Taqwa, tt., hal. 634.
(5) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 246-248. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, loc.cit. Husain bin Ibrahim al-Maghribi, Qurrah al-`Ain bi Fatawa Ulama` al-Haramain, Maktabah `Arafat, tt., hal.
(6) Ibnu Abdil Bar al-Andalusi, al-Istidzkar, Abu Dabi : Mu`assasah al-Nida`, 1422 H, II/317-319. Muhammad Mahfuzh al- Tarmasi, Mauhibah Dzi al-Fadhl, Mesir : al-Mathba`ah al-`Amirah al-Syarafiyah, tt., II/465-467. Abd. Qadir `Isa Diyab, op.cit., hal. 243-247.
(7) Muhammad Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Jami` al-Tirmidzi, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., III/438-450.
(8) Ibnu Taimiyah, Majmu` al-Fatawa, Editor : Anwar al-Baz dan Amir al-Jazzar, Dar al-Wafa`, 1426 H/2005 M, XXIII/112-113. Mulla Ali al-Qari, loc.cit.
(9) KH. Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Bermasalah, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007, hal. 148.
(10) Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 242. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 632. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 148.
(11) Abdur Rahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, Beirut : Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M, hal. 121. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 149.
(12) KH. Ali Mustafa Yaqub, loc.cit. menukil dari Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur`an al-Adzim, Riyadh : Dar `Alam al-Kutub, 1418/1998, I/571.
(13) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 155. Dr. Yusuf Khatthar Muhammad, op.cit., hal. 635.
(14) Ibnu Taimiyah, loc.cit.
(15) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 156.
(16) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 139-140. menukil dari al-Dzahabi, Mizan al-I`tidal fi Naqd al-Rijal, Editor Ali Muhammad al-Bijawi, Beirut : dar al-Fikr, 1382 H/1963 M, III/311. Abd. Qadir Isa Diyab, op.cit., hal. 241.
(17) Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mu`jam al-Ausath, Editor : Thariq bin `Awadh, Cairo : Dar al-Haramain, 1415 H, IV/108.
(18) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 140. Abd. Qadir Isa Diyab, loc.cit.
(19) Abdur Rahman al-Suyuthi, op.cit., hal. 303.
(20) KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 143.
(21) Ibid.
(22) Ibid., hal. 146.
(23) Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami` al-Shahih, Editor : Ahmad Muhammad Syakir dkk., Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., II/319.
(24) Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi`i al-Kabir.
(25) Abdur Rahman al-Suyuthi, al-Jami` al-Shaghir. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa` wa Muzil al-Ilbas, Beirut : Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, tt., I/160
(26) Abdur Rahman al-Suyuthi, Jami` al-Ahadits. Isma`il bin Muhammad al-Ajluni, op.cit., I/223.
(27) Ibnu Mandzur, Lisan al-`Arab, Beirut : Dar Sadir, tt., II/455. Muhammad Murtadha al-Zabidi, Taj al-`Arus min Jawahir al-Qamus. Ahmad al-Fayyumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir. Majma` al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu`jam al-Wasith, Cairo : Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 1425 H/2004 M, hal. 380. Dr. Muhammad Rowa Qal`ah Jie dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi, Mu`jam Lughah al-Fuqaha`, Amman : Dar al-Nafa`is, tt., I/127. Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Editor : Abd al-Salam Muhammad Harun, Ittihad al-Kitab al-`Arab, 1423 H/2002 M, II/378.
(28) Dr. Ali Gom`ah, al-Bayan lima Yusyghil al-Adzhan, Mi`ah Fatwa li Radd Ahamm Syubah al-Kharij wa Lamm Syaml al-Dakhil, Cairo : Dar al-Moqattham, 2009 M, hal. 272-273. KH. Ali Mustafa Yaqub, op.cit., hal. 137.
(29) Disarikan dari nasehat Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab beliau, Nasha`ih al-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah, hal. 175.

PERSOALAN ARAH KIBLAT



Oleh : Zul Fahmi

Akhir-akhir ini muncul persoalan di tengah-tengah umat Islam seputar masalah penentuan arah kiblat. Di masjid-masjid sedang ramai dilakukan perubahan arah kiblat yang menurut pengumuman Departemen Agama di berbagai media, telah mengalami pergeseran karena berkali-kali terjadi bencana gempa khususnya di Indonesia.
Ramainya perubahan arah kiblat yang dilakukan oleh masing-masing pengurus masjid, bukanlah hal yang sederhana, namun ternyata menimbulkan persoalan yang sedikit rumit dan membingungkan. Di Sebagian masjid memang tidak terjadi kebingungan itu, namun di masjid-masjid yang lain hal itu terjadi. Misalnya beberapa masjid harus menggeser arah kiblatnya hingga bagian depannya hilang dua shaf. Ada pula masjid yang harus menggeser arahnya hampir 40 derajat. Ada juga masjid yang sudah kadung dibangun dengan susah payah, namun ternyata kiblatnya salah total. Bahkan ada wacana bahwa masjid-masjid itu akan dibongkar dan dan dibangun ulang. Hal ini telah menimbukan polemik di masyarakat, baik antar pengurus masjid maupun antar masyarakat umum apakah hanya menggeser posisi sholat atau membongkar masjid yang sudah berdiri megah. Bagaimana pula dengan masjid yang pergeserannya cukup tajam, apakah juga harus dibongkar dan dibangun yang baru atau cukup diubah posisi sholatnya.

MENGHADAP KIBLAT ADALAH SYARAT SAH DALAM SHOLAT

Menghadap arah kiblat hukumnya wajib dan menjadi syarat sahnya sholat. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 144 Allah Ta’ala berfirman :

“ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. “ ( QS. Al-Baqoroh :144)
Nabi SAW. bersabda seorang sahabat kholad bin Rafi’ Al-Anshari :
إذَا قُمْتَ إلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ
“ apabila kamu sholat maka sempurnakanlah wudlumu kemudian menghadaplah ke kiblat “( Hadits riwayat Bukhori dan Muslim )
An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)
Ayat dan hadits di atas menjadi dalil bahwa dalam melakukan sholat wajib menghadap kiblat, dan tidak sah hukunya jika tidak menghadap kiblat. Namun dalam keadaan tertentu diperbolehkan melakukan shalat dengan tidak menghadap kiblat.
1. Dalam keadaan takut
Dalam keadaan takut misalnya ketika melakukan peperangan, atau ada ancaman binatang buas, atau ada bahaya yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“ Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”( QS. Al-Baqoroh : 239 )

Imam Ibnu Katsier dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata farijaalan au rukbaanan, artinya adalah shalatlah dengan keadaan bagaimanapun, baik dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.

2. Melakukan shalat sunah di atas kendaraan.
Orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan boleh menghadap ke arah yang sesuai dengan arah kendaraannya berjalan. Hanya saja ketika takbiratul ihram ia harus menghadap ke arah kiblat.
Sebuah hadits dari Jabir ra. Berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ
نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“ Adalah Rasulullah SAW. pernah shalat di atas kendaraannya kearah mana saja kendaraannya menghadap. Dan apabila beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat “ ( Hadits riwayat Bukhori )

3. Tidak mengetahui arah kiblat
Apabila arah kiblat tidak diketahui maka hendaklah menghadap kearah mana saja yang diyakini.
Sebuah hadits dari Amir bin Rabi’ah dari ayahnya berkata :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَى حِيَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ
{ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ }
“ kami pernah bersama Nabi SAW. dalam sebuah perjalanan di malam yang gelap gulita dan tidak mengetahui arah kiblat. Maka kemudian shalatlah kami menurut pendapat masing-masing. Setelah waktu shubuh kami beritahukan kepada Nabi SAW. maka ketika itu turunlah ayat “ maka kemana saja kamu menghadap, disitulah arah yang disukai Allah “ ( hadits riwayat At-Titmidzi )

KIBLAT DAN PENDAPAT TENTANG MENGHADAP KIBLAT

Mengenai arah kiblat ada dua hal yang perlu dijelaskan yaitu apa pengertian kiblat dan bagaimana yang dimaksud dengan menghadap kiblat.
Kiblat sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih adalah arah ka’bah atau ‘ainul ka’bah yaitu fisik dari bangunan ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Mughnil Muhtaj salah satu kitab yang masyhur dikalangan madzhab Syafi’I disebutkan kiblat secara bahasa adalah arah, dan yang dimaksud dengannya adalah bangunan ka’bah itu sendiri. Disebut kiblat karena kaum muslimin sholat menghadapnya, dan disebut ka’bah karena ketinggiannya.
Sedangkan yang dimaksud menghadap arah kiblat adalah menghadapkan dada menuju arah kiblat ketika melaakukan shalat.
Dalam kitab Al-fiqh ala Al-Madzahibul Al-‘Arba’ah disebutkan bahwa bagi orang yang bermukim di mekkah atau dekat dengannya, maka shalatnya tidak sah kecuali dengan menghadap kiblat ( ka’bah ) secara yakin selama hal itu memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan, maka hendaknya ia berijtihad untuk menghadap ainul ka’bah, karena tidak cukup hanya menyamakan arah saja selama masih muqim di mekkah. sedangkan bagi orang yang bertempat di daerah yang tinggi ( di atas bukit ) atau di daerah yang rendah, yang tidak mungkin ketika shalat bisa mengarah tepat ke ka’bah, maka sah shalatnya jika ia menghadap ke arah yang bertepatan di atas ka’bah atau di bawah ka’bah. Karena menghadap ke udara di atas ka’bah atau menghadap ke tanah di bawah bangunan ka’bah sama halnya dengan menghadap ke arah bangunan ka’bah. Hal ini disepakati oleh semua madzhab kecuali oleh Malikiyah
Sedangkan orang yang hidup di Madinah maka kiblat mereka adalah mihrabnya masjid nabawi, karena mihrab itu diletakkan oleh Nabi SAW. berdasarkan wahyu. Dan tidak wajib bagi mereka berusaha menghadap kepada ‘ainul ka’bah.
Abdurrahman Al-Jaziiri mengatakan bahwa apabila penduduk Madinah bergeser kiblatnya dari ka’bah baik ke kanan atau ke kiri, maka shalatnya tetap sah. Karena inhiraf atau bergeseran yang sedikit itu tidak merusak shalat dan masih bisa dikatakan searah dengan kiblat.
Pendapat sebagaimana penjelasan di atas adalah pendapat jumhur ulama’. Dalil-dalil yang mereka sebutkan diantaranya adalah :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih.)
Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa menghadap ke arah kiblat itu harus persis ke bangunan ka’bah. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah. Mereka berdalil
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)
Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330).
Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab.
Pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa orang yang tidak bisa melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja berdasarkan hadits “ antara arah timur dan barat ada kiblat “, dan pendapat kelompok Syafi’iyah, yang mengatakan bahwa harus menghadap persis kea rah ka’bah berdasarkan pada sebuah hadits “ inilah arah kiblat “ adalah dalil-dalil yang bisa dikompromikan.
Hadits yang digunakan oleh golongan Syafi’iyah adalah hadits untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung, sedangkan hadits yang digunakan oleh kelompok jumhur adalah hadits bagi orang yang jauh dan tidak bisa melihat ka’bah. Sehingga dapat disimpulkan :
1. Bagi orang yang bisa melihat ka’bah secara langsung, maka ia punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
2. Namun jika seseorang berada jauh dari Ka’bah, maka cukuplah baginya menghadap ke arahnya saja.

KESIMPULAN

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa berkaitan dengan perubahan arah kiblat di Indonesia dan sekitarnya sebagaimana pengumuman MUI maka umat Islam tidak perlu merubah posisi sholat mereka. Kewajiban menghadap ke arah kiblat persis ke bangunan ka’bah itu berlaku bagi orang yang mukim di mekkah dan bisa menyaksikan bangunan ka’bah. Sementara bagi orang yang berada jauh dari kota mekkah mereka tidak punya kewajiban untuk menghadap kiblat persis ke bangunan ka’bah.
Ash-shon’ani dalam kitabnya subulus salam mengatakan : “Ada yang mengatakan bahwa kami akan berusaha menghadap arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”
Seperti yang disebutkan dalam kitab subulus salam tersebut bahwa menghadap arah kiblat persis ke bangunan ka’bah adalah pekerjaan yang sangat sulit bagi orang hidup jauh dari mekkah. Padahal dien ini diturunkan bukan untuk mempersulit tetapi untuk mempermudah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam
Dari hadits di atas bisa disimpulkan bahwa apabila seseorang memang mampu menghadap kiblat persis ke arah bangunan ka’bah maka itu adalah yang lebih utama. Tetapi jika hal itu menimbulkan kesulitan dan tidak mungkin dilakukan maka tidak mempersulit diri adalah tindakan yang lebih utama.
Kita tahu bahwa bumi itu bulat dan semua wilayah yang jaraknya jauh dari Mekkah seperti Negara Indonesia itu tidak mungkin bisa orang yang melakukan shalat bisa menghadapkan dirinya ( dadanya ) ketika sholat, persis ke arah bangunan ka’bah, tetapi pasti ke arah udara atau ruangan hampa di atas ka’bah.
Maka dari itu berkaitan dengan pengumuman MUI atau DEPAG bahwa arah kiblat mengalami pergeseran, kaum muslimin tidak perlu merubah arah kiblatnya jika hal itu menimbulkan kesulitan atau masalah-masalah yang tidak diinginkan, apalagi harus merobohkan masjid yang sudah terlanjur dibangun. Namun jika perubahan kiblat tersebut tidak menimbulkan kesulitan dan juga tidak menimbulkan kebingungan, maka hal itu baik- baik saja dilakukan.

BAHAN BACAAN
Syarh shahih Muslim, Imam Nawawi.
Mughnil Muhtaj, Imam khatib Asy-Syirbini.
Al-fiqh ala Al-madzahibu Al-arba’ah, Syaikh Abdurrohman Al-jaziiri.
Nailul author, imam Syaukani
Subulus salam syarh bulugul marom, Imam Ash-Shan’ani.

13 Jul 2010

AGAMA SEBAGAI PEUBAH SOSIAL

Oleh : Zul fahmi

Perubahan sosial
Perubahan sosial setidak-tidaknya memiliki dua bentuk yang berbeda, yakni perubahan sosial dalam perspektif evolusi dan perubahan sosial dalam perspektif revolusi. Peletak dasar pemikiran perubahan sosial sebagai suatu bentuk “evolusi” antara lain Herbert Spencer dan Augus Comte. Keduanya memiliki pandangan tentang perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif. Perubahan sosial menurut pandangan mereka berjalan lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.
Bertolak belakang dengan perspektif tersebut, revolusi merupakan sebuah bentuk perubahan sosial yang berlangsung cepat. Revolusi merupakan wujud perubahan sosial yang spektakuler. Sztompka memberikan gambaran bahwa revolusi merupakan puncak dari perubahan sosial. Revolusi merupakan sebuah proses pembentukan ulang masyarakat sehingga menyerupai proses kelahiran kembali. Perubahan yang terjadi melalui revolusi mempunyai cakupan yang luas dan menyentuh semua tingkat dan dimensi masyarakat. Perubahan akibat revolusi bersifat radikal, fundamental dan menyentuh langsung pada inti dan fungsi dari struktur sosial. Proses perubahan tersebut hanya memerlukan waktu yang cepat, sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep evolusi pada perubahan sosial.
Faktor perubah sosial
Berbicara mengenai perubahan sosial, kita mau tidak mau harus membahas mengenai faktor yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Untuk mempelajari perubahan pada masyarakat, perlu diketahui sebab-sebab yang melatari terjadinya perubahan itu. Apabila diteliti lebih mendalam sebab terjadinya suatu perubahan pada masyarakat, mungkin karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi memuaskan. Secara garis besar faktor penyebab perubahan dapat dikelompokkan dalam dua perspektif, yaitu materialistic factors dan idealistic factors.
1. Perspektif Materialis
Kubu perspektif materialis memandang bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya faktor material yang menyebabkannya. Faktor material tersebut diantaranya adalah faktor ekonomi dan teknologi yang berhubungan dengan ekonomi produksi. Pada dasarnya, perspektif ini menyatakan bahwa teknologi baru atau moda produksi baru menghasilkan perubahan pada interaksi sosial, organisasi sosial dan pada akhirnya menghasilkan nilai budaya, kepercayaan dan norma.
Perspektif materialistis bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan perubahan sosial. Marx memberikan penjelasan bahwa pada masa teknologi masih terbatas pada kincir angin memberikan bentuk tatanan masyarakat yang feodal, sedangkan ketika mesin uap telah ditemukan tatanan masyarakat menjadi bercirikan industrial kapitalis. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Peran penemuan teknologi baru di dalam perubahan sosial sangat besar, karena dengan adanya penemuan teknologi baru menyebabkan perubahan moda produksi dalam masyarakat. Masuknya teknologi telah dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya menghasilkan kesempatan kerja pada industri-industri baru yang bermunculan di kota besar. Perubahan lain yang sangat mendasar adalah munculnya kelas ekonomi baru yaitu kaum pemilik modal (pengusaha) dan buruh.
2. Perspektif Idealis
Berbeda dengan kubu materialis yang memandang bahwa faktor budaya material yang menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealis melihat bahwa perubahan sosial disebabkan oleh faktor non material. Faktor non material ini antara lain ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu yang pantas atau tidak pantas, sedangkan ideologi berarti serangkaian kepercayaan dan nilai yang digunakan untuk membenarkan atau melegitimasi bentuk tindakan masyarakat.
Salah satu pemikir dalam kubu idealis adalah Weber. Weber memiliki pendapat yang berbeda dengan Marx. Perkembangan industrial kapitalis tidak dapat dipahami hanya dengan membahas faktor penyebab yang bersifat material dan teknik. Namun demikian Weber juga tidak menyangkal pengaruh kedua faktor tersebut. Pemikiran Weber yang dapat berpengaruh pada teori perubahan sosial adalah dari bentuk rasionalisme yang dimiliki. Dalam kehidupan masyarakat barat model rasionalisme akan mewarnai semua aspek kehidupan. Menurut Weber, rasionalitas memiliki empat macam model, yaitu :
1. Rasionalitas tradisional.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai.
3. Rasionalitas afektif.
4. Rasionalitas instrumental.
Weber melihat bahwa pada wilayah Eropa yang mempunyai perkembangan industrial kapital pesat adalah wilayah yang mempunyai penganut protestan. Bagi Weber, ini bukan suatu kebetulan semata. Nilai-nilai protestan menghasilkan etik budaya yang menunjang perkembangan industrial kapitalis. Protestan Calvinis merupakan dasar pemikiran etika protestan yang menganjurkan manusia untuk bekerja keras, hidup hemat dan menabung. Pada kondisi material yang hampir sama, industrial kapital ternyata tidak berkembang di wilayah dengan mayoritas Katholik, yang tentu saja tidak mempunyai etika protestan.
Tokoh lain adalah Lewy yang memperjelas pendapat Weber tentang peranan agama dalam perubahan sosial. Lewy mengambil contoh sejarah yang menggambarkan bahwa nilai-nilai agama mempengaruhi arah perubahan. Dia menyebutkan adanya pemberontakan Puritan di Inggris, kebangkitan kembali Islam di Sudan, pemberontakan taiping dan boxer di China. Seperti halnya Weber, Lewy tidak menyangkal bahwa kondisi material mempengaruhi perubahan sosial. Namun demikian kita tidak dapat hanya memahami perubahan sosial yang terjadi hanya dari faktor material saja.
Ideologi mampu menyebabkan perubahan paling tidak melalui tiga cara yang berbeda, yaitu :
1. Ideologi dapat melegitimasi keinginan untuk melakukan perubahan.
2. Ideologi mampu menjadi dasar solidaritas sosial yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan.
3. Ideologi dapat menyebabkan perubahan melalui menyoroti perbedaan dan permasalahan yang ada pada masyarakat.
Konsep perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang berbeda, yaitu kubu materialis yang dipelopori oleh Marx dan kubu idealis yang dipelopori oleh Weber.
Agama sebagai peubah sosial
Sesuai dengan uraian di atas, maka antara agama dengan perubahan sosial ada sebuah hubungan yang sangat dekat. Merujuk pada Max Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Agama merupakan sebuah idielogi yang dengan nilai-nilainya telah mendorong para penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dan membangun sebuah peradaban.
Namun kalau merujuk kepada pendapat yang lain, bahwa Weber bukanlah manusia ‘hari ini’, tesisnya mengenai agama sebagai motor perubahan sosial itu dilahirkan sekitar seratus empatpuluh tahun yang lalu . Ada pandangan bahwa hari ini kelihatannya yang terjadi sebaliknya, agama (utamanya) melalui instrumen teologinya harus mengejar ‘kebaruan’ pola interaksi sosial. Misalnya saja Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Tesis ini berangkat dari sebuah teori kritis yang menyeruak sekitar tahun 60-an.
Sehingga paling tidak hingga hari ini, terdapat tarik – menarik yang begitu besar pada wacana yang berpengaruh dalam hubungan antara agama dengan perubahan sosial. Pertama, pendapat yang menempatkan agama (harusnya) berubah mengikuti arus kondisi interaksi manusia. Kedua, agama berubah karena lebih dipicu oleh ‘kegelisahan’ terhadap perkembangan kondisi interaksi manusia hari ini yang semakin membangun jarak terhadap kontrol agama, berpendapat kondisi hari inilah yang harus (dirubah) menyesuaikan (teks-teks) agama.
Pendapat tersebut menempatkan agama sebagai suprastruktur sosial. Agama bukanlah sebuah entitas otonom yang vakum dari interaksi sosial diluarnya. Bahkan entitas ‘luar agama’ itu bisa jadi mendikte (perubahan) agama. Agama terus berubah mengikuti pergeseran struktur ekonomi dan struktur budaya. Karen Amstrong bahkan menggunakan term Tuhan (God), A History of God dalam menggambarkan betapa ‘agama’ terus berubah berdialektika dengan alam dan struktur sosialnya.
Pendapat yang pertama bahwa agama sebagai perubah sosial yang spektakuler sebagaimana Weber tegaskan, adalah pendapat yang didasarkan pada kondisi real secara empirik. Sejarah telah membuktikan bahwa agama sangat berperan penting dalam merubah kondisi sosial. Dan semodern apapun tata kehidupan dunia ini dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, agama tetap merupakan sumber idiologi yang paling beperan memberikan inspirasi dan kekuatan bagi manusia untuk melakukan perubahan dan perombakan system dan struktur sosial yang dipandang kurang sesuai dengan idiologi yang diajarkan. Agama yang ditafsiri sebagai sumber dan produk pemikiran mungkin dapat berubah mengikuti perkembangan dan pergeseran struktur ekonomi dan budaya. Namun agama yang ditafsiri sebagai sumber ideologi , tata nilai, doktrin keyakinan, tetap memainkan peranan yang besar dalam mendorong manusia untuk melakukan perubahan secara sosial.

7 Jul 2010

Agama dan Kekuasaan Agama Sebagai Medium Pembebasan

Oleh : Ruslan H. Husen

Agama sebagai institusi keyakinan memiliki perangkat-perangkat yang memberikan penjelasan dan konsepsi pada Tuhan, manusia dan alam semesta. Dari—nya memberikan arah orientasi yang akan di capai oleh penganutnya untuk mewujudkan konsepsi ideal itu. Dalam pencapaian tujuan itu, kadang menumbuhkan sikap fundamentalisme dan radikalisme, sebagai konsekwensi menghadapi tantangan dan hambatan.

Sementara kekuasaan sebagai salah satu perangkat agama, sangat di tentukan oleh “siapa” yang menjalankan kekuasaan itu. Artinya untuk tegaknya hukum-hukum agama perlu di topang oleh kekuasaan yang pro—hukum agama. Walhasil pelaksanaan kekuasaan diwarnai oleh nilai-nilai kultural keagamaan. Sisi ini merupakan penyatuan agama dengan negara dalam pelasanaan kekuasaan, di samping sisi lain yakni pemisahan agama dan negara serta pengakuan negara terhadapap nilai-nilai keberagamaan atau pluralisme dalam arti luas.

Agama Rakyat
Agama rakyat merupakan keyakinan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dan menjadi pendorong serta penggerak terjadinya perbaikan dan perubahan, yang kadang dipengaruhi faktor kekuasaan. Agama rakyat itu merupakan agama monoteisme yang melakukan perlawanan terhadap agama multiteisme. Agama multiteisme meniscayakan dirinya sebagai pendukung banyak kebenaran yang hakikatnya kebodohan dan kerusakan. Sebab kebenaran dan keadilan memiliki substansi pada suatu kausa prima yang teraktualkan oleh manusia melalui sikap dan tingkah lakunya.

Agama rakyat dalam realitasnya dalam kehidupan masyarakat selalu memiliki banyak sisi. Artinya realitas sosial selalu dipengaruhi oleh posisi agama. Olehnya itu, Zainuddin Maliki menuliskan bahwa tesis agama rakyat dengan melihat fungsi-fungsinya dalam masyarakat, dapat di kemukakan berikut :

Pertama, Integrasi. Agama rakyat dalam hal ini di posisikan sebagai kekuatan penyatu dan kekuatan tarik-menarik (kohesi) sosial. Bahwa agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meskipun menghadapi perubahan sosial dan kekacauan. Dari itu masyarakat memiliki keyakinan dan kesadaran kolektif yang berfungsi mempersatukan sistem sosial.

Klaim fungsional ini memang memiliki akibat, tetapi masih memerlukan kualifikasi tertentu, sebab meski agama rakyat dalam konteks Indonesia bergerak ke arah integrasi negara, agama rakyat ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan-pengkotan, yang di situ muncul kelompok tertentu yang menganggap agama rakyat tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.

Kedua, legitimasi. Di sini agama rakyat di posisikan sebagai kekuatan legitimasi bagi penguasa dalam menjalankan otoritas dan kekuasaannya di tengah konflik sosial-politik dan ketidak-pastian. Antara pemimpin dan yang di pimpin merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi kelangsungan sistem sosial. Dalam hal ini karakteristik otoritas pemimpin akan menentukan legitimasi di hadapan yang di pimpin. Karakteristik itu bisa berasal dari sumber tradisonal, legal rasional dan kharisma pemimpin.

Legitimasi ini tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga menyangkut proses suatu sistem sosial dalam memberikan persetujuan masyarakat dan institusi yang ada di dalamnya. Bahwa agama rakyat merupakan fenomena episodik yang muncul tatkala keadaan menghadapi krisis, tetapi berubah kembali ketika keadaan telah normal kembali. Selanjutnya munculnya agama rakyat mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan masyarakat.

Olehnya itu perlu diwaspadai ketika agama itu sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi tindakan penguasa yang tidak menggambarkan realitas sosial yang autentik, dan di pakai tidak secara konsisten melainkan hanya secara episodik sesuai kebutuhan elit politik ketika harus menghadapi krisis. Sebaiknya dalam hal ini, pemimpin politik dalam masyarakat mendasarkan legitimasi kekuasaan dan otoritasnya pada efektifitas dalam memperjuangan kebutuhan dan kepentingan masyarakat, ketimbang mengkaitkan dengan agama dan nilai moral.

Ketiga, Profetik. Fungsi profetik agama rakyat sebagai sumber penilaian profetik bagi sebuah bangsa. Ia memperlihatkan jarak antara potensi bangsa dan apa yang sedang dicapainya. Sistem keyakinan dalam hal ini dibutuhkan untuk menjamin moralitas kesatuan dalam suatu negara. Oleh karena itu diperlukan otoritas untuk menciptakan dan menjalankan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Moralitas individu yang dibutuhkan, dengan meninggalkan egoisme dan lebih memberi simpati kepada semua manusia atas penderitaan dan kenestapaan.

Agama rakyat memposisikan dirinya sebagai medium pembebasan atas segala kerusakan dan kebobrokan yang menimpa termasuk dilakukan oleh penguasa. Dalam hal ini jika penguasa merupakan pendukung status quo maka agama rakyat menjadi pendukung perubahan yang anti kemapanan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden. Nilai-nilai profetik keagamaan menjadi orientasi ideal serta motivasi dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan. Walhasil terjadi di kotomi antara agama rakyat yang pro-perubahan dengan orientasi nilai-nilai humanis-transenden dengan pendukung realitas sosial yang rusak dan bobrok.

Agama dan Perubahan Sosial
Wacana agama dan perubahan sosial saat ini menjadi penggalan pendek sejarah peradaban. Hubungan tersebut di bangun dari rumusan pertanyaan dan ragam argumentasi mengenai letak agama dalam perubahan sosial. Merujuk pada Max Weber (1864-1920), agama-lah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia. Dengan nilai-nilai keagamaan mendorong penganutnya untuk melakukan perubahan sosial dalam rangka melahirkan peradaban yang lebih humanis.
Sepanjang sejarah, agama berkonfrontasi bukan dengan non-agama. Agama berjuang melawan agama. Agama monoteisme yang berdasarkan kesadaran, wawasan cinta dan kebutuhan seseorang, primordial, kebutuhan filosofis berdiri berhadapan dengan agama yang lahir dari kebodohan dan ketakutan. Pendikotomian itu berdasarkan nilai-nilai ke-agamaan yang terdapat pada setiap agama dan keyakinan. Bahwa di agama dan keyakinan itu selalu mengakui dan meng-orientasikan diri pada keadaan yang humanis-transenden.

Setiap kali Nabi diutus kepada agama monoteisme yang merupakan agama revolusioner, untuk bangkit dan melawan agama multiteisme, umat manusia di seru untuk mengikuti hukum alam yang mengatur jagad raya, perjalanan penciptaan yang merupakan kehendak Tuhan. Pada dasarnya, kewajiban agama monoteisme adalah pemberontakan, penolakan dan kata ‘tidak’ di hadapan kekuasaan yang lain.

Sebaliknya, bertentangan dengan penyembahan Tuhan, ada penyembangan penguasa arogan yang memberontak melawan perintah-perintah Tuhan, yang menyeru manusia untuk melawan sistem kebenaran yang mengatur alam dan kehidupan manusia, menimbulkan perbudakan dan berbagai macam berhala yang mewakili berbagai kekuasaan masyarakat.

Dari sini orang-orang tertindas membentuk suatu barisan perjuangan yang belum di selewengkan sehingga memungkinkan dilakukannya deduksi dari bagian-bagian kitab suci agama. Perlawanan itu ditujukan pada para aristokrat yang kaya, orang-orang serakah yang hidup dalam kemakmuran dan kemewahan, penguasa tanpa punya rasa tanggung jawab yang jelas-jelas atas namanya sendiri maupun dengan melindungi dirinya di bawah legitimasi agama Tuhan dan rakyat.

Agama monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan adalah pendukung orang-orang yang tertindas dan tertekan. Ia menyeru rakyat untuk menegakkan keadilan. Agama monoteisme lahir dari kesadaran dan kebutuhan terhadap cinta, penyembahan dan kesadaran bagi rakyat. Lebih dari itu, ia berbentuk suatu gerakan kritik melawan sejarah yang telah dirusak dan diracuni.

Perubahan sosial menjadikan gerakan yang selalu berasosiasi dengan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau reaksi atas kondisi tertentu di masyarakat. Respon atau reaksi terhadap suatu keadaan, adalah respon yang diberikan oleh agama monoteisme dalam masyarakat yang ingin mendorong perubahan. Perubahan sosial itu diawali dengan terjadinya relasi kekuasaan atau perubahan tata kekuasaan yang tentunya hal itu bukan akhir, tetapi awal. Artinya, perubahan yang dimaksud bukan sekedar suatu proyek penggantian kekuasaan, atau sirkulasi kekuasaan—melainkan suatu proses yang selalu aktif dan pro-perubahan sehingga terwujud suatu peradaban yang humanis-transenden.

PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM KUNTOWIJOYO

PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM
KUNTOWIJOYO

Shofiyullah Mz., M. Ag.*

Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena keberagamaan umat Islam di Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos sebagai akibat dari proses agrarisasi masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin mengarah pada sekularisasi agama. Untuk itulah kemudian Kunto melontarkan gagasannya mengenai Paradigma Islam. Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan lima program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan penafsiran dari individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif menjadi teoritis, mengubah pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir dari subjektif ke arah objektif, dan mereformulasi wahyu yang bersifat umum menjadi khusus.



A. Iftitah
Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.
Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi sosialnya.
B. Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan Islam, dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran keislamannya ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
C. Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:
Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.
Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.
Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.
Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.
Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.

Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.
Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.
Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.
Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx, bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.
D. Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan transformatif.
Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.














DAFTAR PUSTAKA




Abdurrahman, Muslim, Teologi Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)

Ali, Fakhri dan Efendy, Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Oerde Baru, (Bandung: Mizan, 1986)

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993)

Bagader, Abubaker A., Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam , Perspektif Sosiologi Agama, Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)

Bahasoan, Awad, “Gerakan Pembaharuan Islam; Interpretasi dan Kritik”, Prisma, No. Ekstra, 1984

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994)

----------------, “Tjokro, Natsir dan Habibie”, dalam Ummat, No. 9 tahun 1995

----------------, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)

----------------, “Islam Sebagai Ide”, Prisma, No. Ekstra, 1984

Raharjo, M. Dawam , “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)

Rahman, Fazlur , Islamic Studies and the Future of Islam, (Malibu, California: 1980)

----------------, Islam, (New York: Anchor Book, 1968)

----------------, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago, 1980)

----------------, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980)

Rahman, Budi Munawar, “Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia” dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI, 1995





Followers