20 Jul 2009

DALIL DALIL SYARI'AH WAJIBNYA SHOLAT IED IKUT PEMERINTAH

Oleh : Zul Fahmi

Di Indonesia, Penetapan Hari Raya Idul Fithri atau tanggal satu bulan Syawal, telah menjadi persoalan tahunan yang cukup meresahkan dan membingungkan segenap kaum muslimin, terutama kaum awam yang kurang bisa memahami dan mengerti hakekat persoalan. Keresahan dan kebingungan ini sangat terasa sekali, terutama pada malam hari sebelum pelaksanaan sholat Ied, dari perselisihan antar pengurus masjid atau panitia sholat Ied, kepanikan mereka mencari informasi kesana- kemari, pengumuman sholat Ied yang berkali-kali dan berubah-rubah dalam satu masjid, jadwal khotib yang kacau karena hari yang dipilih khotib berlainan dengan panitia sholat Ied, sampai dengan kepengurusan zakat fithri, persiapan tempat dan peralatan sholat yang juga ikut kacau.

Bahkan, perselisihan itu gaungnya sudah bisa didengar dan dirasakan sejak awal Romadhon, karena sebagian pihak telah mengumumkanya, mengangkatnya ke mimbar-mimbar khutbah jum'at, pengajian-pengajian umum, atau lewat selebaran dan brosur-brosur yang ditempel di masjid-masjid dan dibagikan kepada kaum muslimin. Mereka mengumumkan hari pelaksanaan sholat Ied sejak awal bulan Ramadhan padahal pemerintah dalam hal ini Dewan Itsbat belum menetapkanya dengan pasti, karena harus menunggu hasil Ru'yatul Hilal di akhir bulan Ramadhan.

Ini adalah fitnah yang sangat memprihatinkan, sholat hari raya yang seharusnya dilaksanakan bersama-sama oleh seluruh umat Islam minimal dalam satu kawasan, negara atau daerah yang masih dalam satu mathla', terpaksa harus diwarnai dengan perselisihan dan kekacauan, yang dalam hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan kecuali mereka orang-orang kafir, musuh-musuh Islam yang sangat menginginkan perselisihan dan perpecahan umat Islam.

Ru'yah Dan Hisab

Dalam menentukan masuknya tanggal satu bulan Romadhon atau tanggal satu bulan Syawal, ada dua metode yang dikenal oleh umat Islam saat ini. Pertama Ru'yatul Hilal, yang kedua dengan Hisab. Ru'yatul Hilal adalah menyaksikan hilal di akhir bulan dan menyempurnakanya menjadi tiga puluh hari apabila ada penghalang {awan} ketika melihat hilal, Sedangkan hisab adalah melakukan penghitungan berdasarkan ilmu falak.

Penetapan dengan cara Ru'yatul Hilal, didasarkan pada nash-nash yang sangat jelas sekali. Contohnya adalah sabda Rasulullah SAW,

صوموا لرؤ يته وافطروا لرؤ يته فاء ن حال بينكم وبينه سحاب فكملوا العد ة ثلا ثين .رواه أحمد

" Siyamlah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena melihatnya pula. Maka jika terjadi antara kamu dan ia penghalang {awan}, sempurnakanlah hitunganya menjadi tiga puluh" {HR.Imam Ahmad}

Rasulullah SAW bersabda,

لا تقدموا الشهر حتي تكملواالعدة او ترواالهلال ثم صوموا ولاتفطروا حتي ترواالهلال اوتكملواالعدة ثلاثين. رواه النسائ

" Janganlah kamu mendahului {menyatakan masuknya bulan} sehingga kamu menyempurnakan hitunganya atau kamu melihat hilal. Kemudian bersiamlah kamu sekalian dan janganlah membatalkanya sehingga kamu melihat bulan atau menyempurnakan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari." {HR.Imam An-Nasai dari sahabat Hudzaifah ibnul Yaman }

Rasulullah SAW juga bersabda,

لاتصومواحتي ترواالهلا ل ولا تفطرواحتي تروه فاءن غم عليكم فا قدرواله. رواه البخاري

"Janganlah kamu melakukan shoum sampai melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya, dan jika ada yang menghalangi kamu , maka sempurnakanlah bilanganya." {HR.Bhukhori}

Sedangkan menetapkan hilal dengan metode hisab, pada dasarnya tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW maupun para sahabat, karena pada saat itu memang belum dikenal ilmu hisab. Metode ini baru dilakukan kira-kira akhir abad ke 3 hijriyah, ketika Islam mengalami perkembangan dan kejayaan ilmu pengetahuan di Cordova, Spanyol. Dan hisab Itupun dilakukan, karena ru'yah gagal dilaksanakan sebab terhalang awan, dan hisab pada waktu itu hanyalah untuk memperkuat dugaan mereka atau membantu ru'yah mereka. Tidak seperti sekarang ini, hisab dijadikan sebagai satu-satunya cara untuk menetapkan hilal, dengan meninggalkan ru'yah.

Orang yang lebih mengutamakan hisab daripada ru'yatul hilal mengatakan, bahwa jaman Nabi dan sahabat adalah jaman dimana mereka belum mengenal ilmu hisab, bahkan kebanyakan mereka tidak dapat membaca dan menulis. Maka, mereka menetapkan awal bulan dengan cara melihatnya. Namun sekarang, jaman sudah maju, sudah banyak orang pintar, ahli hitung dan falak, serta didukung dengan teknologi yang sangat canggih, maka tak perlu lagi menggunakan ru'yatul hilal, dan cukup dengan hisab saja. Dan inilah cara yang lebih qoth'i daripada ru'yatul hilal yang terkadang menemui penghalang.

Sebenarnya tidak ada alasan syar’i yang kuat untuk lebih mengutamakan hisab daripada ru'yah, apalagi meninggalkanya. Hadits-hadits yang memerintahkan ru'yah sangat banyak sekali jumlahnya, dan kata ru'yah disini tidak bisa diartikan dengan makna lain kecuali melihat dengan mata kepala. Karena kata ru'yah dalam bahasa arab biasanya hanya diartikan dengan dua hal sebagaimana hadits-hadits Nabi SAW, yang pertama mimpi dan yang kedua melihat dengan mata. Jadi ru'yah tidak bisa dita'wil dengan mengatakan bahwa maksudnya ru'yatul hilal itu adalah melihat dengan memakai ilmu pengetahuan, yaitu hisab seperti sangkaan mereka.

Memang benar jika dikatakan, bahwa pada jaman Nabi dan sahabat belum dikenal ilmu hisab atau ilmu falak, namun jaman setelah itu ilmu hisab dan ilmu falak sudah banyak dikenal oleh para ulama', tetapi mereka tidak menggunakan ilmu itu untuk menentukan hilal, karena mereka lebih mengikuti petunjuk nash yang disabdakan Nabi SAW, bahwa puasa dan sholat hari raya, dikaitkan dengan ru'yah bukan dengan hisab. Mereka tetap menggunakan ru'yah karena itulah intruksi dan ajaran Nabi SAW, bukan karena mereka tidak memahami manfaat hisab. Di samping itu, ru'yah adalah cara yang lebih mudah dan lebih bisa dimengerti oleh seluruh kaum muslimin. Sedangkan hisab adalah cara yang jlimet, yang hanya bisa difahami oleh orang-orang tertentu saja, tidak oleh seluruh kaum muslimin.

Menetapkan awal bulan Romadhon dan syawal dengan hisab di saat langit tertutup awan, sebenarnya banyak dibantah oleh para ulama'. Mereka menegaskan tidak bolehnya bersandar pada perhitungan ilmu falak dalam menetapkan hilal, karena sesungguhnya syare'at Islam ini mengaitkan pelaksanaan shoum dan mengakhirinya dengan ru'yah bukan dengan hisab.

An-Nawawi dalam syarh Shohih Muslim menyebutkan bahwa jumhur fuqoha' mengatakan, " Tidak betul jika yang dimaksud adalah hisab ahli perbintangan. Sebab jika manusia dibebani dengan hal ini, tentulah akan memberatkan mereka, sebab masalah hisab perbintangan tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya beberapa orang saja. Sedang syari'at dapat dipahami orang apabila kebanyakan mereka mengetahuinya. Wallahu a'lam."

Madzhab Maliki berpendapat, " Hilal tidak boleh ditetapkan dengan pendapat ahli perbintangan, ahli penghitungan, ahli perhitungan masa yang mengetahui perjalanan bulan, baik ketetapan itu untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, karena sesungguhnya syare'at Islam mengaitkan shoum, idul fithri, dan haji dengan ru'yatul hilal, bukan dengan keberadaan ahli perbintangan walaupun pendapatnya diasumsikan benar."

Bahkan Ibnu Taimiyah dengan tegas sekali mengatakan, " Dan orang yang bersandar pada hisab dalam masalah hilal, maka ia telah sesat dalam syare'at Islam, berlaku bid'ah dalam dien, dan ia telah keliru akal dan hisabnya."

Wihdatul Mathla', Ikhtilaful Mathooli'

Ada tiga pendapat mengenai penentuan awal bulan Romadhon maupun Idul Fithri berkaitan dengan tempat terbitnya bulan {Mathla'}. Pertama adalah Wihdatul Mathla' yaitu ru'yah suatu negeri berlaku pula untuk negeri-negeri yang lain. Kedua Ikhtilaful Mathooli' yaitu ru'yah suatu negeri tidak berlaku secara mutlak bagi negeri-negeri yang lain. Kemudian yang ketiga adalah Tafshiil, yaitu dengan memerinci bahwa ru'yah suatu negeri berlaku untuk negeri-negeri lain yang masih satu mathla'. Sementara negeri-negeri yang berbeda mathla' boleh mengikuti hari yang berbeda sesuai dengan mathla'-nya masing-masing.

An-Nawawi dalam "Al-Majmu' " mengatakan bahwa sudah masyhur dalam madzhab Syafi'i, apabila hilal telah terlihat di suatu negeri, sedangkan ia tidak terlihat di negeri yang lain, maka kalau dua negeri tersebut berdekatan, hukumnya sama dengan satu negeri. Dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melaksanakan shoum. Tetapi kalau dua negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah yang mengatakan bahwa shoum tidak wajib atas penduduk negeri yang lain.

Kemudian Imam Qurthubi mengatakan bahwa dalam madzab Maliki ditegaskan, apabila suatu negeri saling berjauhan seperti jauhnya Syam dan Hijaz, maka wajib atas setiap penduduk dari masing-masing negeri untuk melaksanakan ru'yah di negerinya tanpa menggunakan ru'yah negeri yang lain, walaupun telah menjadi keputusan khalifah selama khalifah tidak mewajibkanya. Dan apabila ia mewajibkanya, maka tidak diperbolehkan untuk menyelisihi perintahnya.

Ketentuan tersebut berdasarkan hadits dari Kuraib, "Bahwasanya Ummu Fadhl binti Haris mengutus dia untuk menemui Kholifah Mu'awiyah di Syam, maka Kuraib berkata, "Kemudan aku datang ke Syam untuk menyelesaikan keperluan Ummu Fadhl, dan terjadilah hilal Romadhon, sedangkan aku masih di Syam dan melihat hilal pada malam jum'at. Kemudia aku kembali ke Madinah pada akhir Romadhon, dan Abdullah bin Abbas menanyaiku tentang masalah hilal. " Kapan kalian melihat hilal?" Aku menjawab, " kami melihatnya pada malam jum'at, kemudian ia bertanya, "Engkau melihatnya?" Aku katakan "Ya aku melihatnya, dan semua orang melihatnya, mereka semua melakukan siyam begitu juga Mu'awiyah" Maka Ibnu Abbas berkata, "Akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, maka kita akan tetap shoum hingga kita menyempurnakanya menjadi 30 hari, atau sampai kita melihat hilal syawal" Kemudian aku katakan "Tidakkah cukup dengan ru'yah dan shoumnya Mu'awiyah?" Maka ia menjawab, "Tidak beginilah Rasulullah SAW. menyuruh kitai." {Hadits riwayat Muslim}

Hadits dan pendapat dua madzhab di atas sudah cukup untuk menjelaskan bahwa apabila dua negeri saling berjauhan maka tidak mengharuskan keduanya memulai siyam atau melaksanakan sholat Ied bersama, seperti jauhnya Saudi Arabia dengan Indonesia, maka keduanya tidak mesti sholat Ied bersama-sama.

Wajibnya Mengikuti Penguasa.

Sholat hari raya Idul Fithri adalah salah satu syiar Islam yang seharusnya dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh kaum muslimin, dalam satu kawasan {negeri}, atau daerah yang masih dalam satu mathla'. Itulah praktek sholat Ied yang dicontohkan oleh generasi awal sejak masa sahabat, tabiin, tabiut tabiin, maupun oleh para ulama' pada masa-masa setelahnya. Hal itu didasarkan pada sebuah hadits Rasulullah SAW. yang berbunyi,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ. رواه الترمذي

" Bulan puasa itu adalah bulan dimana kamu sekalian berpuasa. Dan hari raya idul fithri adalah hari dimana kamu sekalian idul fithri. Hari raya idul adha itu adalah hari dimana kamu sekalian berhari raya idul adha." { Diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Sunannya }

Sejak masa Sahabat, Tabiin, Tabiut tabiin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Utsmaniyah hingga sekarang ini baik di Mesir, Saudi Arabia, Irak, Kuwait dan lain sebagainya, sholat Ied tidak pernah mengalami masalah seperti di Indonesia. Mereka selalu sholat bersama-sama mengikuti keputusan penguasanya masing-masing. Belum ada satu kelompok atau pergerakan apapun yang membuat keputusan sendiri kemudian melakukan sholat sendiri. Tidak ada pula dalam sejarah Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Ahmad bin Hambal, Al-Ghozali, sampai ulama' sekarang seperti Syaikh Yusuf Qordhowi, Hasan Al-Banna, syaikh bin Baz, Utsaiman dan Ulama-ulama' besar lainya, membuat keputusan sendiri kemudian mengajak para pengikutnya untuk melakukan sholat bersamanya dengan menyelisihi keputusan penguasa. Kendatipun banyak diantara para ulama tersebut yang prinsip-prinsipnya berseberangan dengan penguasa, namun dalam persoalan siyam dan sholat Ied, hal itu tidak menghalangi mereka mengikuti keputusan penguasa.

Hal yang harus difahami, bahwa perbincangan dan perselisihan para ulama' seputar ru'yah dan hisab, dan apakah wihdatul mathla' atau ikhtilaful matholii' yang mesti digunakan sebagai acuan untuk membuat keputusan, sebenarnya tidak pernah sampai ke masalah praktek, baik jaman dulu maupun sekarang. Artinya, walaupun ada perselisihan, namun ketika sudah sampai dalam pelaksanaan sholat Ied, maka tetap dilakukan bersama-sama tidak ada perbedaan, dalam konteks masih dalam satu kawasan atau daerah yang tidak berbeda mathla'.

Sekarang, fenomena yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Sholat Ied dalam satu kawasan negara, Propinsi, Kecamatan, bahkan tingkat Kelurahan yang jelas-jelas satu mathla', bisa dilakukan dengan waktu yang berbeda. Dua masjid dalam satu kampung saja sholatnya juga bisa beda. Inilah perkara aneh dalam hal sholat Ied, yang baru terjadi pada jaman ini, abad ini, dan di negara berpenduduk Islam terbesar ini.

Dalam Islam, kaum muslimin diwajibkan untuk mentaati Allah Ta'ala, rasul-NYA Muhammad Shollallahu 'alaihi Wasallam, serta Ulil Amri atau para imam {pemimpin}, selama mereka berada dalam kebenaran tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Allah Ta'ala berfirman,


" Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." { QS.An-Nisa': 59 }

Para ulama' berbeda pendapat tentang makna Ulil Amri. Sebagian mengatakan umaro' atau para amir {penguasa}, sebagian yang lain mengatakan ulama' atau ahli fiqih. Ibnu Abbas dan Jabir radhyallahu'anhu berkata,
هم الفقهاء والعلماء الذين يعلِّمون الناس معالِمَ دينهم،

"Mereka adalah para ulama', para ahli fiqih yang mengajarkan kepada manusia dien mereka"

Begitu pula pendapat Al-Hasan, Adh-Dhohak dan Mujahid. Sementara itu Abu Huroiroh, Ibnu Abbas dalam qoul yang lain, As-Sudai, dan Ibnu Zaid, mereka berkata,
أولو الأمر هم الأمراء
"Ulil amri adalah para amir{ pemimpin } "

Asy-Syaukani dalam tafsirnya "Fathul Qodir" menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam surat An-Nisa' tersebut adalah,

الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية

"Ulil Amri adalah para imam, para penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan syar'iyah, bukan kekuasaan thogutiyah”

Jadi Ulil Amri dalam ayat di atas maksudnya adalah para pemimpin kaum muslimin, yakni para penguasa, hakim, dan para ulama'. Selama mereka memerintahkan perkara yang benar sesuai denga syari'at, maka kaum muslimin wajib mentaatinya. Namun apabila mereka memerintahkan perkara yang bertentangan dengan syari'at, maka kaum muslimin tidak wajib mentaatinya.

Imam At-Thobari dalam tafsirnya mengatakan, bahwa Abu Ja'far berkata " Ulil Amri yang benar adalah Umaro' karena ada khobar yang shahih dari Rasulullah SAW, yang memerintahkan untuk taat kepada para Imam dan pemimpin dalam hal ketaatan kepada Allah Ta'ala, dan dalam hal yang mengandung kemaslahatan bagi kaum muslimin." Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh, bahwa Rasulullah SAW. bersabda,

سيليكم بعدي ولاة، فيليكم البَرُّ ببِرِّه، والفاجر بفجوره، فاسمعوا لهم وأطيعوا في كل ما وافق الحق، وصلُّوا وراءهم. فإن أحسنوا فلكم ولهم، وإن أساؤوا فلكم وعليهم

"Akan berlalu setelahku seorang pemimpin, maka akan menimpamu kebaikan dengan sebab kebaikanya, dan akan menimpamu kedholiman dengan sebab kedholimanya. Maka dengarkanlah mereka, taatilah mereka dalam semua perkara yang sesuai dengan kebenaran, sholatlah kamu sekalian di belakang mereka, maka jika mereka berbuat baik kebaikan itu untukmu dan untuk mereka. Dan jika mereka berbuat buruk, maka keburukan itu menimpamu dan {dosanya} atas mereka."

Dan sungguh banyak dalil-dalil lain yang shahih lagi mutawatir, yang mewajibkan taat kepada para Imam, para sultan atau umaro'. Rasulullah SAW. bersabda,

"اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل حبشي كأن رأسه زبيبة". رواه البخاري

"Dengarlah oleh kamu sekalian!, dan taatlah kamu sekalian! Walaupun yang memerintah kamu sekalian adalah seorang budak habsyi yang rambutnya seperti zabiib { kurma kering }. {Hadits riwayat Bukhori}
.
السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره، ما لم يؤمر بمعصية، فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة. رواه البحاري ومسلم

"Mendengar dan taat adalah wajib atas seorang muslim dalam perkara yang disukainya ataupun dibencinya, selama tidak diperintah kepada maksiat. Maka apabila diperintah kemaksiatan maka tidak wajib mendengar dan taat." { Hadits riwayat Bukhori Muslim, juga Abu Dawud }

Dalam kitab tafsirnya Imam Qurthubi menukil perkataan seorang ulama' yang sangat fakih dan waro' yaitu Sahl At-Tustary yang berkata,

أطيعوا السلطان في سبعة : ضرب الدنانير ، والدراهم ، والمكاييل ، والأوزان ، والأحكام ، والحج ، والجمعة ، والعيدين ، والجهاد .

"Taatialah para penguasa dalam tuju hal yaitu: Mencetak dinar dan dirham, menetapkan takaran dan timbangan, hukum, haji, sholat jum'at, sholat dua hari raya, dan jihad."

Sebagaimana keterangan Al-qur'an dan hadits-hadits di atas bahwa kewajiban taat pada pemimpin itu berlaku untuk hal-hal yang mengandung ketaatan dan kemaslahatan, maka mengikuti serta mentaati keputusan penguasa dalam hal melaksanakan sholat Ied, adalah hal yang jelas mengandung ketaatan dan kemaslahatan. Maka dalil-dalil di atas adalah dalil yang menjelaskan bahwa wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk mengikuti dan mentaati penguasa dalam hal melaksanakan sholat Ied, demi untuk menghindari perselisihan dan demi terwujudnya kemaslahatan.

Yang Berhak Memutuskan Dan Mengumumkan Hari Raya

Ru'yatul hilal dan hisab adalah dua cara untuk menentukan tanggal Satu bulan Romadhon atau tanggal satu bulan syawal sebagaimana pembahasan di atas. Kemudian sekarang, bagaimanakah kaifiyah pelaksanaan ru'yah dan hisab itu sendiri. Apakah ru'yah dan hisab harus dilakukan oleh semua orang atau semua kelompok yang akan melakukan siyam dan melaksanakan sholat, kemudian masing-masing mengumumkan hasil hisab dan ru'yahnya? Ataukah hisab dan ru'yah dilakukan oleh sebuah team khusus yang sudah mewakili seluruh kaum muslimin, kemudian team itulah yang punya otoritas penuh untuk mengumumkanya kepada masyarakat? Bagaimanakah cara yang tepat, agar pelaksanaan hisab dan ru'yah tersebut tetap sesuai dengan syari'at, sehingga mewujudkan kemaslahatan {ukhuwah islamiyah}, bukan perselisihan dan kekacauan seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Dalam ranah praktek mengenai penentuan dan pelaksanaan sholat Hari Raya Idul Fithri di wilayah manapun, sebenarnya hisab ataukah ru'yah yang harus dipegang, bukan lagi persoalan yang esensial. Karena sudah jelas bahwa penentuan dengan menggunakan hisab semata, adalah barang baru yang dipopulerkan, namun sebenarnya lemah karena bertentangan dengan kewajiban umat Islam yang harus konsisten pada hadits. Artinya semua orang akan tahu kalau Hisab adalah perkara yang lemah landasan hukumnya. Namun persoalan yang lebih penting dan harus diperhatiakn, bahwa perdebatan apakah Ru'yatul Hilal ataukah hisab yang harus dipakai untuk menentukan kapan jatuhnya tanggal satu bulan Romadhon atau Syawal di manapun dan kapanpun, adalah perdebatan yang selamanya tidak pernah menyelesaikan persoalan, apabila praktek pelaksanaanya tetap seperti di Indonesia ini. Yakni, masing-masing orang atau kelompok melakukanya sendiri-sendiri, dan memutuskanya sendiri-sendiri.

Taruhlah contoh, semua umat Islam di Indonesia ini sepakat bahwa cara yang dipakai adalah ru'yah. Kemudian kalau semuanya melakukan ru'yah, baik itu Muhammadiyah, NU, PERSIS, dan semua kelompok umat Islam, maka sama saja sholat Ied akan berbeda-beda lagi waktunya, karena hasil ru'yah seseorang dengan orang lain, atau suatu organisasi dengan organisasi yang lain pasti akan berbeda-beda. Ada yang nampak kemudian langsung bisa ditetapkan, dan ada yang tertutup mendung sehingga harus menggenapkanya. Maka keputusanya jadi berbeda-beda. Begitu pula sebaliknya, apabila yang disepakati hisab, maka hisab masing-masing orang atau kelompok juga akan berbeda-beda, dan tentu saja menghasilkan keputusan yang berbeda-beda pula, karena hasil analisa akal pasti juga berbeda-beda. Jadi akar persoalanya bukan hisab ataukah ru'yah yang harus dipakai, namun kepada siapakah hak melakukan ru’yah itu diberikan, dan yang terpenting kepada siapa pula hak memutuskan dan mengumumkan itu diserahkan.

Kalau hak melakukan ru'yah dan hisab, jelas bisa diberikan kepada siapa saja yang mampu, artinya semua orang boleh-boleh saja melakukanya, tidak ada larangan. Tetapi hak untuk memutuskan dan sekaligus mengumumkanya kepada seluruh kaum muslimin, seharusnya tidak diberikan dan dilakukan oleh semua orang atau semua organisasi Islam. Hak memutuskan dan mengumumkan harus diberikan pada pihak yang memiliki otoritas kuat, dan memungkinkan ditaati oleh semua fihak. Dan pihak itu sebagaimana pemerintahan Islam dahulu, tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa {khalifah} atau Qodhi, atau kalau tidak ada penguasa sebagaiman pemerintahan Islam dahulu, maka pihak itu adalah badan, lembaga atau forum apa saja yang dibentuk oleh kesepakatan masing-masing kelompok umat Islam untuk memenuhi fungsi sebagai Penguasa Islam, walaupun hanya dalam persoalan siyam dan Hari Raya.

Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam mekanisme penentuan Hari Raya yang dilakukan oleh badan perwakilan umat Islam yang dibentuk tersebut harus dilakukan sesuai dengan tradisi dan sunah yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin dan para ulama, bersama pemerintahan Islam ketika itu. Ketentuan-ketentuan itu sebagaimana diterangkan dalam hadits Rasulullah SAW, dan qoul-qoul para ulama' yang terpercaya sebagai berikut. Rasulullah SAW bersabda,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

" Bulan puasa itu adalah bulan dimana kamu sekalian berpuasa. Dan hari raya idul fithri adalah hari dimana kamu sekalian idul fithri. Hari raya idul adha itu adalah hari dimana kamu sekalian berhari raya idul adha.." {HR.At-Tirmidzi, dan berkata Abu Isa, hadits ini hasan ghorib}

Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

" Bersabda Rasulullah SAW. Idul fithri itu adalah hari dimana orang-orang idul fithri, dan idul adha itu adalah hari dimana orang-orang sama beridul adha"

Para ulama' menjelaskan tentang hadits ini, ia adalah dalil bahwa Idul Fithri, itu harus bersama jama'ah dan kebanyakan manusia.

Imam Ash-Shon'ani dalam "Subulus Salam" mengatakan, " Ini adalah dalil bahwa dalam rangka menetapkan Ied, maka harus disesuaikan dengan kebanyakan manusia. Dan sesungguhnya seseorang yang mengetahui Ied dengan ru'yahnya, maka wajib ia mengkuti yang lain dan menetapkan hukum bersama mereka dalam sholat maupun berbuka."

Imam Ash-Shon’ani berdalil dengan hadits hasan yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, yakni hadits tentang Kuraib yang pergi ke Syam, dan ia melihat ru'yah pada malam jum'at. Mu'awiyah dan penduduk Syam mulai siyam dengan ru'yah itu. Pada akhir Romadhon Kuraib kembali ke madinah. Ia mengabarkan kepada Ibnu Abbas, tetapi Ibnu Abbas berkata bahwa di sini hilal terlihat hari Sabtu. Maka Ibnu Abbas berkata,

فلا نزال نصوم حتي نكمل ثلا ثين او نراه

" kita akan tetap siyam hingga sempurna tiga puluh hari atau kita melihat hilal"

Dhohir hadits itu kata Ash-Shon’ani, " sesungguhnya Ibnu Abbas memerintahkan kepada Kuraib untuk menyempurnakan siyamnya walaupun ia adalah orang yang sudah yakin bahwa Ied telah tiba. "

Kemudian Asy-Syaukani dalam kitabnya "Nailul Author" juga mengatakan, "Sesungguhnya diwajibkan atas orang yang mengetahui hilal bulan, mengikuti hukum kebanyakan manusia baik dalam masalah puasa maupun haji walaupun menyelisihi keyakinanya."

Qoul-qoul yang semakna dengan ini banyak sekali, yang intinya walaupun seseorang melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri, maka tidaklah pantas ia menyelisihi atau mengumumkanya kepada orang banyak, apalagi memaksa orang lain tersebut, agar meyakini dan mengikuti ru'yah dan hisab-nya. Bahkan ia dianjurkan untuk menyembunyikan keyakinanya dan mengikuti kebanyakan orang demi kemaslahatan.

Dalam kitab "Tuhfatul Akhwadz" syarh At-Tirmidzi, karya Muhammad Abdurrohman Bin Abdurrohim Al-Mubarakfury dikatakan, "sesungguhnya orang yang melihat hilal, dan seorang Qodhi {hakim} tidak menetapkan sesuai dengan kesaksianya, maka tidaklah ia berpuasa sebagaimana manusia juga tidak berpuasa."

Kemudian mengenai hadits di atas, dalam kitab "Hasiyatus Sanad Ala Ibni Majah" dikatakan,

وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ

"Dan tidak ada hak bagi mereka bersendirian dalam hal ini {hari raya}. Bahkan urusan ini harus bersama imam dan jamaah. Dan wajib atas semua orang dari mereka mengikuti imam dan jamaah. Maka apabila seseorang melihat hilal, kemudian Imam menolak kesaksianya, hendaklah ia tidak menetapkan sesuatupun dari urusan ini, dan wajib atasnya mengikuti jamaah dalam urusan tersebut."

Demikianlah dalil dan perkataan para ulama' yang menjelaskan bagaimanakah mekanisme penentuan hari raya itu dilaksanakan. Hak memutuskan dan mengumumkan hendaknya diberikan kepada seorang Penguasa. Keputusan itu tidak sepantasnya diambil oleh masing-masing kelompok walaupun memiliki massa mayoritas, apalagi oleh beberapa gelintir orang saja kemudian diumumkan kepada masyarakat luas. Tetapi, kelompok atau siapa saja yang melihat hilal atau melakukan hisab{penghitungan}, harus melapor{memberikan hasilnya} kepada Penguasa atau Qodhi sebagai pihak yang berwenang, dan Penguasalah yang nantinya akan memutuskan.

Demikianlah, hak memutuskan dan mengumumkan kapan berakhirnya puasa dan kapan pelaksanaan sholat Ied harus diberikan kepada Penguasa {Qodhi} atau kepada badan yang sudah disepakati oleh mayoritas kaum muslimin untuk menjalankan fungsinya sebagai Penguasa Islam. Dan di negara Indonesia badan itu sudah difasilitasi oleh Departemen Agama, yaitu Dewan Itsbat yang dibentuk dari perwakilan seluruh elemen kaum muslimin dan seluruh pihak yang berkompeten dalam masalah ru’yah dan hisab. Oleh karena itu Dewan Itsbat-lah yang seharusnya memegang hak itu, dan semua umat Islam wajib mengikutinya. Maka di Indonesia ini, semua Ormas atau kaum muslimin hendaknya juga tidak melakukan hisab dan ru'yah sendiri-sendiri, kemudian memutuskanya sendiri. Tetapi cukup menyerahkanya kepada Departemen Agama atau Dewan Itsbat.

Mengikuti keputusan Dewan Itsbat, jelas tidak akan merusak aqidah, tidak menyalahi Qur'an dan Sunah, dan tidak pula akan merusak sahnya sholat? Karena, apa yang ditempuh oleh Dewan Itsbat dalam memutuskan perkara ini sudah benar dan sesuai dengan syari'at. Di sini tak ada keburukan, madhorot, atau masalah sekecil apapun yang akan mengganggu otoritas syari'at, maupun kehidupan beragama kaum muslimin. Dan sebaliknya, ketika ada pihak yang membuat keputusan di luar jalur keputusan Dewan Itsbat kemudian mengumumkan dan mengajak masyarakat luas untuk mengikutinya, justru kenyataanya itulah yang menimbulkan madhorot dan persoalan, yaitu munculnya perselisihan dan kekacauan. Mereka itulah orang yang salah dalam memahami hukum-hukum syari'at, pemecah belah umat, dan orang-orang yang lebih mementingkan hawa nafsunya daripada kebenaran. Apalagi mereka mendasarkan keputusanya dengan cara-cara bid'ah yaitu menggunakan hisab saja, dan menganggap bodoh orang-orang yang memegangi Ru'yatul hilal. Padahal Ru'yatul Hilal adalah perintah Nabi SAW, yang ditaati oleh para sahabat, tabiin, tabiut tabiin, dan semua ulama' ahlus sunah wal jamaah.

Allah ta’ala berfirman,

" Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." {QS.An-Nisa': 115}

Sholat Iedul Adha

Di Indonesia dan mungkin juga di negara-negara yang lain, sholat Iedul Adha juga dilaksanakan dalam waktu yang berbeda dalam wilayah yang sama. Perbedaan hari yang sebelumnya hanya terjadi pada sholat Iedul Fithri saja, beberapa tahun terakhir ini juga terjadi pada sholat Iedul Adha.

Masalah yang muncul di masyarakat karena ekses perbedaan itu, jelas sama dengan masalah yang muncul karena perbedaan sholat Iedul Fithri. Hanya saja dalam hal sholat Idul Adha ini ada sebab yang lain, selain sebab yang menjadikan sholat Idul Fithri pelaksanaanya berbeda. Kalau sebab terjadinya perselisihan dalam sholat Idul Fithri adalah rancunya pemahaman kaum muslimin terhadap persoalan ru’yah dan hisab sebagai patokan dasar penentuanya, dan juga bingungnya kaum muslimin harus mengikuti keputusan siapa, namun dalam sholat Idul Adha ini kaum muslimin juga bingung apakah sholat Idul Adha tersebut harus dikaitkan dan di dasarkan kepada wukufnya jama’ah haji di padang Arofah atau didasarkan pada tanggal 9 Dzul hijjah.

Kalau dikaitkan dengan wukufnya jama’ah haji di ‘Arofah berarti puasa ‘Arofah dan sholat Idul Adha bersamaan waktunya dengan pelaksanaan puasa dan sholat di Saudi Arabia. Tetapi kalau dikaitkan dengan tanggal 9 dan 10 Dzul hijah maka puasa dan sholat tidak harus bersamaan dengan Saudi Arabia tetapi sesuai dengan tanggal masing-masing wilayah atau negara. Kebingungan dalam hal inilah yang menyebabkan pelaksanaan sholat Idul Adha jadi berbeda-beda pula. Yang terjadi di Indonesia ini adalah negara sudah mengumumkan hari pelaksanaan sholat hari raya, tapi sebagian ormas atau masyarakat sengaja menyelisihinya karena tidak sama dengan pelaksanaan wukuf dan hari raya di Saudi Arabia. Maka dari itu bagaimanakah sebenarnya duduk perkara dari masalah ini, dan bagaimanakah para ulama’ ahli fikih merumuskan dasar-dasar ketentuanya.

Karena pelaksanaan sholat Idul Adha berpatokan pada puasa sunah ‘Arofah, sedangkan puasa ‘arofah ada persoalan apakah berdasar pada tanggal atau wukuf di ‘Arofah, maka sekaran marilah kita melihat bagaimanakah pendapat para ulama’ dalammasalah ini. Dalam kitab-kitab fikih klasik baik madzhab Hanafi, Maliki, Hambali lebih-lebih kitab-kitab fikih bermadzhab Syafi’I yang banyak dikaji oleh pesantren-pesantren salafiyah ( bukan salafi ) di Jawa ini, hampir kebanyakan mengatakan mengatakan bahwa hari ‘Arofah adalah hari ke 9 dari bulan Dzulhijjah. Artinya hari ‘arofah berpatokan pada tanggal bukan pelaksanaan wukuf.

Imam Ibnu Qudamah ulama fikih bermadhab Hambali mengatakan,

فَأَمَّا يَوْمُ عَرَفَةَ : فَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ ، سُمِّيَ بِذَلِكَ ، لِأَنَّ الْوُقُوفَ بِعَرَفَةَ فِيهِ

“Adapun hari ‘Arofah adalah hari ke sembilan dari bulan Dzulhijjah. Dinamakan seperti itu karena wukuf dilaksanakan di ‘Arofah.”

Kemudian Imam Khatib Ays Syirbini seorang ulama’ terkemuka dalam madzhab Syafi’I Dalam kitabnya “ Mughnil Muhtaj “ megatakan,
صَوْمُ يَوْمِ ( عَرَفَةَ ) وَهُوَ تَاسِعُ ذِي الْحِجَّةِ لِغَيْرِ الْحَاجِّ

“ Puasa hari ‘Arofah yaitu puasa yang dilaksanakan pada hari ke sembilan bulan dzulhijjah selain orang yang berhaji.”

Di hari ke sembilan itulah hari disunahkan puasa ‘Arofah juga bertepatan dengan atau ditentukan sebagai hari wukufnya jama’ah haji di padang ‘Arofah.Dalam hal ini berarti wukuf dan puasa ‘arofah adalah dua macam ibadah yang berbeda yang sama-sama dikaitkan dengan tanggal 9 bulan Dzulhijjah. Dan tidaklah puasa itu kemudian dikaitkan dengan wukuf di ‘Arofah tetapi dengan tanggal. Oleh karena itu berkaitan dengan ru’yat masing-masing wilayah berbeda-beda, maka puasa atau sholat ’Ied masing-masing wilayah nanti juga berbeda-beda. Dan ini tidaklah menjadi persoalan karena di toleransi oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Kuraib ra.

“Dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib, bahwa Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami,” (HR. Muslim)

Jika puasa dan sholat dikaitkan dengan pelaksanaan wukuf di ‘Arofah jelas itu tidak bisa direalisasikan oleh seluruh wilayah-wilayah Islam kecuali oleh wilayah yang dekat dengan Saudi Arabia. Karena hal itu berarti menuntut pelaksanaan puasa dan sholat itu serentak di seluruh dunia, dan hal itu tidak mungkin terlaksana karena perbedaan letak geografis dan aspek astronomis. Apabila dahulu pada masa generasi awal pelaksanaan puasa dan sholat ’Ied dikaitkan dengan wukuf, karena memang jaraknya dekat. Tapi kini ketika Islam tersebar luas diseluruh penjuru dunia maka hal itu jelas tidak bisa dan sangat aneh kalau dikaitkan secara mutlaq dengan wukuf lagi.

Maka yang lebih pas dalam hal ini, pelaksanaan puasa dan sholat itu hendaknya dikaitkan dengan tanggal bukan dengan wukuf . Secara syari’at itu dibenarkan oleh dalil-dalil nash juga pendapat para ulama’ yang mu’tabar, dan pula lebih sesuai dengan fakta dan realita yang ada. Oleh karena itu tidak usah kaum muslimin di Indonesia ini melaksanakan puasa dan sholat ’Iedul Adha berpatokan dengan pelaksanaan wukuf, puasa, dan sholat di Saudi Arabia, karena secara fikih Indonesia sudah merupakan wilayah hukum yang berbeda dengan Saudi Arabia. Orang -orang yang ngotot berpegang pada wukuf di ’Arofah dengan membiarkan masyarakat menjadi resah dan bingung karena kisruhnya pelaksanaan puasa dan sholat hari raya, adalah orang-orang yang bertindak di atas ketidakfahamanya.

















No comments :

Followers