19 Sept 2009

Indonesia-Malaysia dan “Adu Domba” Media


Duduk bersama dalam menyelesaikan masalah Indonesia-Malaysia jauh lebih utama dibanding dengan cara jalanan

Oleh: Afriadi Sanusi

Alkisah, seorang raja terkejut menemukan isterinya tidur setilam dengan seorang budak hambasahaya miliknya pada suatu malam. Sebagai seorang raja yang memiliki kuasa penuh waktu itu dia bisa saja membunuh isteri dan budaknya hanya dengan sekalihunusan pedang. Dia tidak jadi menjatuhkan hukuman itu sebelum adanyapengadilan sah yang mendengar pengakuan kedua belah pihak. Karena ketika itu dalam hatinya dia mendengar ayat “"Yaayyuhalladzina aamanu in jaa'akum faa siqun binaba'in fatabayyanuu an tushibuqauman bijahaalatin fatush bihuu ala maa fa'altum naa dimiin." (Haiorang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasiq (satu kaum)membawa berita, maka hendaklah kamu selidiki, jangan sampai kamu membalas kepada suatu kaum dengan kebodohan, maka kamu kelak akan merasa menyesal). [QS:Alhujuraat:6].

Ayat ini adalah penegasan wajibnya kaum Muslim melakukan koreksi kebenaran setiap mendapat/menerima berita yang kita terima.

Singkat cerita,setelah dibangunkan, sang raja menggunakan kuasanya dengan mengatakan, “kenapakalian melakukan semua ini!...” Sang isteri mengatakan kepada suaminya, “Sayakira orang yang tidur diatas tilam tadi adalah kakanda, karena menyangka kandatidak jadi pergi berburu ke hutan,. Si hamba sahaya juga menjawab, “Tadi sore di saat saya membersihkan kamar tuan, teringin sekali rasanya saya menyentuh tilam yang empuk ini, setelah ku sentuh aku pun ingin mencoba bagaimana rasanyaberada di atas tilam ini. Aku pun tertidur karena terlalu capek dan karena merasa betapa enaknya berada diatas tilam tuan yang empuk ini.”

Dengan berkat hidayah dari Allah SWT. Ayat Al-Quran diatas telah menyelamatkan anak manusiadari melakukan kesalahan yang fatal. Sang raja tidak jadi membunuh dua insanyang sebenarnya tidak berdosa dan dua insan yang secara logis harus mati di tangan penguasa tidak jadi mati. Dalam Islam fitnah dikatakan lebih kejam dari pembunuhan,ini karena fitnah bisa menyebabkan berlakunya permusuhan, dendam, perang dan berbagai kehancuran lainnya karena boleh membunuh ratusan bahkan ribuan nyawayang tidak berdosa.

Dalam falsafahkita di ajarkan “berikan 25% kepercayaanmu terhadap apa yang kamu dengar,berikan 50% kepercayaanmu terhadap apa yang kamu lihat dan percayalah setelahdiselidiki atau dikaji.”

Indonesia-Malaysia Pra Nasionalisme

Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan Negara Malaysia pada 31 Agustus 1957, Asia Tenggara memiliki hubungan sejarah yang sangat rapatdan panjang. Kerajaan Iskandar Muda pada tahun 1607 hingga tahun 1936 kekuasaannya meliputi Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, Melaka. Kerajaan Melayu Riau Lingga kekuasaannya meliputi Riau, Johor dan Pahang pada abad ke19. Terdapat ikatan kekeluargaan yang kuat antara masyarakat dan keluarga diRaja Riau, Bugis, Betawi, Johor, Rao, Pahang, Selangor, Jambi, Minangkabau,Negeri Sembilan, Jawa dan sebagainya

Penghijrahan dalam kawasan Asia Tenggara ketika itu adalah perkara biasa, tiada batassempadan negara. Terdapat kesamaan dari segi alam, ekonomi, politik, sejarah masa lalu, bentuk tubuh, warna kulit, budaya, bahasa dan agama. Belum ada mengenal sistem pasport, visa dan fiskal ketika itu. Asia Tenggara pula pernah menjadi sebuah kesatuan ketika air laut turun.

Banyak orang-orang Melayu Malaysia sekarang ini nenek moyangnya berasal dari Riau, Bugis, Betawi, Johor, Rao, Jambi, Minangkabau, Negeri Sembilan, Jawa dan sebagainya.Mereka masih menggunakan bahasa daerahnya dalam kalangan keluarga dan masih mengamalkan adat budaya suku kaumnya. Diantara mereka banyak yang menjadi orang penting seperti menjadi Perdana Menteri, Menteri, Profesor dan sebagainya.Tetapi mereka bukan berasal dari Indonesia, karena Indonesia baru saja lahir 63tahun yang lalu yaitu pada 17 Agustus 1945.

Orang Melayu Rao(Rawa) Malaysia, misalnya, banyak terdapat di negara bagian Perak, Kedah, Pulau Pinang, Kuala Lumpur, Selangor, Kelantan, Pahang Malaysia. Begitu juga dengan orang Minangkabau, Riau, Jambi, Kerinci, Mandailing dan sebagainya yang mendominasi tempat-tempat tertentu di Malaysia. Mereka masih mempertahankanadat, budaya dan bahasa suku kaumnya. Mereka melakukan hubungan kekeluargaan yang erat. Saling mengunjungi antara keluarga di Indonesia-Malaysia. Ini karenahubungan persaudaraan dan darah yang telah terjalin ribuan tahun lalu tidakakan bisa dipisahkan oleh perbedaan batas teritory negara, politik dan rasa nasionalisme sempit yang baru lahir beberapa puluh tahun ini saja.

Ulama memberikanperanan yang kuat dalam menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan yang didasarkan pada kalimat tauhid ketika itu. Sampai sekarang masih diabadikan dalam buku-buku sejarah tentang peranan ulama melayu, Riau, Bugis, Betawi,Johor, Rao, Pahang, Selangor, Jambi, Minangkabau, Negeri Sembilan dalambuku-buku sejarah dalam menyebarkan ajaran Islam di Kepulauan Melayu ini. Para ulama menyatukan umat dengan ajaran Islam, melalui murid dan melalui jalinan perkawinan yang memiliki ramai keturunan dan ahli keluarga. Hubungan kekeluargaan yang kuat didasari pada hubungan darah, persemendaan, hubungansuku kaum, dan adat budaya. Sebagai tokoh, mereka memiliki pengaruh yang tiadaterhingga hingga saat ini.

Peran Berita Media

Meminjam istilah Dr P. Ramlee, aktor film, sutradara, penyanyi, dan sastrawan yang dikenal di Malaysia dan memiliki ikatan keluarga Aceh, “Sedangkan lidah lagi tergigit apalagihubungan suami isteri.” Menurutnya, semakin dekat hubungan kita dengan sesuatu,maka semakin sering terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat.

Hari-hari inimedia –khususnya di Indonesia—disibukkan dengan pemberitakan yang beraromapermusuhan dan bisa saja meledakkan hubungan antara Indonesia dan Malaysia.

Banyak konflikberlaku setelah terbentuknya dan lahirnya kedua negara yang disebabkan olehperbedaan politik, kepentingan dan kekuasaan yang dipanaskan oleh media massa.Konflik ini secara umumnya hanya menguntungkan penguasa dan jelas dirakan merugikanrakyat. Hubungan darah, persaudaraan dan seagama tidak seharusnya di keruhkan dengan kepentingan politik dan kekuasaan. Media memainkan peranan yang kuat dalam memperkeruh hubungan kedua-dua negara. Banyak dari berita yang disiarkanoleh media selama ini lebih bersifat provokatif.

Dalam banyak hal, pemberitaan di Indonesia sering tak berimbang di banding kenyataan yangada. Berita penyiksaan pembantu rumah tangga dan pelecehan terhadap TKW, umumnya dilakukan oleh majikan mereka yang bukan Islam. Sebaliknya, banyak juga TKW yang bernasib baik sampai di hajikan majikannya di Malaysia. Namun berita seperti ini jelas tak menarik dibanding satu-dua kasus penyiksaan. Memang sebaiknya pemerintah kita menyediakan lapangan pekerjaan yang mencukupi guna menghalangi tenaga Indonesia dengan SDM rendah keluar negara. Dalam beberapa kasus, banyak kejahatan manipulasi TKI/TKW justrudilakukan saudara-saudara kita sendiri asal Indonesia. Misalnya manipulasi umurTKW agar bisa berangkat ke Malaysia.

Berita tentang kebudayaan Indonesia yang dikabarkan telah diklaim Malaysia, seharusnya menjadiperingatan pada kita sendiri. Sebab ini,lebih karena kelemahan pemerintah RI sendiri dalam mendata dan menghargaibudaya local kita.

Sama halnya dengan masalah sengketa perbatasan. Karena tidak adanya data dan karenalemahnya pemerintah dalam menjaga pulau-pulaunya, menyebabkan puluhan tahunlamanya pulau-pulau itu tak terurus dan dibiarkan begitu saja tanpa pembangunanseperti yang dilakukan oleh negara lain.

Memang sebaiknya kasus ini membuat pemerintah lebih berhati-hati dan menjadikan pelajaranberharga. Seharusnya, pemerintah segera membuat peraturan tertulis dengan Malaysiaguna melindungi TKW kita, pula kita dan budaya kita. Kita tak bisa semena-mena marahatas banyak kasus yang ditimbulkan oleh TKW sementara pemerintah tidak memperbaikiekonomi yang menyebabkan banyak pekerja non-profesional menyebrang ke Negara lain.

Kedutaan juga harusmemainkan diplomasinya secara optimal dengan meningkatkan kemampuan intelijen guna meredam upaya adu domba kedua negara seperti kasus lagu Indonesia Raya yangsempat diramaikan.

Penulis melihatada pihak-pihak tertentu menangguk di air keruh dengan memanfatkan konflikMalaysia-Indonesia untuk mencari keuntungan secara politik, kekuasaan ataupunmateri.

Pemerintah juga harus bersikap tegas, mengadili media yang sering menyebarkan berita panas danprovokatif yang mengganggu kenyamanan dan ketentraman hubungan kedua negara.

Penulis akui apayang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia terkadang memang sesuatukesalahan dan kelewat batas. Akan tetapi sesuatu yang mengherankan adalah di saat satu persatu pulau-pulau kecil Indonesia tenggelam karena pasirnya di angkut secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan ke Singapura oleh para mafia, hanyasedikit media dan pejabat kita menjadikan ini sebagai perhatian berharga.

Duduk Bersama

Kesimpulannya, kasus seperti ini jelas tak bisa diselesaikan dengan cara jalanan. Kedua Negara,harus duduk bersama, saling menghormati, saling berjumpa dan berdiskusi terhadapmasa depan keduanya.

Pemerintah keduanegara tidak seharusnya melibatkan rakyat untuk memikirkan apa yang menjaditugas dan kewajiban mereka. Membicarakan nasib dan kepentingan masing-masing jauh lebih baikdan sangat penting daripada hanya menanggapinya provokasi melalui media massa yang hanya akan memperkeruh suasana.

Indonesia sangat memerlukan Malaysia dan Malaysia juga sangat memerlukan Indonesia, adalah dua perkara yang tidak bisa dinafikan. Puluhan ribu TKI Indonesia ada di Malaysia, ribuan pelajar dan mahasiswa juga ada di Malaysia. Sama halnya warga Malaysia di Indonesia. Saling memerlukan ini akan menjadi sebuah energi positif dan saling menguntungkan kalau saja berlaku kerjasama pemimpin dan masyarakat keduanegara.

Selebihnya, media massa, seharusnya berada di garda depan pembangunan masyarakat dan menciptakan iklim saling menguntungkan kedua Negara. Berita fitnah atau berbau adu-domba, bukanlah solusi bagi permasalahan sesungguhnya. Tindakan itu juga adalah sebuah implementasi rasa nasionalisme yang salah sebab hanya akanmerugikan dan menghancurkan hubungan kedua Negara. Seolah-olah dengan perang semuanya bisa selesai.

Islam sangat membenci fitnah. Bahkan mendudukannya jauh lebih kejam daripada pembunuhan.Sebab akibat dari fitnah bisa menimbulkan perpecahan, permusuhan, kebencian, dendam, perang yang bisa membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa yang tidakberdosa lainnya.

Dengan kemampuan dan efek yang sangat luar biasa, media massa memang berpeluang melahirkan fitnahdan saling bermusuhan. Sebaliknya, tak semua fakta yang disajikan, bisa melahirkan maslahat apalagi harus disampaikan. Sebab ada fakta yang berdampak positif dan ada pula fakta yang justru bisa berimplikasi negative bagi jutaan orang. Tergantung bagaimana melihatnya. Di sinilah diperlulan wisdom bagi parapengelola media massa.

Sejarah banyakmencatatkan berbagai perpecahan, permusuhan, peperangan yang akhirnya berbunuh-bunuhan mulai dari antara dua orang sahabat, suami istri sampai ketingkat negara yang disebabkan oleh peranan media. Semoga ini menjadi pelajaran berharga kita semua.

Penulis berasal dari Sumatera Indonesia, sekretaris Muhammadiyah Malaysia dan mahasiswa S3 bidang Politik Islam di UniversitiMalaya Kuala Lumpur

14 Sept 2009

KEGETIRAN SEJARAH ANDALUSIA

Penyebaran Islam ke Eropa Barat khususnya ke Andalus (kini meliputi Spanyol dan Portugal), telah dilakukan kurang dari satu abad, tepatnya 78 tahun setelah Rasulullah wafat, yaitu ketika terjadi penyebaran kekuasaan kekhalifahan Islam ke berbagai belahan dunia. Mengenali lebih jauh perjalanan Islam ke Eropa, berarti menapaki perjalanan sejarah yang cukup panjang.

Penaklukan Andalus oleh bangsa Arab merupakan babak sejarah yang cemerlang. Bermula dari pendaratan pasukan Thariq bin Ziyad di sebuah bukit yang kemudian diberi nama Jabal Thariq (Gibraltar) tahun 711 M pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Selanjutnya serangan demi serangan mampu menaklukan hampir seluruh Semenanjung Iberia (Andalus), yang ketika itu merupakan propinsi Kekaisaran Romawi.

Di antara penguasa Bani Umayyah, yang paling terkenal dan paling besar adalah Abdurrahman III (912-976 M). Ia merupakan penguasa Andalus yang cakap. Pada masa pemerintahannya Andalus dan ibukotanya Cordova mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam berbagai bidang, sampai pada puncak kejayaannya. Ia berhasil menggali sumber daya manusia dan ekonomi tanah Spanyol sehingga menghasilkan kekayaan yang berlimpah ruah, pada saat Eropa masih mengalami kegelapan. Ia juga berhasil menciptakan kondisi yang tentram dan damai, dengan tingkat toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama yang berbeda.

Kejayaan Bani Umayyah di Andalus selanjutnya berangsur-angsur memudar, muncullah dinasti-dinasti kecil yang menyebabkan disintegrasi kekuatan Islam. Di lain pihak, kaum Nasrani berusaha bersatu untuk menghancurkan kerajaan Islam. Cordova dapat dikuasai kaum Kristen pada tahun 1236 M. Pernikahan Ratu Izabela dari Castilia dan Raja Ferdinand dari Aragon memunculkan kekuatan dan melakukan penyerangan pada tahun 1469 M. Kerajaan Arab yang terakhir Bani Ahmar tak dapat bertahan, diserahkannya kunci kota Granada benteng terakhir kekhalifahan dan akhirnya ia memilih tanah Afrika sebagai tempat pembuangannya. Dengan demikian secara politik kekuatan Islam berakhir pada penghujung abad ke 15.

Setelah Kaum Kristen menguasai Andalus, mulailah dilakukan gerakan Kristenisasi di Andalus, padahal Islam telah bertahan selama 700 tahun. Para penduduk dipaksa kembali untuk menganut agama Kristen, semua literatur Arab dihanguskan. Pada tahun 1556 M, Raja Philip II membuat undang-undang agar kaum Muslimin yang tinggal di Andalus membuang kepercayaan, bahasa, adat istiadat, dan cara hidupnya. Pada tahun 1609 M, Raja Philip III mengusir secara paksa semua penganut Islam keluar dari Andalus, atau masuk Kristen. Dengan demikian sirnalah sisa-sisa penyebaran Islam ke Eropa, tinggal hanya sisa peninggalan bangunan yang kini telah berubah menjadi istana Kristen.

Sama seperti kondisi kekuasaannya, sastra (Arab Islam_red) juga mengalami jatuh bangun. Karena sastra merupakan refleksi dan dokumen sejarah yang mencakup semua sendi kehidupan yang terjadi kala itu. Semua peristiwa seperti peperangan, kemajuan keilmuan, pengembangan kota dan berbagai gejala kemasyarakatan pasti terdokumentasikan dalam karya sastra. Tulisan ini mencoba melihat kondisi dan perkembangan sastra Arab di Andalus, terutama dalam masa perwalian dan kekacauan politik selama 55 tahun. Suatu masa pembuka jalan keberanian tentara salib untuk menaklukkan Islam di Andalus. Kejatuhan kota-kota Andalus yang berantai pada masa dinasti Thawâif setelah itu, disamping menyebabkan prahara budaya dan kemanusiaan, juga memunculkan semangat nasionalisme dalam bentuk elegi sebagai ratapan terhadap hilangnya harta dan penyadaran masyarakat untuk bersatu merebut kembali mahkotanya.

Kondisi Pemerintahan Masa Perwalian dan Kekacauan Politik (976 – 1031)

Sejak Hisyam II menduduki kursi khilafah tahun 976 M, Andalus mengalami fenomena baru dalam pemerintahan karena memakai sistem perwalian. Hal ini diambil karena khalifah yang diangkat masih kecil, berumur 12 tahun. Wali pertama adalah Muhammad bin ‘Amir yang bergelar al-Manshur, seorang ambisius dan licik yang menghabisi semua teman seperjuangannya. Perdana Menteri al-Mushafy, Panglima Ghalib dan orang-orang Slaves yang setia dengan khalifah dibantainya. Sampai masyarakat Andalus tidak mengenali lagi dan lupa kepada khalifah yang sesungguhnya.

Peran wali yang terlalu besar ini mencapai puncaknya pada masa Abdurahman yang bergelar al-Makmun, ketika dia memaksa khalifah untuk mengangkatnya sebagai putra mahkota. Sampai disini mulai timbul kesadaran masyarakat Andalus untuk mengembalikan khilafah kepada Bani Umawiyah yang sebenarnya. Pada tahun 1008 M terjadilah kudeta militer yang dipimpin oleh Muhammad bin Hisyam putra khalifah sendiri. Dan dia pun berhasil menduduki kursi khilafah dengan gelar al-Mahdi. Dan berakhirlah sistem perwalian dalam pemerintahan Andalus.

Setelah terjadi kekacauan politik yang besar disebabkan perebutan kekuasaan baik antar orang-orang Umawiyah maupun persaingan dengan orang Barbar. Mereka lebih suka untuk minta bantuan kepada kerajaan Kristen di Utara, meskipun dengan imbalan penyerahan kota-kota dan benteng-benteng Andalus dan dibolehkannya tentara kristen Spanyol untuk berbuat semaunya di Cordova. Al-Mahdi lebih suka bergaul dengan Ramon III de Barcelona, sementara Sulaiman al-Mustaîn minta tolong kepada Sanco Garcia dari Castilia dalam menghadapi al-Mahdi. Model perebutan kekuasaan selama priode ini tidak jauh berbeda dari fenomena di atas. Sebuah jalan bagi kristen untuk memenangi perang salib di Andalus pada akhirnya.

Selama 22 tahun periode kekacauan politik, Andalus diperintah oleh 14 khalifah dengan jarak masa yang saling berdekatan. Kesemuanya berakhir dengan pembunuhan. Karena sering terjadinya pertumpahan darah, bencana kemanusiaan dan peradaban pun tidak bisa dihindari. Pembunuhan, pencurian, pembakaran istana dan benteng Cordova, dan jatuhnya kota-kota ke tangan tentara kristen baik melalui perebutan maupun penyerahan suka rela.

Ketidak-pastian politik di Andalus selama masa ini menghancurkan semua sektor kehidupan, industri, perdagangan, pertanian bahkan kelaparan, paceklik, wabah penyakit menular dan bencana merajalela. Rakyat kehilangan raut muka dan jati diri yang hidup dalam gelombang kegetiran dan kepahitan. Rakyat ditikam-cekam rasa ketakutan. Dan tentunya kondisi ini mempengaruhi perkembangan sastra kala itu, sampai dalam dua periode ini, sastra mengalami kemunduran dan stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menurunnya produktivitas karya sastra dan menyempitnya tema-tema yang dibicarakan.

Penyempitan Kultur dan Pengetahuan

Selama 55 tahun masa perwalian dan kekacauan politik, kultur dan pengetahuan tidak banyak mengalami kemajuan, bahkan sebaliknya tambah menyempit dan terbelenggu. Ada dua fenomena menarik dalam masa ini, yaitu matinya ilmu filsafat yang berkembang pesat pada masa khalifah al-Hakam al-Mustansir dan berkembang pesatnya studi bahasa Arab.

Terkuburnya filsafat lebih disebabkan intervensi pemerintah yang getol mengibarkan perang melawan filsafat dengan tujuan mengambil hati rakyat dan dukungan fuqaha. Pada masa ini terjadilah pembakaran buku-buku filsafat, mantiq dan kosmografi secara besar-besar, termasuk pembakaran perpustakaan al-Hakam al-Mustansir yang banyak menyimpan buku-buku tersebut. Bukan itu saja, para filosof dan ilmuan pun dikejar-kejar dan dipenjarakan, hal sama menimpa para pegawai perpustakaan dan sejenisnya. Suasana ini memasung kebebasan ekspresi pemikiran dan membuat takut masyarakat untuk belajar dan bersinggungan dengan ilmu-ilmu filsafat, logika dan pengetahuan lainnya. Akibat dari suasana ini pengetahuan jadi mandeg, filsafat jadi mati dan pengungsian besar-besaran para ilmuwan dan filosof ke dunia Timur untuk menghindari siksaan dan demi mendapatkan kebebasan berfikirnya. Kepedihan tragedi ini bisa dibaca dari kegetiran puisi yang dibuat salah satu penyair Andalus:

Tangisilah Cordova
Kota nan indah yang lebur
Peradaban telah terkubur
Kesejahteraan telah lenyap terkikis
Dan Semuanya kini sirna

Adapun perkembangan studi bahasa Arab tidaklah murni demi kemajuan keilmuan, tapi hanya keinginan untuk bersaing dengan ahli bahasa Arab dari Timur, seperti Mundzir bin Sa’îd ingin mengalahkan Abu Ali al-Qâly, seniman Yahya al-Ghazzâl mengalahkan Zeryâb. Mereka beranggapan bahwa dengan mengalahkan sastrawan dan ahli linguistik dari Timur berarti kemenangan sastra Andalus atas sastra Timur.

Stagnasi Sastra dan Perkembangan Semu tanpa Nilai

Politik kediktatoran yang dikembangkan pada periode ini juga berpengaruh pada sastra, baik dalam karya puisi maupun prosa. Tidak ada tema-tema baru yang muncul, bahkan tema-tema lama yang sudah mapan cenderung berkurang bahkan hilang. Aliran-aliran sastra yang pernah mapan seperti konservatif, reformis, seni rakyat dan new-konservatif semakin redup sinarnya. Kritikus sastra banyak mencatat bahwa dalam masa ini sastra merupakan lahan tersempit dan termiskin. Sangat kontras dengan kondisi sebelumnya. Sastra filsafat yang berkembang pada masa al-Hakam al-Mustansir menjadi mati sama sekali karena pemerintah yang menyatakan perang terhadapnya, disamping terjadinya stagnasi pemikiran kala itu. Tidak adanya karya sastra yang membicarakan perkembangan keilmuan yang menunjukkan kematiannya. Berbeda dengan karya sastra masa al-Hakam yang banyak menyinggung masalah filsafat, astronomi, ilmu logika, kedokteran dan sebagainya. Seperti puisi Ibnu ‘Abdi Rabbih kepada astronom Abu ‘Ubaidah berikut:

Bumi yang bulat
Menjadi titik tengah alam
Dikurung langit
Dari atas dan bawah
Dalam masa ini tidak kita dapatkan kembali karya sastra yang membanggakan keagungan dan kekuatan khilafah Andalus seperti pada masa keemasannya. Munzir bin Sa’îd pernah menuturkan kedatangan utusan Romawi kepada Abdurrahman al-Nâshir untuk menghindari serangannya dalam puisi berikut:

Manusia berbondong mengetuk pintunya
Semuanya berharap dan berangan terhadapnya
Utusan Romawi di tengah halaman istananya
Karena ketakutan akan kekuatan dan serangannya
Engkau adalah harapan semua manusia
Kau kuasai Timur dan Barat
Dari ujung Kostantinopel sampai daratan Babel

Kekuatan khilafah Islam di Andalus, menjadikan mereka sering dimintai bantuan raja-raja kristen Spanyol yang sedang bertikai. Raja Ordono yang kalah perang melawan Raja Sancho, mendatangi khalifah al-Mustanshir guna memohon bala bantuan untuk mengembalikan kekuasaannya. Abdul Malik bin Sa’îd menuturkan hal ini dalam puisi di bawah ini:

Raja mereka mendatanginya
Meminta perlindungan dan bantuannya
Tunduk atas kebesarannya
Aman dari semua musuhnya
Dan dengan kerelaannya
Dapat menghinakan musuhnya

Pada masa keemasan sebelum masa perwalian, khilafah Andalus mempunyai kekuatan tentara yang tidak tertandingi, yang kalau bergerak laksana gemuruh gelombang samudera, seperti yang diungkapkan oleh Ismail bin Badar:

Dan gemuruh tentaranya
Bak gelombang lautan
Yang memakan daratan sahara

Bungkamnya sastra dalam berbagai tema ini menunjukkan kematian tema-tema tersebut dari kehidupan Andalus. Pengemisan bantuan ke kerajaan-kerajaan Spanyol Utara, penyerahan kota-kota dan benteng-benteng ke tangan kristen sebagai imbalannya mengindikasikan kelemahan khilafah Islam di Andalus.
Meskipun demikian, dalam masa ini ada beberapa tema yang berkembang pesat sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat yang poya-poya. Namun perkembangannya sangat kosong dari nilai dan etika, seperti seruan kepada minuman, ekspresi kejadian-kejadian dalam tempat-tempat hiburan dan pengumbaran nafsu yang telanjang. Karena masyarakat yang poya-poya, kecenderungan sastra pun demikian, suka pada kebebasan dan ekspresi kenikmatan jasmani dan material dalam wujud minuman, tari perut dan sebagainya.
Diantara tema yang digemari adalah al-mujûn (tingkah laku yang hina). Sebagai contoh bisa kita simak dialog antara Abdul Malik bin Syahid dengan al-Manshur mengenai budak-budak wanita tawanan perang. Abdul malik berkata:

Meskipun tua, aku tetaplah muda
Kulindungi engkau dari segla bencana dengan diriku
Buatlah aku berterima kasih atas kebaikanmu
dan kirimkan wanita tawanan tercantik buatku

Al-manshur pun mengirim hadiah yang diminta dengan berkata:

Telah kukirim tiga perawan
Yang putihnya laksana matahari siang
Bersiap dan bersungguhlah
Karena engkau tua bangka
Di ujung sore meninggalkan siang
Semoga Allah menjagamu dari
Keletihan mencumbunya

Betapa transparan sekali permintaan panglima perang yang langsung dikabulkan wali khalifah. Dialog semacam ini sudah sering terjadi di tempat-tempat hiburan antar pemabuk atau penyair, tapi bukan dalam lingkungan khalifah. Kediktatoran membuat penguasa semena-mena termasuk perusakan moral masyarakatnya.
Diantara tema yang berkembang pada masa ini juga, pujian palsu dengan tujuan mencari penghasilan dari berpuisi. Hal ini bisa berkembang karena khalifah penguasa memerlukan pujian untuk mendongkrak popularitas dimata rakyat. Maka segala kejadian selalu dibesar-besarkan melalui karya sastra, terutama puisi, meskipun penuh dengan kemunafikan. Seperti yang dikatakan Ibnu Darrâj al-Qasthaly ketika memuji al-Manshur:

Pujian dan syukurku terhadapmu
Bukanlah karena kekuasaan yang kau berikan
Tapi karena pengorbanan jiwamu yang melindungiku
Ketulusanmu adalah karunia terbesar
Laksana surya yang menunjukiku dalam kegelapan
Tiada bayangan karunia yang membelitku selainmu
Tiada aliran air yang mengenyangkanku selainmu

Al-Darrâj diangkat al-Manshur memerintah di Qasthal, dan dia selalu memuji al-Manshur setinggi langit untuk mengekalkan kekuasaannya, meskipun penuh dengan kemunafikan.
Hal ini juga bisa kita lihat dari pujian Ibnu al-Hannâth kepada khalifah Qasim bin Hamûd agar diberi perlindungan dan bekal:

Dunia menjadi terang dengan cahaya khalifah
Dengan cahaya itu
Rembulan kebenaran selalu nampak
Meskipun cahaya siang telah menghilang

Minum-minuman keras sudah sangat membudaya dalam masyarakat Andalus. Dari rakyat kecil sampai khalifah. Seruan kepada minuman sangat nyaring terdengar. Tradisi jahiliah yang dengan susah payah diberantas al-qur’an pun berkembang lagi yang pada awal pemerintahan Islam di Andalus sangat dihindari. Lihat saja nikmatnya minum yang digambarkan oleh Ubadah bin Mâi al-Samâ berikut:
Adakah yang lebih indah
Dari gelas-gelas arak yang tergenggam di tangan
Hai pelayan, siramlah aku dengannya
Dan ambillah perak dan emas
Nafsu pun tenggelam bersamanya
Buih keharuman selalu muncul di permukaannya
Membuat gelasnya kekal di tangannya

Puisi yang bertemakan minuman arak dan sejenisnya merupakan salah satu trend baru di Andalus yang dipelopori oleh Abbas bin Nâsih dengan mengadopsi trend ini dari Timur yang dipelopori Abu Nawas, Abu al-‘Atâhiyah dan kawan-kawan. Namun pesan-pesannya bukan dititik-beratkan pada seruan untuk berbuat, tapi sekedar ekspresi dari perenungan imajinasi tentang arak, seperti ketika penyair pra Islam menggambarkan sosok wanita ideal dalam puisi erotisnya. Penggambaran wanita tersebut tidak didasari oleh nafsu sama sekali, tapi lebih menginformasikan kepada pembaca sosok ideal wanita Arab secara keseluruhan. Sosok wanita yang hanya ada dalam fikiran dan angannya, dan belum tentu ada dalam dunia realita.
Meskipun hal serupa berkembang juga sebelumnya, tapi masih banyak sastra yang mem-balance seruan kepada minuman dan justru menganjurkan untuk menjauhinya. Puisi ‘Ubadah di atas bisa kita bandingkan dengan sikap khalifah al-Muntashir terhadap para peminum yang justru dibencinya:

Para peminum telah menyempitkan dadaku
Bencana mereka membakar hidupku

Disamping perkembangan sastra yang tanpa nilai di atas, ada sastra yang berkembang dengan segala kesadarannya terutama para penyair yang sadar benar akan bahaya politik kediktatoran kala itu. Seperti kritik politik yang diungkapkan dalam penggalan bait berikut:

Wahai Bani Umaiyah..!!
Dimanakah bulan-bulan malammu,
Bintang-bintangmu
Singa-singa telah punah dari hutanmu
Dan raja pun menggenggam kancil dan rubahmu

Bait di atas untuk mengkritik orang-orang Bani Umawiyah karena mereka hanya sebagai bulan-bulanan dan perebutan antara orang-orang Barbar dan kristen Spanyol. Kadang kritik tersebut memakai bahasa yang lugas dan terang-terangan seperti peringatan keras akan bahaya situasi yang tergambar dalam penggalan berikut:

Waktunya tiba telah dekat
Kehancuran sudah diambang pintu
Semua kekhawatiranmu telah datang
Dan raja pun tak berdaya
Dalam genggaman dan kekuasaan
Sang ibu suri…

Karena banyaknya pembersihan musuh-musuh politik dan pembakaran sastrawan, ilwuwan dan filosof, dalam masa ini juga berkembang tema-tema permohonan belas kasihan dari penguasa, seperti penggalan bait al-Mushafy kepada al-Manshur berikut:
Penyesalan membawaku menghadapmu
Wahai sebaik-baik penolong
Kemarahanmu terlalu besar kepadaku
Maka bentangkanlah maaf buatku
Sesungguhnya tiada raja yang dimintai belas kasihnya
Kecuali akan segera memberikannya

Nasionalisme dalam Elegi atas Runtuhnya kota-kota

Sejak masa Thawâif, kekuatan Islam di selatan Spanyol semakin melemah, sementara kekuatan kristen di utara Spanyol semakin solid dan besar. Tidak heran jika dalam peperangan yang terjadi setelah itu, kerajaan Islam pun selalu kalah dan banyak sekali kota-kota yang jatuh ke tangan mereka. Masjid diruntuhkan, gereja ditegakkan, upeti diwajibkan atas orang-orang Islam, dan bencana kemanusiaan tidak bisa dihindarkan. Bencana politik dan kemanusiaan ini menginspirasikan spirit nasionalisme dalam diri satrawan. Jatuhnya kota dan peradaban ke tangan musuh mereka rasakan seakan terpisahnya organ dari tubuh mereka bahkan terpisah dari ruh mereka. Apalagi ditambah dengan kekhawatiran dalam kehilangan harta paling berharga yaitu Islam.
Kesedihan dengan jatuhnya kota-kota Andalus, menimbulkan kreasi-kreasi elegi sebagai ekspresi kesedihan sekaligus penyadaran masyarakat agar bersatu merebut kembali harta mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang fakih yang penyair Abdullah bin Farag al-Yahshuby yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-‘Assâl ketika jatuhnya kota Prester tahun 1063 M dalam elegi berikut:

Dan kekuatan para musyrik pun telah menembus kita
yang menjadikan kita terdiam seribu bahasa
Dengan kuda-kuda mereka menghacurkan istana
sehingga tiada bersisa baik gunung maupun setapak tanah
Mereka gerebek penghuni rumah-rumah
Tiada hari tanpa serangan yang membabi buta
Hati para muslim pun di puncak ketakutannya
Sementara pemimpin kita sangat penakut menghadapinya
Berapa tempat telah dirampasnya
Tanpa belas kasihan terhadap bayi, anak kecil, para lansia dan perawan
Berapa banyak bayi susuan yang terceraikan dari ibunya
Sehingga menimbulkan kegaduhan dan lenguhan aniaya
Berapa banyak anak yang telahir dengan ayah yang
Terpanggang di atas debu perang dan kasur sahara
Berapa banyak wanita dipaksa keluar dari rumah sucinya
Dipertontonkan dengan ketelanjangan

Bait-bait di atas ibarat dentang bel yang menyadarkan kita pada bencana kemanusiaan yang terjadi di kota Prester, sehingga mengobarkan api perjuangan untuk menyelamatkannya. Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu al-‘Assâl yang terpaksa mengungsi ke Granada saat kejatuhan kota Toledo tahun 1094 M yang kejatuhannya diibaratkan dengan pakaian yang carut marut, dia berkata:

Wahai penduduk Andalus, tunggangilah kuda-kudamu
Karena menetap di Toledo adalah kesalahan
Pakaian akan ditanggalkan dari ujung-ujungnya
Dan aku melihat pakaian Andalus tertanggalkan dari pusatnya
Barang siapa yang meng-akrabi kejahatan tidak akan lepas dari akibatnya
Bagaimana manusia bisa hidup dengan ular-ular dalam satu kantong?

Meskipun bati-bait di atas mendapatkan kritikan pedas dari sisi estetisnya, namun cukup keras dalam mengingatkan akan bahaya ketidakberdayaan, seakan-akan berkata: jika kalian tetap tidak berdaya dan tunduk maka adalah kesalahan besar untuk tetap tinggal di dalam Toledo. Maka kumpulkan kekuatan dan satukan barisan untuk mengembalikan hak kalian atas kota Toledo. Kalau tidak, maka kalian tidak layak untuk mengaku sebagai penduduknya dan tinggal di dalamnya. Dengan demikian, menjauhi Toledo merupakan kewajiban agar kalian menjaga kesucian dan kemulian dari hinanya ketakutan kalian.

Contoh lain adalah 72 bait puisi yang dilantunkan oleh al-Jundy al-Majhûl dalam elegi Toledo, dengan menganggap kejatuhannya sebagai bencana yang disebabkan karena dosa dan maksiat orang Islam sendiri, sebagai mana firman Allah: “Dan kamu tidak akan terkena musibah kecuali karena perbuatanmu” dia berkata:

Kita adalah manusia-manusia yang layak mendapatkan balasan
Karena kefasikan besar dan maksiat jangak
Yang mengalir deras dalam darah kita

Meskipun demikian, al-Jundy tetap mengobarkan api jihad membela negara atas nama agama dan akidah yang telah dihinakan musuh:

Dendamlah atas agamamu dan menangkanlah
Elang-elang akan melindungi korban-korban darimu

Bencana ketiga adalah jatuhnya kota Valencia ibukota Andalus Timur tahun 1094 M. Mr. Kampitor bahkan membakar ulama’nya seperti Ahmad bin Jahhâf dan memenjarakan sebagainnya. Ibnu ‘Alqamah menggambarkan bencana tersebut dalam bukunya ‘al-bayan al-wadhih fi al-mulimm al-fâdih’. Penyair Hisyam al-Kinâni pun tidak ketinggalan membuat elegi yang bahkan banyak dipelajari oleh para orientalis Eropa seperti Engel Palencia dan Jalian Rebiera.
Ibnu Khafâjah banyak membuat elegi saat keruntuhan Valencia ini, diantara penggalan puisinya adalah:

Hai rumahku, pekaranganmu telah penuh dengan musuh
Kerusakan dan api telah membakar dirimu
Jika seorang melihat ke dalam dirimu
Akan jelas panjangnya bencana dan praharamu
Pendudukmu terkubur dalam batu-batu
Lembaran sejarah pun menuliskan
Bahwa dirimu bukanlah dirimu yang dulu

Kota Valencia ini dapat direbut kembali oleh dinasti Murâbithûn tahun 1101 M.
Berbeda dengan elegi sastra Timur yang mementingkan keindahan struktur bahasa saja tanpa didasari dengan emosi dan refleksi yang nyata, elegi Andalus cenderung mudah dan tidak berbelit-belit, namun secara estetik masih didasari dengan fantasi dan ilustrasi yang jujur yang mengekspresikan apa adanya, dengan sebab-sebab berikut:
1. Sangat eratnya hubungan para penyair dengan tanah airnya, sehingga keruntuhannya menimbulkan kesedihan yang tak ternilai
2. Sebab agama, jatuhnya kota-kota ini di tangan musuh yang notabene berlainan agama menyebabkan mereka berapi-api berpuisi menghidupkan nasionalisme. Karena agama bagi mereka adalah harta termahal bahkan melebihi jiwa mereka sendiri

Penutup

Sebagai penutup, sengaja saya kutipkan penggalan puisi Abu al-Baqâ’ al-Rundy untuk melihat betapa keadaan menjadi terbalik akibat dari kezaliman orang Islam dan betapa besar tragedi kemanusiaan di Andalus:

Kemarin, mereka adalah raja di negerinya
Sekarang, mereka adalah hamba di wilayah musuhnya
Kalau engkau melihat mereka kebingungan tanpa petunjuk
Karena berbagai warna kehinaan dilakui mereka
Kalau engkau mendengar sayatan tangis mereka
Hatimu pun miris karena kesedihan
Betapa banyak ibu dan anak jadi terpisah
Seperti terpisahnya ruh dari badan
Betapa banyak bayi yang tak sempat tersinari mentari
Mereka laksana batu korundum dan karang
Sang atheis menggiringnya kepada kebencian
Mata menangis dan hati pun luka
Hati menjadi tenggelam dalam kesedihan
Jika terdapat di dalamnya Islam dan iman

Sebagaimana yang pernah dikatakan Umar bin Khatthab bahwa puisi bukan hanya sebagai poetical work, tapi merupakan data dan dokumentasi sejarah manusia yang bisa ditelusuri kebenaran peristiwa-peristiwa yang dikandungnya. Maka melihat realitas sejarah Andalus, harus juga melihat karya-karya puisi yang timbul sepanjang sejarahnya. Meskipun tulisan ini kurang menggambarkan timbul tenggelamnya sastra Andalus, tapi bisa dipakai untuk sekedar melihat kegetiran sejarah Islam di Andalusi akibat ulah pemeluknya sendiri. Wallahu A’lam!!

Daftar Bacaan:

1. Ahmad Haikal, Dr. al-Adab al-Andalusy min al-fath ilâ suqût al-khilâfah, dâr al-Ma’ârif, cet. 12, Kairo, 1997
2. Galal Hijazy, dr. Fi al-Adab al-Andalusy Târîkhuhu wa Nushûsuhu, Dâr al-Busyrâ, 1998.
3. Muhammad Ridhwân al-Dâyah, Dr. Târikh al-Naqd al-Adaby fi al-Andalus, Muassasah al-Risâlah, scet. 2, Syiria, 1993.
4. Ahmad al-Muqry al-Maghriby, Nafh al-Thayb min Ghusn al-Andalus al-Rathîb, Pen. Azhariyah, Kairo, 1302H.

13 Sept 2009

JA’FAR BIN ABI THALIB

(Rasulullah n bersabda: "Aku lihat Ja'far bin Abi Thalib a terbang di dalam surga seperti malaikat, terbang di dalamnya dengan sayap lebar yang berlumur darah." )

A. Nasabnya
Dia adalah Ja’far bin Abi Thalib a. Dan nama Abu Thalib adalah ‘Abdu Manaf bin ‘Abdul Muthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai Al-Qurasyi Al-Hasyimi. Ia adalah anak paman (sepupu) Rasulullah n, dan saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib a. Ia dijuluki dengan Abu ‘Abdullah karena anaknya bernama ‘Abdullah.

Ibunya adalah Fathimah binti Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai.
Ja’far adalah anak ketiga dari ayahnya Abu Thalib, dan Thalib adalah anaknya yang terbesar, kemudian ‘Uqail, setelah ‘Uqail adalah Ja’far dan setelah Ja’far adalah ‘Ali. Setiap seorang dari mereka lebih besar sepuluh tahun dari saudaranya. ‘Ali adalah anak yang paling muda. Ibu mereka adalah Fathimah binti Asad bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai. Fathimah adalah Hasyimiyah pertama yang dinikahi oleh Hasyimi. Ia telah masuk Islam dan berhijrah ke Madinah. Meninggal pada masa Rasulullah n, dan Rasulullah n ikut menguburkannya.

Ja’far a telah masuk Islam pada saat Rasulullah n belum memasuki Darul (rumah) Arqam bin Abil Arqam a yang di dalamnya Rasulullah n menyerukan dakwahnya. Ia masuk Islam tidak lama setelah Islamnya saudaranya, ‘Ali bin Abi Thalib a. Diriwayatkan bahwa suatu saat Abu Thalib melihat Nabi n shalat bersama ‘Ali a, dan ‘Ali berada di samping kanan beliau, maka kemudian ia berkata kepada Ja’far a:

صل جناح ابن عمّك، و صلِّ على يساره
“Sambunglah sayap saudara sepupumu, dan shalatlah di sebelah kirinya”.
Ada yang mengatakan bahwa Ja’far a masuk Islam setelah tiga puluh satu orang masuk Islam, dan dia adalah yang ke tiga puluh dua. Maka Ja’far a, termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam.

B. Keluarganya
Istrinya adalah Asma` binti ‘Umais bin An-Nu’man bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah bin Khats’am Al-Khats’imiyah s. Lahirlah darinya di Habasyah tiga orang anaknya: ‘Abdullah, ‘Aun dan Muhammad.

C. Berhijrah ke Habasyah
Ketika Rasulullah n melihat ujian yang ditimpa oleh para sahabatnya, dan tidak adanya keamanan, sedangkan beliau tidak mampu untuk menghalangi dari musibah yang menimpa mereka, maka beliau n kepada mereka: “Seandainya kalian keluar ke negeri Habasyah, sungguh di sana terdapat seorang raja yang tidak pernah mendzalimi seorang pun dari rakyatnya, ia adalah negeri kebenaran, sehingga hal dapat menjadi jalan keluar bagi kalian atas musibah ini.”

Di Habasyah terdapat seorang raja yang adil yang bernama An-Najasyi, ia tidak pernah mendzalimi seorang pun di tempat ia berkuasa.
Maka keluarlah kaum Muslimin, para sahabat Rasulullah n, ke negeri Habasyah untuk menghindari terjadinya fitnah. Ini terjadi pada tahun Ke-lima dari kenabian, delapan tahun sebelum hijrah ke Madinah. Dan ini adalah hijrah pertama di dalam Islam dan hijrah yang pertama ke negeri Habasyah.

Sebagaimana Ja’far adalah termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam, maka ia juga menjadi salah satu dari orang-orang yang berhijrah ke Habasyah. Ia berhijrah ke Habasyah bersama istrinya, Asma` binti ‘Umais bin An-Nu’man bin Ka’ab bin Malik bin Quhafah bin Khats’am Al-Khats’imiyah s. Maka lahirlah darinya di Habasyah tiga orang anaknya: ‘Abdullah, ‘Aun dan Muhammad.

Nabi n mengutus Ja’far a untuk menyampaikan surat kepada An-Najasyi.
Nabi n telah memberikan surat ini kepada sepupunya, Ja’far a untuk disampaikan kepada An-Najasyi sewaktu hijrahnya ke Habasyah, meminta agar An-Najasyi memberikan keadilan kepada orang-orang asing yang datang di negerinya dari kaum Muslimin. Yang mana mereka adalah orang-orang yang pertama kali hijrah dari kaum Muslimin ke negeri Habasyah. Nabi n juga menyeru An-Najasyi kepada Islam.

Ketika kaum Quraisy melihat para sahabat Rasulullah n telah mendapatkan keamanan dan ketentraman berada di negeri Habasyah, serta mendapatkan tempat tinggal ketenangan di sana, maka mereka mengutus dua orang yang kuat pendiriannya dari kaum Quraisy kepada raja An-Najasyi untuk memberikan fitnah kepada mereka tentang agama mereka dan mengeluarkan mereka dari tempat hijrah mereka. Kaum Quraisy mengutus ‘Abdullah bin Abi Rabi’ah dan ‘Amru bin Al-‘Ash bin Wail. Mereka mengumpulkan untuk keduanya hadiah-hadiah yang akan diberikan kepada An-Najasyi dan para Batrixnya. Mereka menyuruh keduanya untuk memberikan hadiah-hadiah tersebut kepada setiap Batrix sebelum menemui An-Najasyi untuk membicarakan tentang kaum Muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah. Tidak ada satu Batrixpun dari para Batrix, melainkan telah mereka beri hadiah sebelum menemui An-Najasyi. Mereka mengatakan kepada setiap batrix, “Sungguh telah datang serombongan pemuda yang bodoh yang berlindung ke negeri raja kalian ini. Mereka telah memecah belah agama kaum mereka. Tetapi mereka tidak juga masuk ke dalam agama kalian. Mereka datang dengan membawa agama baru yang tidak kami ketahui dan tidak kalian ketahui. Kami telah diutus kepada Raja untuk membahas mereka, yang mana kami adalah orang yang paling mulia diantara kaum mereka untuk membawa mereka kembali kepada kaumnya. Maka jika kami menemui Raja untuk membicarakan masalah ini, maka berikanlah petunjuk kepada Raja agar dia menyerahkan mereka kepada kami, karena sesungguhnya kaum mereka lebih mengetahui kejelekan yang mereka lakukan terhadap kaum mereka.” Maka mereka –para Batrix- mengatakan, “Ya.”
Kemudian kedua utusan Quraisy menyerahkan hadiah-hadiah kepada An-Najasyi dan diterimanya. Keduanya berkata kepada An-Najasyi, ‘Wahai paduka raja, sesungguhnya telah menyusup ke negeri paduka anak-anak muda kami yang tidak waras. Mereka meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk kepada agamamu. Mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri. Kami tidak mengenal agama tersebut, begitu juga paduka. Sungguh kami diutus ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan keluarga besar mereka untuk membawa mereka pulang kepada kaumnya, karena kaumnya lebih paham apa yang mereka katakan, dan lebih mengerti apa yang mereka cela’.”

Tidak ada sesuatu yang paling dibenci ‘Abdullah bin Abu Rabi’ah dan ‘Amr bin Al-‘Ash bila An-Najasyi mendengar perkataan kaum Muhajirin. Para Batrix di sekeliling An-Najasyi berkata, “Keduanya berkata benar, wahai paduka raja. Kaum mereka lebih paham apa yang mereka katakan, dan lebih mengerti terhadap apa yang mereka cela. Oleh karena itu, serahkan mereka kepada kedua orang ini, agar keduanya membawa mereka pulang ke negeri dan kaum mereka’.”

An-Najasyi murka. Ia berkata, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua. Jika ada suatu kaum hidup berdampingan denganku, dan memilihku daripada orang selain saya, maka aku harus mengundang dan bertanya kepada mereka tentang apa yang dikatakan dua orang ini tentang mereka. Jika mereka seperti dikatakan kedua orang ini, aku serahkan mereka kepada keduanya dan aku pulangkan mereka kepada kaumnya. Namun, jika mereka tidak seperti dikatakan keduanya, aku melindungi mereka dari keduanya, dan melindungi mereka dari keduanya, dan melindungi mereka selama tinggal berdampingan denganku.”

Kemudian An-Najasyi mengutus seseorang kepada sahabat-sahabat Rasulullah n dan mengundang mereka. Ketika utusan raja An-Najasyi tiba di tempat mereka, maka mereka segera mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan tersebut, sebagian Muhajirin berkata kepada sebagian Muhajirin yang lain, “Apa yang kalian katakan kepada raja jika kalian datang kepadanya?” Mereka berkata, “Demi Allah, kami mengatakan apa yang telah kami ketahui. Apa yang diperintahkan Nabi dalam hal ini, itulah yang akan kita kerjakan.” Ketika mereka tiba di tempat An-Najasyi –yang ketika itu memanggil para uskupnya yang kemudian menebarkan mushaf-mushaf mereka di sekitar An-Najasyi. An-Najasyi bertanya kepada Muhajirin, ‘Apa sih sebenarnya yang berbeda agama kalian dengan agama kaum kalian, dan mengapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku, serta tidak masuk ke dalam salah satu dari agama-agama yang ada?’”

Ketika itu yang menjadi pemimpin orang-orang yang berhijrah ke Habasyah adalah Ja’far bin Abi Thalib a. Maka Ja’far mewakili kaum Muslimin berkata kepadanya, “Wahai raja! Kami adalah kaum jahiliyah, kami menyembah berhala, kami memakan bangkai, kami melakukan perbuatan yang keji dan memutus tali persaudaraan, menyakiti tetangga, yang kuat di antara kami menindas yang lemah di antara kami, kami berada di atas itu semua hingga Allah l mengutus kapada kami seorang Rasul dari golongan kami, yang mana kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, keamanatannya dan kejauhan dirinya dari hal-hal yang buruk. Ia menyeru kami kepada Allah l untuk mengesakannya, menyembahnya dan meninggalkan apa yang kami dan nenek moyang kami menyembahnya berupa batu-batu dan berhala-berhala. Ia menyuruh kami untuk berkata jujur, menyampaikan amanat, menyambung tali persaudaraan dan berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari hal-hal yang diharamkan dan darah, melarang kami dari perbuatan keji dan berkata dusta serta memakan harta anak yatim, menuduh perempuan baik-baik melakukan zina, dan kami diperintahkan untuk menyembah hanya kepada Allah l tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan memerintahkan kami untuk melaksanakan shalat, membayar zakat dan berpuasa –kemudian Ja'far menyebutkan beberapa perkara dalam Islam-, maka kami membenarkannya, beriman kepadanya dan mengikutinya atas apa yang ia bawa dari Allah l, maka kami hanya beribadah kepada Allah l dan tidak menyekutukan-Nya, kami mengharamkan apa yang diharamkan kepada kami dan menghalalkan apa yang dihalalkan kepada kami. Maka kemudian kaum kami memusuhi kami, kemudian menyiksa kami, memfitnah kami agar kami keluar dari dien kami yang menyembah Allah l kepada penyembahan kepada berhala, agar kami menghalalkan perbuatan buruk. Maka ketika menyiksa kami, mendzalimi kami dan menghalangi dari dien kami, kami keluar ke negerimu, kami memilihmu dari selain anda, kami senang berada di sisimu dan kami mengharap agar engkau tidak mendzalimi kami, wahai raja.” Maka kemudian An-Najasyi berkata kepadanya, “Apakah kamu membawa sesuatu yang datangnya dari Allah l?” Maka kemudian Ja’far membacakan awal surat (كهيعص) . Maka menangislah An-Najasyi hingga membasahi jenggotnya, juga para pendetanya hingga membasahi mushaf-mushaf mereka ketika mendengarkan apa yang dibacakan kepada mereka. An-Najasyi berkata, “Sungguh hal ini dan apa yang datang dari ‘Isa adalah berasal dari sumber yang satu. Pergilah kalian berdua, hai utusan Quraisy! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua, dan mereka tidak bisa diganggu.”

Ketika kedua utusan Quraisy keluar dari hadapan An-Najasyi, ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Demi Allah, besok pagi aku mengahadap An-Najasyi dan memojokkan mereka.” ‘Abdullah bin Abu Rabi’ah –orang yang paling kuat di antara orang-orang Quraisy- berkata, “Jangan kerjakan itu, karena mereka mempunyai kerabat kendati mereka berseberangan dengan kita.” ‘Amr bin Al-‘Ash berkata, “Demi Allah, aku akan jelaskan kepada An-Najasyi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad meyakini Isa bin Maryam adalah hamba biasa.”

Keesokan harinya, ‘Amr bin Al-‘Ash menghadap An-Najasyi untuk kedua kalinya dan berkata kepadanya, “Wahai paduka raja, mereka mengakatakan sesuatu yang aneh tentang Isa bin Maryam. Oleh karena itu, kirim orang untuk menghadirkan mereka ke sini agar engkau bisa bertanya tentang tanggapan mereka terhadap Isa bin Maryam!” An-Najasyi mengirim seseorang untuk menanyakan tanggapan kaum Muslimin terhadap Isa bin Maryam.
Ummu Salamah s berkata, “Kami belum pernah menghadapi persoalan seperti ini sebelumnya. Di sisi lain, kaum Muslimin mengadakan pertemuan. Sebagian di antara mereka bertanya kepada sebagian yang lain, ‘Apa yang akan kalian katakan tentang Isa bin Maryam jika An-Najasyi bertanya kepada kalian?’ Sebagian yang lain menjawab, ‘Demi Allah, kita katakan seperti yang difirmankan Allah, dan dibawa Nabi kita. Itulah yang akan kita katakan’.”

Ketika kaum Muslimin masuk ke tempat An-Najasyi, An-Najasyi bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?” Ja’far a menjawab, “Menurut kami, Isa bin Maryam ialah seperti yang dikatakan Nabi kami bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Ruh-Nya dan Kalimat-Nya yang ditiupkan ke dalam rahim Maryam yang perawan.” An-Najasyi membungkuk ke tanah guna mengambil tongkat, kemudian berkata, “Demi Allah, apa yang dikatakan Isa bin Maryam tentang tongkat tidak berbeda dengan apa yang engkau katakan.”

Para Batrix yang di sekitar An-Najasyi pun mendengus ketika mendengar apa yang dikatakan An-Najasyi. An-Najasyi berkata, “Kendati kalian mendengus!” Kepada kaum Muslimin, An-Najasyi berkata, “Pergilah, kalian aman di negeriku. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Barangsiapa menghina kalian, ia merugi. Aku tidak suka memiliki gunung dari emas sedangkan aku menyakiti salah seorang dari kalian. Kembalikanlah hadiah-hadiah ini kepada dua orang utusan Quraisy itu, karena aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tidak mengambil suap dariku ketika Dia mengembalikan kekuasaan kepadaku kemudian aku mengambil suap di dalamnya. Manusia juga tidak patuh kepadaku hingga kemudian aku harus taat di dalamnya.” Kemudian kedua utusan Quraisy keluar dari hadapan An-Najasyi dalam keadaan terpukul hatinya dan hadiah-hadiah yang dibawanya ditolak An-Najasyi. Sedangkan kaum Muslimin tetap tinggal di negeri An-Najasyi dengan nyaman dan tetangga yang baik.

D. Berhijrah Ke Madinah Al-Munawarah
Ketika Nabi n berhijrah dari Makkah Al-Mukarramah ke Madinah Al-Munawarah, juga diizinkannya kaum Muslimin untuk berhijrah ke sana, maka Rasulullah n memulai dengan saling mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Rasulullah n mempersaudarakan Ja’far a dengan Mu’adz bin Jabal a, dari Bani Salamah Al-Anshari sedangkan ketika itu Ja’far a masih berada di Habasyah.

Kebanyakan ahli sejarah tidak menyebutkan persaudaraan antara Ja’far a dengan Mu’adz bin Jabal a, karena Al-Mu`akhah (saling mempersaudarakan) ini terjadi setelah datangnya Rasulullah n ke Madinah, sebelum terjadinya perang Badar Al-Kubra. Kemudian turunlah ayat tentang masalah waris pada perang Badar, maka kemudian terputuslah Al-Mu`akhah ini sedangkan ketika itu Ja’far a masih berada di Habasyah.
Rasulullah n mengutus ‘Amru bin Umayyah Adh-Dhamri pergi kepada An-Najasyi untuk menyeru kepada Islam pada tahun 6 H. Beliau menulis surat kepada An-Najasyi, maka kemudian An-Najasyi a masuk Islam. Rasulullah n juga memerintahkan An-Najasyi untuk menikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan bin Harb s kemudian memulangkannya beserta kaum Muslimin.

An-Najasyi a telah beriman kepada Nabi n dan mengikutinya. Ia masuk Islam dihadapan Ja'far bin Abi Thalib a. Kemudian ia mengutus anaknya pada tahun ke-enam dari awal hijrah ke Habasyah, tetapi anaknya tenggelam di tengah laut . An-Najasyi a juga mengirim sebuah baju kebesaran untuk Rasulullah n. Ia mengirim surat kepada nahkoda kapalnya dengan mengatakan, "Lihatlah apa yang dibutuhkan oleh mereka (orang-orang yang hijrah) ketika di dalam kapal." Maka mereka mengatakan, "Mereka membutuhkan dua buah kapal." Maka kemudian An-Najasyi a menyiapkan untuk mereka.

Nampaknya Nabi n mengutus 'Amru bin Umayyah kepada An-Najasyi pada akhir tahun ke-6 Hijriyah dan kembali pada awal tahun ke-7 Hijriyah. Karena kaum Muhajirin yang hijrah ke Habasyah, yang dipimpin oleh Ja'far, kembali dari negeri Habasyah ke Madinah Al-Munawarah setelah terjadinya perang Khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-7 Hijriyah.

Ketika itu Ja'far bin Abi Thalib datang bersama rombongannya bersamaan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang Khaibar. Ketika melihat Ja'far, maka Rasulullah n langsung memeluknya dan mencium keningnya , kemudian bersabda, "Demi Allah, aku tidak tahu yang manakah yang lebih membuatu gembira, antara kedatangan Ja'far atau karena kemenangan Khaibar."
Ja'far a telah berhijrah di negeri Habasyah dari tahun ke-8 sebelum hijrah ke Madinah (tahun ke-5 Kenabian) hingga awal tahun ke-7 Hijriyah.

E. Perang Mu’tah
Setelah tentara Muslimin berhasil menundukkan kekuatan kaum Yahudi di Khaibar, dan setelah keamanan dan stabilitas berhasil ditegakkan di Hijaz, maka Rasulullah n berpikir untuk memusatkan dakwahnya kepada penduduk di kawasan-kawasan perbatasan dengan Syam. Untuk itu Rasulullah n mengutus salah seorang sahabat, bernama Al-Harits bin Umair Al-Azdi –salah seorang dari Bani Lahab-, dengan membawa sepucuk surat untuk diserahkan kepada pemimpin Bushra , untuk menyeru ke dalam agama Islam. Ketika telah sampai Mu'tah ia bertemu dengan Syurhabil bin 'Amru Al-Ghassani kemudian ia dibunuh olehnya. Tidak ada seorang pun utusan Rasul n yang dibunuh selainnya. Maka Rasulullah n marah dengan terjadinya hal itu. Maka Nabi n mengutus Sariyah Mu'tah pada bulan Jumadil Ula tahun ke-8 Hijriyah (629 M). Mereka berjumlah 3000 pasukan. Rasulullah n bersabda, "Panglima perang adalah Zaid bin Haritsah a, jika telah terbunuh maka digantikan oleh Ja'far bin Abi Thalib a, jika terbunuh maka digantikan oleh 'Abullah bin Rawahah a, jika terbunuh maka hendaklah kaum Muslimin memilih salah seorang yang mereka ridhai untuk menjadi pemimpin mereka."
Rasulullah n memberikan bendera yang berwarna putih kepada Zaid bin Haritsah a, kemudian beliau mewasiatkan kepada mereka untu menuju ke tempat terbunuhnya Al-Harits bin 'Umair untuk menyeru kepada penduduk yang ada di sana untuk masuk Islam, jika mereka menjawabnya biarkanlah, tetapi jika tidak maka mintalah pertolongan kepada Allah l kemudian perangilah mereka. Rasulullah n mengantar mereka hingga sampai ke Tsaniyatul Wada' kemudian berhenti dan melepas mereka serta mengucapkan salam kepada mereka.

Ibnu Ishaq berkata, "Pasukan kaum muslimin berjalan dan singgah di Ma’an, daerah di Syam. Di sana, mereka mendapat kabar bahwa Hiraklius tiba di Ma’ab, daerah di Al-Balqa’, dengan membawa seratus ribu tentara Romawi dan seratus ribu tentara gabungan dari Lakhm, Judzam, Al-Yaqin, Bahra’, dan Baly dipimpin salah seorang dari Baly kemudian dari Irasyah bernama Malik bin Zafilah. Ketika kaum muslimin mendengar informasi tersebut, mereka menetap di Ma’an dua malam untuk berpikir. Sebagian dari mereka berkata, ‘Kita kirim surat kepada Rasulullah n dan kita jelaskan jumlah musuh, agar beliau mengirim bantuan personel atau menyuruh kita pulang’. Abdullah bin Rawahah a memberi motivasi kepada mereka dengan berkata, ‘Hai kaum muslimin, demi Allah, sesuatu yang kalian takuti pada hakikatnya adalah sesuatu yang kalian minta selama ini, yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh dengan jumlah besar pasukan atau kekuatan, namun kita memerangi mereka dengan agama Islam dimana Allah memuliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian, niscaya kalian mendapatkan salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid’. Kaum muslimin berkata, ‘Sungguh Abdullah bin Rawahah berkata benar’. Mereka pun berangkat."

"Kaum muslimin terus berjalan. Ketika tiba di perbatasan Al-Balqa’ tepatnya di desa Masyarif, mereka bertemu pasukan Romawi dan pasukan gabungan orang-orang Arab. Kedua belah pihak saling mendekat, namun kaum muslimin pindah ke desa Mu’tah. Di sanalah, kedua belah pihak bertemu. Kaum muslimin bersiap-siap untuk menghadapi musuh dengan menunjuk salah seorang dari Bani Udzrah bernama Quthbah bin Qatadah sebagai komandan pasukan sayap kanan dan salah seorang dari kaum Anshar bernama Abayah bin Malik a. (Ibnu Hisyam berkata, "Ada yang mengatakan 'Ubadah bin Malik.")

Kedua belah pihak bertemu kemudian saling serang. Zaid bin Haritsah a bertempur dengan memegang bendera perang Rasulullah n hingga gugur karena terkena tombak musuh kemudian bendera perang diambil alih Ja’far bin Abu Thalib a. Ketika perang memuncak, Ja’far bin Abu Thalib a turun dari kudanya dan menyembelihnya. Setelah itu, ia menyerang musuh hingga gugur.

Alangkah indahnya Surga dan betapa dekatnya
Segar dan dingin air minumnya
Tentara Romawi telah dekat kehancurannya
Jika bertemu dengannya, niscaya aku hancuran mereka

Syair-syair itulah yang disenandungkan Ja'far a ketika ia bertempur dan berjuang di medan Mu'tah sehingga terbunuh dalam peperangan Mu'tah.
Ibnu Hisyam berkata, "Diceritakan kepadaku oleh seseorang yang sangat terpercaya dan termasuk ahli ilmu bahwa Ja'far bin Abi Thalib membawa bendera perang dengan tangan kanannya, kemudian mendapat sabetan pedang hingga putus, lalu dia membawa bendera itu dengan tangan kirinya, tangan kirinya juga terkena tebasan pedang hingga putus. Kemudian bendera itu ia dekap dengan kedua lengan atasnya sehingga beliau terbunuh."
Ketika itu beliau berumur 33 tahun (ada yang mengatakan 42 tahun ketika beliau wafat). Allah mengganti kedua tangannya dengan dua buah sayap, beliau terbang di dalam surga ke mana saja beliau mau.

Ada seorang perawi yang bertutur, "Seorang lelaki bangsa Romawi menebaskan pedang ke arah Ja'far sehingga tangannya terputus setengah."
Ibnu Umar berkata, "Pada hari pertempuran di Mut'ah itu ia dekap tubuh Ja'far dan aku temukan lebih dari 40 luka karena tusukan panah dan sabetan pedang mengenai bagian depan tubuhnya."

Juga didapatkan luka di antara kedua pundaknya 90 luka karena tusukan panah dan sabetan pedang, dan dalam riwayat yang lain disebutkan ada 72 luka.
Ibnu Ishaq berkata, diriwayatkan dari Asma` binti 'Umais s berkata, "Ketika Ja'far bin Abi Thalib a dan sahabat-sahabatnya gugur, Rasulullah n mengunjungik. Ketika itu aku telah menyamak sebanyak empat puluh kulit, membuat adonan roti, memandikan ana-anakku, meminyaki rambut dan membersihkan mereka. Rasulullah n bersabda, "Bawa kemari anak-anak Ja'far." Aku bawa anak-anakku ke hadapan beliau, kemudian beliau mencium mereka satu persatu dengan air mata berlinang. Aku berkata, "Wahai Rasulullah n, ayah ibuu menjadi tebusanmu, mengapa engkau menangis? Apakah engkau menerima informasi tentang Ja'far dan sahabat-sahabatnya?" Rasulullah n bersabda, "Mereka gugur pada hari ini." Aku berdiri dan berteriak hingga wanita-wanita berkumpul di sekitarku. Kemudian Rasulullah n keluar dari rumahku dan bersabda, "Janganlah kalian lupa memasak untuk keluarga Ja'far, sebab mereka sedih karena keatian Ja'far."

Rasulullah n bersabda, "Mintakanlah ampun untuk saudara kalian Ja'far, karena ia syahid, ia telah masuk surga, dan dia terbang dengan dua sayap dari yaqut kemanapun ia mau."
Rasulullah n juga bersabda: "Aku lihat Ja'far bin Abi Thalib terbang di dalam surga seperti malaikat, terbang di dalamnya dengan sayap lebar yang berlumur darah."

F. Ja’far dalam Sejarah
Disebutkan di dalam sejarah bahwa, Ja’far termasuk dari golongan yang pertama kali masuk Islam, yaitu masuk Islam sebelum Rasulullah n memasuki rumah Al-Arqam bin Abil Arqam.
Dia adalah orang yang berhijrah dua kali: Hijrah ke Habasyah dari Makkah dalam hijrahnya yang pertama, dan ke Madinah dari Habasyah.
Dia termasuk orang-orang yang pertama kali berhijrah ke Habasyah, dan termasuk orang-orang yang terakhir pulang dari Habasyah ke Madinah.
Dia adalah pemimpin orang-orang yang berhijrah ke Habasyah, sejak awal hijrahnya ke Habasyah dari Makkah, hingga kembalinya mereka dari Habasyah ke Madinah.
Dia adalah orang yang pertama kali diutus dalam Islam, yaitu yang pertama kali diutus untuk menyampaikan sebuah surat dari surat-surat Nabi n kepada raja-raja dan para penguasa.

Disebutkan bahwa An-Najasyi raja Habasyah masuk Islam di hadapan Ja’far, juga beberapa orang dari Ahbasy.
Dia adalah orang yang membela Islam dengan lisannya di hadapan An-Najasyi, sehingga An-Najasyi membela kaum Muslimin atas musuh-musuh mereka kaum Musyrikin.
Dia adalah orang yang paling menyerupai Nabi n baik secara fisik maupun akhlaknya dan termasuk orang-orang yang paling beliau cintai dan yang paling dekat di hati beliau.

Dia adalah seorang dermawan dari para dermawan Arab yang terkenal, dia adalah orang yang paling baik kepada para fakir miskin.
Dia adalah salah seorang panglima Nabi n, yang memimpin perang Mu’tah. Dia berjuang dengan gigih hingga menemui kesyahidannya dalam peperangan ini tanpa menjatuhkan bendera perang Nabi n yang ia bawa dengan giginya setelah kedua tangannya putus.
Semoga Allah l meridhoimu wahai utusan Nabi n, sahabat yang mulia, panglima yang syahid di medan perang, sang pemilik sayap Ja’far bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Qurasyi.

(Diintisarikan dari Majalah "Al-Buhuts Al-Islamiyah", yang ditulis oleh Mahmut Sayyit Khaththab, jilid 27, hal. 191-211, dengan sedikit penambahan dan pengurangan tanpa merubah isi kandungan)

Followers