30 Jul 2009

HIKMAH BULAN ROMADHON

HIKMAH BULAN ROMADHON

Oleh: Zul Fahmi

Bulan Diturunkanya Al-Qur'an
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kemulyaan. Allah telah menjadikanya sebagai bulan yang paling berharga bagi semua manusia khususnya kaum muslimin, dengan menurunkan nikmat dan rahmat-NYA yang paling besar ke dunia ini.
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkanya Al-qur'an. Allah Ta'ala telah berfirman,


"bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil}.{QS.Al-Baqoroh : 185}
Tidak hanya itu saja, bulan ramadhan adalah bulan dimana Allah juga menurunkan kitab-kitab sebelumnya, seperti suhuf Ibrahim, Zabur, taurot, injil dan kitab-kiab Allah yang lainya. Hal ini diterangkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Rasulullah SAW. bersabda,

"أنزلت صُحُف إبراهيم في أول ليلة من رمضان. وأنزلت التوراة لسِتٍّ مَضَين من رمضان، والإنجيل لثلاث عَشَرَةَ خلت من رمضان وأنزل الله القرآن لأربع وعشرين خلت من رمضان".
"Suhuf Ibrahim diturunkan di awal malam bulan ramadhan, dan taurot diturunkan malam keenam bulan ramadhan, Injil malam ketigabelas bulan Ramadhan, dan Allah menurunkan Al-qur'an malam keempat belas dari bulan Ramadham."
Al-qur'an diturunkan oleh Allah Subhaana Wa ta'ala kepada Nabi Muhammad SAW. dengan perantaraan malaikat Jibril, dalam dua periode. Pertama Alqur'an diturunkan sekaligus dari lauh Mahfudh ke sama'a dunya{langit dunia} pada suatu tempat yang bernama Baitul Izzah, pada malam yang diberkati yaitu malam Lailatul Qodar, kemudian yang kedua Al-qur'an diturunkan secara berangsur-angsur dari Baitul Izzah kepada Nabi Muhammad sesuai dengan yang dikehendaki Allah Ta'ala. Keterangan seperti ini banyak ditemui dalam kitab-kitab tafsir
Imam Ibnu Katsir menyebutkan beberapa keterangan tentang turunya Alqur'an, diantaranya adalah riwayat said bin Zubair dari Ibnu Abbas ra. yang mengatakan, "Al-qur'an diturunkan dalam pertengahan bulan Ramadhan ke langit dunia yaitu Baitul Izzah, kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. selama dua puluh tahun untuk menjawab pertanyaan manusia." Kemudian Ikrimah juga meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas, "Al-qur'an diturunkan pada bulan Ramadhan di malam Lailatul Qodr ke langit dunia sekaligus. Dan kemudian Allah berbicara {mewahyukan} kepada nabiNYA sesuai dengan kehendaknya."

Imam At-Thobari dalam tafsirnya juga mengatakan, "Sesungguhnya Allah menurunkan Al-qur'an pada malam Lailatul Qodr di bulan Ramadhan dari Lauh Mahfudz ke langit dunia, kemudian menurunkanya kepada Muhammad SAW. sesuai dengan yang dikehendakinya."
Begitu pula dengan Imam Al-Mawardi ketika menafsirkan surat Al-Baqoroh ayat 185 di atas, beliau mengatakan, "Sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan Al-qur'an sekaligus dari Lauh Mahfudz ke langit dunia pada bulan Ramadhan di malam Lailatul Qodr, kemudian menurunkanya kepada Nabi-NYA sesuai dengan kehendaknya."

Tujuan Diturunkanya Al-Qur'an
Al-qur'an diturunkan oleh Allah Ta'ala kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai petunjuk bagi manusia. Dia berfirman,

bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil}.{QS.Al-Baqoroh : 185}
Berkata Imam At-Thobari bahwa maksudnya "hudallinnaas" adalah petunjuk bagi manusia ke jalan yang benar dan system {manhaj}hidup yang benar. Sedangkan "Bayyinati minal huda wal furqon" maksudnya adalah menjelaskan petunjuk tentang hukum-hukum Allah, kewajiban-kewajiban-NYA, dan hal-hal yang diharamkan dan dihalalkan-NYA. Atau dalam ucapanya yang lain, "al-furqon" maksudnya disini adalah pembeda antara yang haq dan yang batil.
Sementara itu Al-Baghowi dalam tafsirnya juga mengatakan,bahwa "hudallinnas" maksudnya adalah memberitahukan dan mengeluarkan manusia dari jalan kesesatan. Sedangkan "bayyinaati minal huda" artinya adalah dalil-dalil yang jelas tentang halal dan haram, hudud, dan hukum-hukum yang lain. Kemudian "al-furqon" maksudnya adalah hal yang membedakan antara yang haq dan yang batil.
Dan tafsir yang paling simple namun cukup jelas adalah apa yang dikemukakan oleh An-Nasafi, bahwa maksud ayat,

adalah,
وهو هداية للناس إلى الحق وهو آيات واضحات مكشوفات مما يهدي إلى الحق ويفرق بين الحق والباطل
"Al-qur'an adalah petunjuk bagi manusia pada kebenaran, dan ia adalah ayat-ayat yang jelas yang mengungkapkan perkara-perkara yang haq dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan"
Dari keterangan-keterangan di atas sudah jelas bahwa Al-qur'an diturunkan oleh Allah Ta'ala ke dunia ini untuk menjadi petunjuk bagi manusia, dalam menjalankan kehidupanya. Allahlah yang menciptakan manusia dan yang paling tahu perkara-perkara yang dibutuhkan oleh manusia, dan paling tahu perkara-perkara yang akan mencelakakan dan menyelamatkanya. Maka sudah sepantasnyalah bila Dia menurunkan aturan-aturan-NYA kepada manusia, dan manusia harus tunduk mentaatinya, tidak meninggalkan apalagi menentangnya. Al-qur'an adalah petunjuk yang sempurna, serta berisi penjelasan-penjelasan yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena, itu tidak seharusnya bila manusia menyombongkan diri di hadapanya dan membuangnya ke belakang punggung mereka
Bulan Peringatan Bagi Manusia
Bulan Ramadhan adalah bulan yang memperingatkan kepada manusia bahwa Al-qur'an adalah petunjuk hidup yang harus diikutinya. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqoroh ayat 185 yang mengabarkan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan diturunkanya Al-Qur'an sebagaimana keterangan para mufassir di atas, adalah peringatan yang sangat jelas dan tegas bahwa Al-Qur'an adalah sebuah pedoman hidup yang tidak boleh dilupakan oleh manusia, dan senantiyasa harus diiltzami dan diamalkan sepanjang hidupnya.

Al-qur'an adalah amanah yang paling besar dari Allah kepada Rasul-NYA Nabi Muhammad SAW, dan juga kepada semua manusia yang mengaku beriman kepadanya. Amanah tersebut adalah amanah untuk memproklamirkan bahwa ia adalah satu-satunya undang-undang yang harus dijunjung tinggi oleh semua manusia, dan amanah untuk mengaktualisasikanya dalam kehidupan nyata. Allah berfirman,

" Hai orang yang berselimut (Muhammad), Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat." {QS.Al-Muzammil : 1-5}
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah memerintahkan{menganjurkan, karena sebelumnya wajib} kepada Nabi SAW untuk senantiyasa bangun sholat malam lebih sedikit dari sebelumnya yaitu seperduanya atau kurang sedikit dari seperduanya. Kemudian dalam ayat yang ke 5 Allah mengatakan, " Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat."
Ibnu jarir At-Thobari dalam tafsirnya mengatakan,
أنه ثقيل من الوجهين معا، كما قال عبد الرحمن بن زيد بن أسلم: كما ثقل في الدنيا ثقل يوم القيامة في الموازين.
"Sesungguhnya Al-qur'an itu berat dengan dua hal, sebagaimana dikatakan oleh Abdurrohman bin Zaid bin Aslam,'sebagaimana Al-qur'an itu berat di dunia maka ia juga berat pada hari qiyamat dalam timbanganya."
Berat disini maksudnya adalah berat mengamalkanya di dunia juga berat pertanggungjawabanya di akherat. Sementara itu Imam Hasan Al-Bashri juga mengatakan, " maksudnya ucapan yang berat disini adalah berat dalam mengamalkanya." Begitu juga Qotadah berkata, "Berat di sini adalah berat mengamalkanya.
Karena Al-qur'an itu amanah yang berat sesuai dengan penjelasan para mufassir di atas, yakni mengamalkanya dan mempertanggungjawabkanya di hadapan Allah SWT, maka kemudian Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk banyak mengerjakan sholat malam agar mempunyai segenap kekuatan dalam mengemban amanah-NYA. Karena amanah Al-qur'an ini hanya bisa dipegang oleh orang-orang yang telah siap jiwanya, yaitu orang-orang yang bertaqwa, yang bersih hatinya, dan selalu tunduk bermunajat kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur'an,

" Alif laam miin Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa" {QS.Al-Baqoroh: 1-2}
Maksudnya, Al-qur'an itu adalah kitab yang benar tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya, dan orang-orang yang bisa mengambil petunjuk darinya, yaitu memahami dan mengamalkanya hanyalah orang-orang yang bertaqwa. 0rang yang bertaqwa sebagaimana dijelaskan para ulama' adalah orang yang bersih hatinya, takut kepada Allah SWT. dan senanityasa mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-larangan-NYA
Jadi surat Al-Muzammil ayat 1-5 ini adalah ayat yang memerintahkan Nabi untuk banyak mengerjakan sholat malam agar Beliau punya kekuatan jiwa untuk mengemban amanah yang akan diberikan oleh Allah Ta'ala, yaitu " qoulan tsaqiila"

Disyariatkanya puasa pada bulan Ramadhan dan amal-amal yang lainya, sesungguhnya memiliki maksud dan tujuan yang sama dengan perintah Allah Ta'ala untuk bangun sholat malam kepada Nabi-NYA, agar siap menerima amanah berupa "qoulan tsaqiila"
Dalam surat Al-Baqoroh ayat 183 Allah berfirman,

" Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,"
Ayat ini menjelaskan bahwa puasa disyariatkan kepada orang-orang beriman agar menjadi orang yang bertaqwa. Kemudian Allah juga berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 185

" bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil"
Ayat ini mengabarkan bahwa Al-qur'an diturunkan pada bulan Ramadhan. Kemudian dalam ayat 1-2 surat Al-Baqoroh Allah Ta'ala berfirman,

" Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa"

Rangkaian tiga ayat dalam surat Al-Baqoroh ini, sesungguhnya mengandung sebuah kesimpulan, bahwa ibadah puasa disyariatkan oleh Allah SWT. untuk mendidik jiwa manusia menjadi bertaqwa, agar bisa memahami dan mengamalkan Al-qur'an dengan sempurna. Karena yang bisa mengambil petunjuk dan mengamalkan Al-qur'an secara sempurna {kaffah} hanyalah orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang bersih jiwanya, ikhlas niatnya, dan hawa nafsunya selalu tunduk kepada hukum-hukum Allah SWT. Sebaliknya orang-orang yang hipokrit, orang yang membangun amalnya dengan kemunafikan, orang yang jiwanya sombong dan sangat jauh dari amal, maka ia tidak akan bisa memahami Al-qur'an kecuali kulitnya saja, apalagi mengaktualisasikanya menjadi amal yang nyata.
Jadi bulan Ramadhan adalah bulan tarbiyah bagi manusia {orang-orang beriman}, yang dengan tarbiyah selama satu bulan tersebut mereka akan mampu bersabar menahan segala ujian, dan mampu pula untuk selalu mempertahankan ghirah, semangat dan kekuatanya dalam mengamalkan dan memperjuangkan amanah yang ia telah menyatakan kesanggupan untuk mengembanya yaitu Al-qur'an.


Bacaan :
1. Tafsir Jalalain, Imam Jalaludin As- Suyuthi.
2. Tafsir Al-qur'anil 'Adhim, Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi.
3. Tafsir An-Nasafi, Imam Abul Barkat An-Nasafi.
4. Tafsir Jami'ul Bayan fie Takwiilil Qur'an, Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari.






29 Jul 2009

SYEIKH AHMAD KHATIB SAMBAS

Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah seorang ulama yang mendirikan perkumpulan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah. Perkumpulan thariqah ini merupakan penyatuan dan pengembangan terhadap metode dua thariqat sufi besar. yakni Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Dagang, Sambas, Kalimantan Barat, pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari Kampung Sange’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau (nomaden) memang masih menjadi bagian cara hidup masyarakat di Kalimantan Barat.

Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari raja Brunei Darussalam, pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah Sambas adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak Raden Sulaiman yang bergelar Muhammad Tsafiuddin dinobatkan sebagai Sultan Sambas pertama.

Pada waktu itu, rakyat Sambas hidup dari garis agraris dan nelayan. Hingga ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin (1815-1828) dengan pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1819 M. Perjanjian ini membentuk sebuah pola baru bagi masyarakat Sambas yakni, perdagangan maritim.

Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H. Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya Mekkah. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M.

Guru-guru dan Murid
Di antara guru Ahmad Khatib Sambas semasa menuntut ilmu di tanah suci adalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani, seorang Syeikh terkenal yang berdomisili di Makkah, dan Syeikh Abdus Shomad al-Palimbani. Syeikh Abdul hafidzz al-Ajami, Ahmad al-Marzuqi al-Makki al-Maliki.

Sedangkan mengingat masa meninggalnya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah Oktober 1812 M. setelah mengabdi di tanah air selama empat puluh tahun, dan Beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1820 M. maka tidak mengherankan jika Beliau pun diduga sebagai salah satu guru Ahmad Khatib Sambas. Dalam hemat penulis, sangat mungkin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah guru Beliau sewaktu belum berangkat ke tanah suci.

Pendapat ini setidaknya mematahkan penolakan bahwa Ahmad Katib Sambas tidaklah mungkin pernah bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Mengingat tradisi nomaden dan situasi politik era perdagangan maritim yang telah dijelaskan sebelumnya, maka sebenarnya sangat mungkin bagi Ahmad Katib Sambas untuk bertemu dengan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, terutama bersama dengan bimbingan pamannya yang juga adalah seorang ulama.

Ketika kemudian Ahmad Khatib telah menjadi seorang ulama, ia pun memiliki andil yang sangat besar dalam perkembangan kehidupan keagamaan di Nusantara, meskipun sejak kepergiannya ke tanah suci, ia tidaklah pernah kembali lagi ke tanah air.

Masyarakat Jawa dan Madura, mengetahui disiplin ilmu Syeikh Sambas, demikian para ulama menyebutnya kemudian, melalui ajaran-ajarannya setelah mereka kembali dari Makkah. Syeikh Sambas merupakan ulama yang sangat berpengaruh, dan juga banyak melahirkan ulama-ulama terkemuka dalam bidang fiqh dan tafsir, termasuk Syeikh Nawawi al-Bantani adalah salah seorang di antara murid-murid Beliau yang berhasil menjadi ulama termasyhur.

Salah satunya adalah Syeikh Abdul Karim Banten yang terkenal sebagai Sulthanus Syeikh. Ulama ini terkenal keras dalam imperialisme Belanda pada tahun 1888 dan mengobarkan pemberontakan yang terkenal sebagai pemberontakan Petani Banten. Namun sayang, perjuangan fisiknya ini gagal, kemudian meninggalkan Banten menuju Makkah untuk menggantikan Syeikh Ahmad Khatib Sambas.

Syeikh Ahmad Khatob Sambas dalam mengajarkan disiplin ilmu Islam bekerja sama dengan para Syeikh besar lainnya yang bukan pengikut thariqat seperti Syaikh Tolhah dari Cirebon, dan Syaikh Ahmad Hasbullah bin Muhammad dari Madura, keduanya pernah menetap di Makkah.

Sebagian besar penulis Eropa membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar Ulama Indonesia bermusuhan dengan pengikut sufi. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam asti intelektual), yan g juga sebagai seorang sufi (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara.

Hal ini dikarenakan perkumpulan Thariqat Qadiriyyah wa Naqsabhandiyyah yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim Indonesia, khususnya di wilayah Madura, Banten, dan Cirebon, dan tersebar luas hingga ke Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Peranan dan Karya
Perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thariqat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah yang dipimpin oleh Syeikh Guru Bangkol juga merupakan bukti yang melengkapi pemberontakan petani Banten, bahwa perlawanan terhadap pemerintahan Belanda juga dipicu oleh keikutsertaan mereka pada perkumpulan Thariqoh yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini.

Thariqat Qadiriyyah wan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia, terutama dalam membantu membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan semata karena Syaikh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang dari Nusantara, tetapi bahwa para pengikut kedua Thariqat ini adalah para pejuang yang dengan gigih senantiasa mengobarkan perlawanan terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.

Ajarah Syeikh Ahmad Khatib Sambas hingga saat ini dapat dikenali dari karya Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tanggal tahun 1295 H. kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, dzikir, muqarobah dan silsilah Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah.

Buku inilah yang hingga saat ini masih dijadikan pegangan oleh para mursyid dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyah untuk melaksanakan prosesi-prosesi peribadahan khusus mereka. Dengan demikian maka tentu saja nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas selalu dikenang dan di panjatkan dalam setiap doa dan munajah para pengikut Thariqah ini.

Walaupun Syeikh Ahmad Khatib Sambas termasyhur sebagai seorang tokoh sufi, namun Beliau juga menghasilkan karya dalam bidang ilmu fikih yang berupa manusrkip risalah Jum’at. Naskah tulisan tangan ini dijumpai tahun 1986, bekas koleksi Haji Manshur yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Demikian menurut Wan Mohd. Shaghir Abdullah, seorang ulama penulis asal tanah Melayu. Kandungan manuskrip ini, membicarakan masalah seputar Jum’at, juga membahas mengenai hukum penyembelihan secara Islam.

Pada bagian akhir naskah manuskrip, terdapat pula suatu nasihat panjang, manuskrip ini ditutup dengan beberapa amalan wirid Beliau selain amalan Tariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

Karya lain (juga berupa manuskrip) membicarakan tentang fikih, mulai thaharah, sholat dan penyelenggaraan jenazah ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, pada 6 Syawal 1422 H/20 Disember 2001 M. karya ini berupa manuskrip tanpa tahun, hanya terdapat tahun penyalinan dinyatakan yang menyatakan disalin pada hari kamis, 11 Muharam 1281 H. oleh Haji Ahmad bin Penggawa Nashir.

Sedangkan mengenai masa hidupnya, sekurang-kurangnya terdapat dua buah kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh orang Arab, menceritakan kisah ulama-ulama Mekah, termasuk di dalamnya adalah nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab yang pertama, Siyar wa Tarajim, karya Umar Abdul Jabbar. Kitab kedua, Al-Mukhtashar min Kitab Nasyrin Naur waz Zahar, karya Abdullah Mirdad Abul Khair yang diringkaskan oleh Muhammad Sa'id al-'Amudi dan Ahmad Ali.

Umar Abdul Jabbar, menyebut bulan Safar 1217 H (kira-kira bersamaan 1802 M.) sebagai tanggal lahirnya demikian pun Muhammad Sa’id al-Mahmudi. Namun mengenai tahun wafatnya di Mekah, terdapat perbedaan. Abdullah Mirdad Abul Khair menyebut bahwa Syeikh Ahmad Khatib wafat tahun 1280 H. (kira-kira bersamaan 1863 M.), tetapi menurut Umar Abdul Jabbar, pada tahun 1289 H. (kira-kira bersamaan 1872 M.).

Tahun wafat 1280 H. yang disebut oleh Abdullah Mirdad Abul Khair sudah pasti ditolak, karena berdasarkan sebuah manuskrip Fathul Arifin salinan Haji Muhammad Sa'id bin Hasanuddin, Imam Singapura, menyebutkan bahwa Muhammad Sa'ad bin Muhammad Thasin al-Banjari mengambil tariqat (berbaiat) dari gurunya, Syeikh Ahmad Khatib sedang berada di Makkah menjalani khalwat. Manuskrip ini menyebutkan bahwa baiat ini terjadi pada hari Rabu ketujuh bulan Dzulhijjah, tahun 1286 H. Jadi berarti pada tanggal 7 Dzulhijah 1286 H. Syeikh Ahmad Khathib Sambas masih hidup. Oleh tanggal wafat Syeikh Ahmad Khatib Sambas, yang wafat tahun 1289 H. yang disebut oleh Umar Abdul Jabbar lebih mendekati kebenaran.
Wallahu A’lam Bisshowab (Syaifullah Amin)

SYEIKH ARSYAD AL-BANJARI

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) adalah ulama fiqih madzhab Syafi'i pengarang kitab Sabilal Muhtadin yang berasal dari kota Martapura di Tanah Banjar (Kesultanan Banjar), Kalimantan Selatan. Kitabnya yang paling terkenal ini banyak dijadikan rujukan Hukum Fiqih mazhab Syafi'i di Asia Tenggara.

Beliau dilahirkan di desa Lok Gabang pada hari kamis dini hari 15 Shafar 1122 H. bertepatan 19 Maret 1710 M sebagai anak pertama dari keluarga muslim yang taat beragama, yaitu Abdullah dan Siti Aminah. Nama lengkap Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah bin Abdur Rahman al-Banjari bin Saiyid Abu Bakar bin Saiyid Abdullah al-'Aidrus bin Saiyid Abu Bakar as-Sakran bin Saiyid Abdur Rahman as-Saqaf bin Saiyid Muhammad Maula ad-Dawilah al-'Aidrus, dan seterusnya sampai kepada Saidina Ali bin Abi Thalib dan Saidatina Fatimah bin Nabi Muhammad SAW.

Kakek Arsyad berhasil mendirikan Kerajaan Mindanao di Filiphina. Ayah Abdullah bernama Abu Bakar (kakek Muhammad Arsyad) adalah Sultan Mindanao. Abdullah pernah pula memimpin pasukan Mindanao dalam peperangan melawan Portugis, kemudian ikut melawan Belanda lalu pindah bersama isterinya ke Banjar (Martapura, Kalimantan).

Sekilas Kelebihan
Pada suatu hari, tatkala Sultan Kerajaan Banjar (Sultan Tahmidullah) mengadakan kunjungan ke kampung-kampung, hingga sampailah sang Sultan ke kampung Lok Gabang. Alangkah terkesimanya Sang Sultan manakala melihat lukisan yang indah dan menawan hatinya. Maka sang Sultan bertanya, siapakah pelukisnya, lalu ia mendapat jawaban bahwa Muhammad Arsyad adalah sang pelukis yang sedang dikaguminya. Mengetahui kecerdasan dan bakat sang pelukis, terbesitlah di hati sultan, sebuah keinginan untuk mengasuh dan mendidik Arsyad kecil di istana. Usia Arsyad sendiri ketika itu baru sekitar tujuh tahun.

Sultanpun mengutarakan keinginan hatinya kepada kedua orang tua Muhammad Arsyad. Pada mulanya Abdullah dan istrinya merasa enggan melepas anaknya tercinta. namun demi masa depan sang buah hati yang diharapkan menjadi anak yang berbakti kepada agama, negara dan orang tua, maka diterimalah tawaran sang sultan. Kepandaian Muhammad Arsyad dalam membawa diri, sifatnya yang rendah hati, kesederhanaan hidup serta keluhuran budi pekertinya menjadikan segenap warga istana sayang dan hormat kepadanya. Bahkan sultan pun memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Setelah dewasa beliau dinikahkan dengan seorang perempuan sholihah (yang juga) bernama Siti Aminah (Tuan "BAJUT"), seorang perempuan yang ta'at lagi berbakti pada suami sehingga terjalinlah hubungan saling pengertian dan hidup bahagia, seiring sejalan, seia sekata, bersama-sama meraih ridho Allah semata. Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya Siti Aminah mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian do'a mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada para ulama terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syekh 'Athoillah bin Ahmad al Mishry, al Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al Kurdi dan al-'Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani yang merupakan guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf. Di bawah bimbingan gurunya inilah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah dengan kedudukan sebagai khalifah.

Menurut riwayat dari Khalifah al-Sayyid Muhammad al-Samman, pada waktu itu Indonesia hanya ada empat orang khalifah, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (kalimantan), Syekh Abdulk Shomad al-Palembani (Palembang, Sumatera), Syekh Abdul Wahab Bugis (Sulawesi) dan Syekh Abdul Rahman Mesri (Betawi Jawa). Mereka berempat dikenal dengan "Empat Serangkai dari Tanah Jawi" yang sama-sama menuntut ilmu di al-Haramain al-Syarifain.

Muhammad Arsyad belajar di Mekah sekitar 30 tahun dan di Madinah sekitar lima tahun. Sahabatnya yang paling penting yang banyak disebut oleh hampir semua penulis ialah Syeikh `Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Abdur Rahman al-Mashri al-Batawi dan Syeikh Abdul Wahhab Bugis, yang terakhir ini kemudian menjadi menantunya.

Guru-gurunya
Di antara sekian banyak ulama yang menjadi gurunya, beberapa di antaranya sangat populer, yakni Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syeikh `Athaullah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Karim as-Sammani al-Madani.
Selain belajar kepada ulama-ulama Arab, bersama dengan kawan-kawan seangkatannya, Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga belajar kepada ulama-ulama yang berasal dari NUsantara. Di antara gurunya yang berasal dari Melayu ialah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Muhammad `Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani, dan lain-lain.
Selama belajar di Mekah Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tinggal di sebuah rumah yang dibeli oleh Sultan Banjar. Rumah tersebut terletak di kampung Samiyah yang disebut juga dengan Barhat Banjar.

Semua ilmu keislaman yang telah dipelajarinya di Mekah dan Madinah mempunyai sanad atau silsilah yang musalsal (bersambung kontinyu tanpa putus. Hal ini cukup jelas seperti yang ditulis oleh Syeikh Yasin Padang dalam beberapa karyanya.
Durasi masa belajar di Mekah dan Madinah yang demikian lama serta banyaknya jumlah pelajaran dan jenis kitab dipelajari, dan kapabilitas ulama tempatnya berguru menjadikan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari akhirnya menjadi seorang ulama besar tanah Jawi atau dunia Melayu (Nusantara).

Jasa-jasa bagi Bangsa
Setelah sekitar 35 tahun menuntut ilmu di tanah suci, timbullah kerinduannya pada kampung halaman. Pada Bulan Ramadhan 1186 H. bertepatan 1772 M., sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya kembali, Martapura pusat Kerajaan Banjar pada masa itu. Sultan Tamjidillah (Raja Banjar) menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyat pun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama "Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Nusantara.
Aktivitas Muhammad Arsyad sepulangnya dari Tanah Suci, dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga ia menjadi raja yang 'alim dan wara'.

Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama yang diakui kehebatannya oleh para ulama setelahnya. Tanda kebesaran jasanya ini selain berupa karya-karya tulisnya yang telah menjadi bagian integral dalam khasanah keilmuan Islam Nusantara juga dapat kita buktikan hingga saat ini melalui jalur irigasi yang dibangunnya bersama warga masyarakat Banjar untuk melancarkan dan meningkatkan produksi pertanian di tanah Banjar. Hingga saat ini manfaat saluran irigasi yang dibangun oleh sang syeikh masih dapat dirasakan oleh penduduk sekitar. Kini saluran irigasi tersebut diberi nama Sungai Datuk uantuk mengenang jasa-jasa beliau.

Dalam menyampaikan ilmunya Syekh Muhammad Arsyad mempunyai beberapa metode yang saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Metode-metode dakwah tersebut adalah :
Dakwah bilhal : Keteladanan yang baik (uswatun hasanah) yang direfleksikan dalam tingkah-laku, gerak-gerik dan tutur kata sehari-hari serta disaksikan secara langsung bersama murid-muridnya.

Dakwah billisan : mengadakan pengajaran dan pengajian yang bisa diikuti siapa saja, baik keluarga, kerabat, sahabat, handai taulan dan seluruh masyarajat secara umum.
Dakwah bilkitabah : menggunakan bakat di bidang tulis-menulis, sehingga lahirlah kitab-kitab yang menjadi pegangan umat.

Karya-karya
Semasa hidupnya, di tengah-tengah perjuangannya berdakwah, Syeikh Arsyad selalu menyempatkan diri untuk menggoreskan tinta demi kesinambungan tersampainya ilmu-ilmu pengetahuan kepada umat sepanjang generasi.

Adapun karya-karya Syeikh Arsyad yang sempat dicatat adalah :
1. Tuhfah al-Raghibin fi Bayani Haqiqah Iman al-Mu'minin wa ma Yufsiduhu Riddah al-Murtaddin, karya pertama, diselesaikan tahun 1188 H./1774 M.
2. Luqtah al-'Ajlan fi al-Haidhi wa al-Istihadhah wa an-Nifas an-Nis-yan, diselesaikan tahun 1192 H./1778 M.
3. Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquhi fi Amri ad-Din, diselesaikan pada hari Ahad, 27 Rabiulakhir 1195 H./1780 M.
4. Risalah Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar, diselesaikan pada hari Khamis 22 Rabiul Awal 1196 H./1781 M.
5. Kitab Bab an-Nikah.
6. Bidayah al-Mubtadi wa `Umdah al-Auladi
7. Kanzu al-Ma'rifah
8. Ushul ad-Din
9. Kitab al-Faraid
10. Kitab Ilmu Falak
11. Hasyiyah Fathul Wahhab
12. Mushhaf al-Quran al-Karim
13. Fathur Rahman
14. Arkanu Ta'lim al-Shibyan
15. Bulugh al-Maram
16. Fi Bayani Qadha' wa al-Qadar wa al-Waba'
17. Tuhfah al-Ahbab
18. Khuthbah Muthlaqah Pakai Makna.

Meninggalkan banyak sekali keturunan di berbagai belahan Nusantara. Putera-puteri yang ditinggalkan merupakan generasi lintas bangsa karena Syeikh Arsyad memiliki beberapa Istri lintas bangsa. Di antara keturunan-keturunan Beliau banyak sekali yang kemudian menjadi ulama-ulama besar di berbagai bangsa penghuni Nusantara sepereti Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam dan Pattani.
Setelah sekitar 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya di Pagar Dalam, pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H. (1812 M.) Allah SWT memanggil kembali Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari ke hadirat-Nya dalam usia 105 tahun. Karena dimakamkan di desa Kalampayan, Beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.

________________________________________

TENTANG HUKUM ROKOK

Sejak awal abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu, rokok dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak itulah sampai sekarang hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hukum rokok tidak dapat dihindari dan berakhir kontroversi. Itulah keragaman pendapat yang merupakan fatwa-fatwa yang selama ini telah banyak terbukukan. Sebagian di antara mereka menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram.

Kali ini dan di negeri ini yang masih dilanda krisis ekonomi, pembicaraan hukum rokok mencuat dan menghangat kembali. Pendapat yang bermunculan selama ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah terjadi, yakni tetap menjadi kontroversi.
Kontroversi Hukum Merokok

Seandainya muncul fatwa, bahwa korupsi itu hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian), maka semua orang akan sependapat termasuk koruptor itu sendiri. Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham. Dalam tinjauan fiqh terdapat beberapa kemungkinan pendapat dengan berbagai argumen yang bertolak belakang

Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai berikut:
Al-Qur'an :
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. البقرة: 195

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
As-Sunnah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. رواه ابن ماجه, الرقم: 2331

Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331)

Bertolak dari dua nash di atas, ulama' sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Beberapa pendapat itu serta argumennya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua ; hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.

Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara general, dalam arti mubah, makruh dan haram itu bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut berlaku secara personal, dengan pengertian setiap person akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, baik terkait kondisi personnya atau kwantitas yang dikonsumsinya. Tiga tingkatan hukum merokok tersebut, baik bersifat general maupun personal terangkum dalam paparan panjang 'Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) yang sepotong teksnya sebagai berikut:

لم يرد في التنباك حديث عنه ولا أثر عن أحد من السلف، ....... والذي يظهر أنه إن عرض له ما يحرمه بالنسبة لمن يضره في عقله أو بدنه فحرام، كما يحرم العسل على المحرور والطين لمن يضره، وقد يعرض له ما يبيحه بل يصيره مسنوناً، كما إذا استعمل للتداوي بقول ثقة أو تجربة نفسه بأنه دواء للعلة التي شرب لها، كالتداوي بالنجاسة غير صرف الخمر، وحيث خلا عن تلك العوارض فهو مكروه، إذ الخلاف القوي في الحرمة يفيد الكراهة

Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.

Senada dengan sepotong paparan di atas, apa yang telah diuraikan oleh Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) dengan sepenggal teks sebagai berikut:

إن التبغ ..... فحكم بعضهم بحله نظرا إلى أنه ليس مسكرا ولا من شأنه أن يسكر ونظرا إلى أنه ليس ضارا لكل من يتناوله, والأصل في مثله أن يكون حلالا ولكن تطرأ فيه الحرمة بالنسبة فقط لمن يضره ويتأثر به. .... وحكم بعض أخر بحرمته أوكراهته نظرا إلى ما عرف عنه من أنه يحدث ضعفا فى صحة شاربه يفقده شهوة الطعام ويعرض أجهزته الحيوية أو أكثرها للخلل والإضطراب.

Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.

Demikian pula apa yang telah dijelaskan oleh Prof Dr Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) dengan sepotong teks, sebagai berikut:
القهوة والدخان: سئل صاحب العباب الشافعي عن القهوة، فأجاب: للوسائل حكم المقاصد فإن قصدت للإعانة على قربة كانت قربة أو مباح فمباحة أو مكروه فمكروهة أو حرام فمحرمة وأيده بعض الحنابلة على هذا التفضيل. وقال الشيخ مرعي بن يوسف الحنبلي صاحب غاية المنتهى: ويتجه حل شرب الدخان والقهوة والأولى لكل ذي مروءة تركهما

Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.

Ulasan 'Illah (reason of law)
Sangat menarik bila tiga tingkatan hukum merokok sebagaimana di atas ditelusuri lebih cermat. Kiranya ada benang ruwet dan rumit yang dapat diurai dalam perbedaan pendapat yang terasa semakin sengit mengenai hukum merokok. Benang ruwet dan rumit itu adalah beberapa pandangan kontradiktif dalam menetapkan 'illah atau alasan hukum yang di antaranya akan diulas dalam beberapa bagian.

Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
Kedua; berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama' terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh.
Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada 'illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
Keempat; kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.
KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Puasa Arafah Didasarkan Wukuf atau Hari Arafah?

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari Arafah. Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan pemerintah setempat?

Kesunnahan puasa Arafah bukan didasarkan adanya wukuf, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia berbeda dengan di Saudi Arabia. Toleransi terhadap adanya perbedaan ini didasarkan atas hadits Sahabat Kuraib berikut ini:
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ اَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ كُرَيْبٍ: اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ: اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ

“Dari Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib, bahwa Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami,” (HR. Muslim)

Berdasarkan dalil di atas maka rukyatul hilal atau observasi bulan sabit untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku rukyat nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri dan berlaku satu wilayah hukum.

Di Indonesia, hasil penyelenggaraan rukyatul hilal, termasuk rukyat yang diadakan oleh Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) dilaporkan terlebih dahulu ke sidang itsbat (penetapan) yang dilakukan Departemen Agama RI, dengan tujuan agar keputusan itu berlaku bagi umat Islam di seluruh Indonesia.

Ketika para sahabat berhasil melihat hilal, tidak serta-merta mereka menetapkannya dan mengumumkan kepada masyarakat mendahului penetapan Rasulullah SAW. Hasil rukyat dilaporkan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya beliau sebagai Rasul Allah maupun sebagai kepala negara menetapkannya.

Itsbat adalah suatu terminologi fiqh untuk suatu penetapan negara tentang awal bulan Ramadlan, awal bulan Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah. Di Indonesia wewenang itsbat didelegasikan kepada Menteri Agama RI. Menurut fiqh, itsbat harus didasarkan dalil rajih, yakni rukyatul hilal. Dalam mengambil itsbat, Menteri Agama RI menyelenggarakan sidang itsbat pada hari telah diselenggarakan rukyatul hilal, dan dihadiri anggota Badan Hisab Rukyat (BHR), wakil-wakil Ormas Islam, pejabat-pejabat terkait, dan para duta dari negara-negara sahabat.

Menteri Agama RI dalam itsbatnya didasarkan atas dasar rukyatul hilal dan hisab. Itsbat yang dikeluarkan oleh Menteri Agama RI berlaku bagi seluruh ummat Islam di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali. Perbedaan yang mungkin terjadi harus sudah selesai ketika itsbat dikeluarkan, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan para sahabat. Setelah itsbat dilakukan baru diadakan ikhbar atau pengumuman awal bulan.

Dengan demikian penentuan awal bulan Qamariyah harus berdasarkan 4 aspek:

1. Aspek Syar’i, dalam bentuk pelaksanaan rukyatul hilal
2. Aspek Astronomis, dalam bentuk memperhatikan kriteria-kriteria imkanur rukyat tentang dzuhurul hilal (penampakan bulan sabit)
3. Aspek Geografis, dalam bentuk menerima rukyat nasional
4. Aspek Politis, yakni aspek intervensi negara dalam bentuk itsbat dalam kerangka wawasan NKRI dan mengatasi perbedaan

Perbedaan hasil rukyat di Indonesia dengan negara lain seperti Saudi Arabia tidaklah menjadi masalah, karena adanya perbedaan wilayah hukum (wilayatul hukmi), termasuk perbedaan dalam menentukan hari Arafah yang sedang kita bahas kali ini.

Adapun tentang keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبَلَةً وَصَوْمُ عَاشُوْرَاَء يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً

“Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)

KH A Ghazalie Masroeri
Ketua Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

ETIKA MENJAWAB SOAL

Oleh : Zul Fahmi

Bagi para du’at, para penceramah, dan orang-orang yang senantiasa bergelut dengan ilmu dien dan penyebaranya, mejawab sebuah pertanyaan adalah hal yang sering dilakukan baik dalam forum-forum yang formal maupun nonformal. Aktifitas bertanya dan menjawab soal bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan apa saja. Namun dalam hal ilmu agama (Islam), sekarang ini mungkin masih banyak orang yang belum memahami bahwa dalam hal menjawab sebuah pertanyaan, ada beberapa adab dan etika yang diajarkan oleh Islam sendiri yang telah dipraktekkan oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama’ yang setiap saat senantiasa bergelut dengan ilmu dan pertanyaan. Nampak dibeberapa majlis pengajian, seorang ustadz atau da’I, sering menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang bernuansa tipuan, tidak ilmiah dan sering tidak bisa menyelesaikan persoalan.
Dari hadits-hadits Rasulullah SAW juga kisah-kisah para sahabat dan para ulama’, maka ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam hal bagaimanakah etika dan adab-adab yang harus dilakukan seseorang ketika menjawab sebuah pertanyaan,
Menjawabnya Dengan Ilmu Yang Benar.

Orang tidak dibenarkan menjawab pertanyaan dengan kira-kira saja, tanpa memahami landasan-landasan kebenaranya. Apalagi jawaban-jawaban itu membutuhkan dalil-dalil atau dasar-dasar yang I’timad (kokoh). Jangan sampai seorang da’i berbicara tentang fikih, aqidah, tafsir sebuah ayat dan lain sebagainya, hanya dengan pendapat akal dan interpretasinya semata.
Allah Ta’ala berfirman,

“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS.Al-Isro’: 36)

Ibnu Abbas berkata tentang ayat ini bahwa, “wa laa taqfu” artinya adalah “janganlah kamu berkata tentang sesuatu (yang kamu tidak mengilmuinya)”. Sementara Ibnu Katsier mengatakan tentang ayat diatas, ”Sesungguhnya Allah melarang berkata tentang ilmu dengan prasangka saja”
Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang berkata tentang Al-qur’an dengan pendapatnya semata atau dengan apa yang ia tidak mengetahuinya, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”
Khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu berkata,” Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan menjadi pijakanku jika akau mengatakan sesuatu tentang kitab Allah yang aku tidak tahu tafsirnya.”
Said bin Jubair radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sungguh celaka orang yang mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya dengan ucapan aku tahu”
Sementara itu Abu Husain juga berkata, ”sungguh diantara kalian ini mudah berfatwa dalam satu urusan yang seandainya hal itu ditanyakan kepada Umar, ia akan mengumpulkan seluruh ahli badar untuk menjawabnya”
Demikianlah riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa dalam menjawab sebuah pertanyaan seseorang harus mengetahui dengan benar ilmunya, dan janganlah ia terburu-buru menjawabya sebelum betul-betul memahaminya. Janganlah orang terlalu berani mengeluarkan kata-kata dan fatwa tentang ilmu agama hanya dengan pendapat dan persangkaaanya saja.

Jangan Tamak Untuk Mendapatkan Dan Menjawab Pertanyaan.
Menjawab pertanyaan akan berujung pada dua kemungkinan, pertama salah dan kedua benar. Dan seseorang harus berhati-hati dan jangan tamak melakukanya, karena jika ternyata salah maka semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Apalagi hal itu dibarengi dengan ketidak hati-hatianya atau kecerobohanya.
Tamak dalam bertanya adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan, maka demikian pula tamak dalam menjawab pertanyaan juga tidak diperbolehkan. Dalam Al-qur’an, banyak ayat-ayat yang isinya Allah melarang orang bertanya, dengan hal-hal yang bila dijawab justru menyulitkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga pernah marah ketika didesak beberapa pertanyaan yang dirasa tidak ada manfaatnya. Para ulama’ juga tidak suka jika ada orang yang bertanya dengan hal-hal yang belum terjadi, atau dengan hal-hal yang memang belum saatnya untuk ditanyakan. Semua itu menunjukkan bahwa tamak dalam bertanya dilarang, begitu pula tamak dalam menjawab juga dilarang.
Dari Nafi’ dia menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya sebuah masalah kepada Ibnu Umar. Namun ia malah menundukkan kepalanya dan sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu. Orang-orang mengira bahwa beliau tidak mendengar pertanyaan tersebut. Kemudian laki-laki tersebut kembali berkata,”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. Apakah kamu tidak mendengar pertanyaanku?” Ibnu Umar menjawab, “ Aku mendengarnya akan tetapi kalian seakan-akan mengira bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban kepadaku atas pertanyaan yang kalian ajukan kepadaku. Oleh karena itu tinggalkanlah aku terlebih dahulu sampai kami bisa memahami pertanyaanmu. Jika aku menemukan jawabanya, maka akupun akan menyampaikan jawaban terebut. Akan tetapi jika tidak, maka akupun akan memberitahukan kepadamu bahwa aku tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu.”

Sahnun seorang ulama’ ahli fikih bermadzhab Maliki berkata bahwa para ulama’ terdahulu jika hendak mengucapkan sebuah kalimat ( dalam rangka menjawab pertanyaan), maka ia terlebih dulu akan mengatur niatnya dengan benar. Seandainya ucapanya itu sangat penting bagi banyak orang, maka ia akan ( berfikir) untuk menahan atau meneruskanya. Dia melakukan itu karena khawatir kalau niatnya berubah menjadi kesombongan. Namun apabila diam ia mulai merasa sombong, maka ia akan mulai bicara lagi. Ketika itu ia berkata,” Orang yang paling berani mengeluarkan fatwa, maka dia itu adalah orang yang paling sedikit ilmunya.”

Dalam sebuah riwayat juga dikisahkan,bahwa pernah pada suatu hari Imam malik radhiyallahu’anhu ditanya oleh seorang muridnya dengan empat puluh buah pertanyaan, namun dari empat puluh tersebut hanya lima yang dijawabnya sedangkan tiga puluh lima yang lainya dijawab dengan ucapan “saya tidak tahu”. Kalau difikir, tidak mungkin orang fakih seperti Imam Malik tidak tahu banyak persoalan? Maka yang terjadi sebenarnya adalah ,beliau tahu jawabanya tetapi tidak mau menjawab karena sangat berhati-hati dan tidak mau terjerumus pada kesalahan.

Maka dari itu, seandainya sekarang ini, di jaman yang sudah serba maju, berbagai kejadian dan persoalan juga semakin komplek, kalau ada orang yang sangat gampang menjawab pertanyaan, dan tidak pernah berkata saya tidak tahu terhadap seluruh pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka ialah orang yang telah bertindak ceroboh dan tidak mau berhati-hati mengantisipasi kesalahan.

Demikianlah para ulama’ dahulu, mereka tidak merasa haus menerima pertanyaan, dan tidak tamak untuk menjawab pertanyaan, namun mereka lebih senang menghindar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut agar terbebas dari tanggungjawab dan kesalahan. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Barang siapa yang selalu menjawab (berfatwa) terhadap setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka ia telah gila.”

Menjawab Dengan Bahasa Yang Sopan Dan Memahamkan
Dalam menjawab sebuah pertanyaan, kepada siapapun haruslah dengan cara-cara yang sopan, tawadlu’ serta menggunakan bahasa yang enak, santun dan tidak membingungkan. Jangan membeda-bedakan status dan kedudukan masing-masing penanya, semuanya harus sama-sama direspon dan diperhatikan. Tidak pandang miskin atau kaya, pejabat atau orang biasa, orang berkedudukan ataupun orang pinggiran, juga golonganya atau bukan. Bukankah Rasulullah SAW pernah ditegur oleh Allah SWT, karena lebih memperhatikan pertanyaan orang yang dianggap memiliki pengaruh bagi kaumnya daripada pertanyaan seorang tua yang dirasa tidak memiliki keistimewaan yang sama.
Banyak orang menganggap bahwa orang yang bertanya selalu dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan dan kebodohanya, padahal tidaklah demikian. Banyak orang yang bertanya, tujuanya hanya sekedar menguji pengetahuan orang yang ditanya, atau ingin mendalami pikiran dan mengetahui pendapatnya. Ada pula orang yang bertanya agar jawaban dari pertanyaan tersebut diketahui oleh orang banyak . Terhadap orang yang seperti ini janganlah sekali-kali meremehkan dan membodohkanya, atau menjawabnya dengan cara berpura-pura (mengilmuinya). Dan terkadang, menjawab dengan ucapan “saya tidak tahu” itu lebih terhormat daripada memaksa menjawab tetapi tidak memahami persoalan. Karena jika dipaksa seperti itu, maka harga dirilah yang akan menjadi korban. Lebih parah lagi kalau sebuah pertanyaan ditanggapi dengan kata-kata yang keras, serta emosi yang tak terkendali, tentu ini sangat tidak pantas dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang da’i.

Sementara itu bagi orang-oang yang memang ingin mendapatkan pengetahuan dan kejelasan, maka hendaklah dijawab dan dijelaskan dengan cara yang paling baik dan memahamkan. Jawaban itu tentu saja adalah jawaban yang ada landasan dalil dan nilai ilmiahnya, serta menggunakan metode dan bahasa yang sesuai dengan tingkat kecerdasan penanya.

Untuk memberikan jawaban yang baik dan benar, maka janganlah terbiasa menjawab sebuah pertanyaan dengan mengedepankan dogma dan doktrin, yang menonjolkan pribadi dan golongan sebagai barometer kebenaranya. Dan juga, jangan pula terlalu mendominasi jawaban dengan pendapat dan pikiran sendiri, dengan meninggalkan pendapat atau qoul-qoul para ulama’. Karena, ini adalah ilmu agama yang sermua orang harus jelas kemana ia meng-intisabkanya. Di samping itu umat tak akan pernah pandai dan berkembang pengetahuanya jika hanya disuguhi dengan dogma, tanpa mengetahui sumber-sumbernya(dalil-dalilnya) dengan manhaj dan herarki keilmuan yang menjadi kesepakatan para ulama’.
Membaca Istighfar

Allah dan Rasul-NYA telah mengajarkan bahwa setiap muslim yang telah selesai melaksanakan tugas dan amanatnya, maka diperintahkan untuk beristighfar terhadap Allah SWT, sebagai ekspresi sikaf tawadlu’nya dan juga penghapus dosa apabila secara tidak sengaja telah melakukan kesalahan-kesalahan di dalamnya. Dalam Al-qur’an surat Al-baqoroh ayat 58 Allah memerintahkan kepada Bani Israil yang diberi kemenangan memasuki palestina (al-Quds) untuk beristighfar kepada Allah SWT sebelum atau ketika memasukinya. Dalam surat An-Nashr, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin utnuk beristighfar ketika berhasil membuka kota Mekkah dan memasukinya.

Menjawab pertanyaan adalah sebuah amal amanah yang nampaknya sederhana, namun bisa berdampak besar jika keliru dalam menjawabnya. Karena jawaban akan dianggap sebagai pedoman ,dan tentu saja akan diamalkan. Apa salahnya jika sebuah amal yang mengandung resiko kesalahan, dilakukan dan ditutup dengan membaca istighfar.

SEGERALAH BERLARI MENUJU ALLAH

oleh : Zul Fahmi

Allah adalah dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia memberikan nikmat yang besar kepada seluruh hamba-NYA, kendati tidak sedikit dari para hamba tersebut selalu bermaksiat kepadaNYA. Allah masih tetap memberikan rezeki pada manusia, memberi kesehatan kepadanya, serta masih menyelamatkan hidupnya, ditengah-tengah kesibukan manusia tersebut menentang hukum-hukum Allah SWT.
Dan di antara sifat kasih sayang Allah terhadap hambaNYA tersebut adalah Allah selalu menyeru kepada manusia agar senantiasa bertaubat kepadaNYA karena dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukanya. Dia berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“ Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Semoga dengan taubat itu Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan akan memasukkan kamu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” ( QS. At-Tahrim : 8 )

Dalam ayat ini Allah menyeru manusia untuk bertaubat, karena dengan taubat itu ada alasan bagi Allah untuk menghapus dosa-dosa manusia, menyelamatkanya dari adzab neraka, serta memasukkanya ke dalam surga. Kalau manusia mau berfikir, sesungguhnya siapa yang butuh hidupnya selamat ? siapa yang butuh terbebas dari siksa neraka? dan siapa yang butuh masuk surga ? maka jawabanya adalah manusia. Allah SWT tidak pernah butuh kepada pujian dan bakti manusia, Allah juga tidak butuh ketaatan dan ketundukan manusia. Allah akan tetap agung nama dan sifatNYA, dan tetap suci serta mulya dzat-NYA tanpa ketaatan dari manusia. Keagungan serta kesucian Allah itu tidak akan pernah terpengaruh dan tidak akan pernah berkurang karena polah tingkah manusia.

Taubat adalah penyesalan manusia atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukanya. Dalam kitab “ Mukaffirotul Al-Dzunuub wa Muujibaatu Al-Jannah “ yang di tulis oleh Ibnu Daiba’ Asy-Syaibani dijelaskan bahwa Taubat itu harus memenuhi empat syarat, yaitu meninggalkan kemaksiatan yang telah dilakukan, menyesal telah melakukan maksiat tersebut, bera’azam untuk tidak mengulanginya dan yang keempat adalah minta penghalalan kepada orang yang telah dirampasnya apabila dosa itu berkaitan dengan perampasan hak-hak adami seperti menipu, mencuri, ghibah dan lain sebagainya. Itulah taubat dan syarat-syaratnya, dan begitu pula yang diterangkan oleh kitab-kitab akhlaq yang lain seperti “ Mukhtashor Minhajul Qosidin “ Ibnu Qudamah, “ Madarijus Salikin “ Ibnul Qoyyim Al-Jauziah, maupun ” Ihya’ Ulumuddin “ oleh Imam Abul Hamid Al-Ghozali.

Kemudian mengenai tingkatan orang bertaubat maka dalam hal ini ada tiga macam tingkatan. Seorang ulama zuhud Dzun Nun Al-Mishri rahimahullah mengatakan bahwa tingkatan taubat yang pertama adalah taubatnya orang awwam yakni taubat karena melakukan dosa dan pelanggaran, kedua adalah taubatnya orang khusus ( Khosh ) yaitu taubatnya seseorang karena lalai berdzikir dan beribadah kepada Allah, dan yang ketiga adalah taubatnya para Nabi dan Utusan, yakni taubat yang dilakukan oleh mereka para Nabi karena melihat penyimpangan-penyimpangan masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Sedangkan Abul Qosim Al-Qusyairi, beliau menyebutkan tiga macam tingkatan taubat, yang pertama adalah kata at-taubat itu sendiri yang menjadi sifatnya orang-orang mu’min, kedua adalah al-inabah yang menjadi sifatnya para auliya’ dan muqorrobin, kemudian yang ketiga adalah al-aubah yang menjadi sifatnya para Nabi dan Rasul.

Taubat sebagai sifatnya orang-orang mu’min adalah taubatnya orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, kemudian mereka merasa sakit karena perbuatan dosa tersebut, baik dengan merasakan kesusahan dalam hatinya maupun terkena musibah karena perbuatan dosa-dosanya, kemudian dia menyesal dan menyadari kesalahanya, lalu minta ampun kepada Allah SWT. Ini adalah tingkatan taubat yang paling rendah. Kemudia Inabah sebagai sifatnya para kekasih Allah dan orang-orang yang selalu mendekatkan diri kepada Allah, adalah taubat yang dilakukan bukan karena menyesal melakukan dosa tetapi karena lalai dalam beribadah kepada Allah SWT. Karena mereka para auliya’ dan muqorrobin tersebut adalah orang-orang yang telah mampu menjauhkan dirinya dari perbuatan dosa. Taubat tingkatan ini adalah seperti taubatnya Umar bin Khotthob ketika terlambat melakukan sholat ashar berjama’ah dengan mensedekahkan kebun miliknya, atau seperti taubatnya Ali Bin Abi Tholib karena terganggu sholatnya oleh burung yang bermain di dekat tempat sujudnya. Sedangkan Al-Aubah sebagai sifatnya para Nabi adalah taubat yang dilakukan bukan karena dosa dan kelalaian dalam beribadah tetapi karena melihat keadaan masyarakat dan kaumnya. Karena para Nabi tidak pernah melakukan dosa dan juga tidak pernah lalai beribadah kepada Allah. Mereka bertaubat karena merasa prihatin dan sakit atas kemaksiatan dan penyimpangan yang dilakukan kaumnya.

Demikanlah tingkatan-tingkatan taubat. Entah masuk derajat manapun taubat kita, tapi yang terpenting adalah bagaimana usaha kita untuk selalu bertaubat kepada Allah dan yakin bahwa pintu taubat senantiasa dibuka oleh Allah sampai hari qiyamat. Sesungguhnya seorang hamba yang tenggelam dalam kesalahan dan dosa tidak boleh berputus asa untuk mendapat rahmatNYA dan selalu berusaha keras kembali dalam ampunan-NYA. Allah mengecam orang yang berputus asa mendapat ampunan-NYA dan juga mengancam orang yang memutuskan harapan orang lain untuk mendapat ampunan-NYA. Bahkan Allah sangat senang apabila ada seorang hamba yang telah lama meninggalkan ketaatan kepadaNYA kemudian menyesal dan kembali bertaubat, melebihi senangnya seorang musafir yang kembali menemukan untanya setelah unta tersebut dan seluruh perbekalanya hilang ketika berjalan sendirian di padang sahara dan musafir tersebut telah putus asa mencarinya. Ini adalah penjelasan Rasulullah SAW yang disebutkan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.

Imam Muslim juga mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya Allah senantiasa membentangkan tangan-NYA di waktu malam untuk menerima taubatnnya orang-orang yang berbuat buruk di waktu siang. Dan Allah juga membentangkan tangan-NYA di waktu siang untuk menerima taubatnya orang-orang yang berbuat buruk di waktu malam. “

Imam At-Tirmidzi mengeluarkan sebuah hadits juga dari sahabat Anas Bin Malik : “ Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda , berfirman Allah Ta’ala, : Wahai anak Adam ! sesungguhnya jika engkau berdo’a kepada-KU dan berharap kepada-KU, maka pasti aku akan mengampuni dosa-dosamu dan Aku tidak menganggapnya lagi. Seandainya engkau datang kepada-KU dengan dosa setinggi langit kemudian engkau mohon ampun kepada-KU maka pasti aku akan mengampuninya. Wahai anak Adam seandainya engkau datang dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemui-KU dengan tidak menyekutukanKU dengan sesuatu pun, maka Aku akan datang dengan ampunan sepenuh bumi pula. “

Hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa Allah senantiasa menerima taubat para hambaNYA, maka janganlah manusia berputus asa darinya. Manusia adalah hamba Allah yang harus kembali kepada Allah setelah selama apapun berbuat dosa dan tidak mengindahkan hukum-hukumNYA. Mari segera berlari menuju ampunan Allah, menuju kasih sayang Allah dan keridhoan Allah. Sebagaiman seruan Allah sendiri dengan firman-NYA,


وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“ Bercepat-cepatlah kamu sekalian menuju ampunan dari Robbmu dan jannah seluas bumi dan langit yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Ali Imron : 133 )

( ZUL fAHMI )

SEJARAH IMAM SYAFI'I

Nama dan Nasab
Nama aslinya adalah Muhammad. Berikut ini nasab lengkap al-Syafi`i: Muhammad bin Idris bin al-`Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab al-Syafi`i bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan begitu, al-Syafi`i masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung keturunan paman-jauh al-Syafi`i , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Ayah al-Syafi`i, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’, kakek dari kakek al-Syafi`i , -yang namanya menjadi sumber penisbatan al-Syafi`i (al-Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (muda) Nabi. As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (tua) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadis bersepakat bahwa Imam al-Syafi`i berasal dari keturunan Arab murni. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan madzhab Maliki dan madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa Imam al-Syafi`i bukanlah asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja. Adapun ibu al-Syafi`i , terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki nama Ummu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya

al-Syafi`i dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa al-Syafi`i adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir). Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa al-Syafi`i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, al-Syafi`i dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, al-Syafi`i dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu

Di Mekkah, Imam al-Syafi`i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia baligh, al-Syafi`i telah berubah menjadi seorang guru

Setelah rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, al-Syafi`i kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan, al-Syafi`i tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Al-Syafi`i mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadis-hadis Nabi. Dan itu terjadi pada saat al-Syafi`i belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa al-Syafi`i telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum al-Syafi`i berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Al-Syafi`i juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Al-Syafi`i memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana al-Syafi`i telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka al-Syafi`i pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah al-Syafi`i melakukan pengembaraannya mencari ilmu.

Al-Syafi`i mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-’Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadis Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di Mekkah ini, al-Syafi`i mempelajari ilmu fiqih, hadis, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu al-Syafi`i juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.

Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah al-Syafi`i ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, al-Syafi`i membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Al-Syafi`i menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, al-Syafi`i juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.

Setelah kembali ke Mekkah, al-Syafi`i kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana al-Syafi`i mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah al-Syafi`i mendapat cobaan -satu hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah al-Syafi`i -. Di Yaman, nama al-Syafi`i menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun al-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.

Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, al-Syafi`i pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikit pun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’ (menjadi syi'ah), padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan al-Syafi`i kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadis-hadis shahih. Dan kecintaan al-Syafi`i itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.

Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Al-Syafi`i bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun al-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam al-Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, al-Syafi`i berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya al-Syafi`i meninggalkan majelis Harun al-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.

Di Baghdad, al-Syafi`i kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Al-Syafi`i meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu al-Syafi`i berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, al-Syafi`i kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama al-Syafi`i dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama al-Syafi`i makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam al-Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka al-Syafi`i pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.

Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, al-Syafi`i kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadis di sana. Al-Syafi`i mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadis merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika al-Syafi`i datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.

Al-Syafi`i menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 al-Syafi`i balik ke Mekkah. Di sana al-Syafi`i mulai menyebarkan madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi al-Syafi`i hanya berada setahun di Mekkah.

Tahun 198, al-Syafi`i berangkat lagi ke Irak. Namun, al-Syafi`i hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam (muktazilah), dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Al-Syafi`i tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam (mukatizalh) menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Al-Syafi`i tahu betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadis. Karena itulah al-Syafi`i menolak madzhab mereka.

Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah kepada para ulama ahlu hadis. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah (hari penuh bencana), ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam al-Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, al-Syafi`i mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana al-Syafi`i berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya al-Syafi`i menemui akhir kehidupannya di sana.

Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, al-Syafi`i dalam menetapkan suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai landasan dan sumber hukumnya. Al-Syafi`i selalu menyebutkan dalil-dalil dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari kalangan ahli kalam. Al-Syafi`i berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, al-Syafi`i mendapat gelar Nashir as-Sunnah.

Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan al-Syafi`i kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan manhaj al-Syafi`i dengan mereka. Al-Syafi`i berkata, “Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi al-Syafi’i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadis, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam al-Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya.” Al-Muzani berkata, “Merupakan madzhab Imam al-Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Al-Syafi`i melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.” Ketidaksukaan al-Syafi`i sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.

Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, al-Syafi`i menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya al-Syafi`i wafat karenanya. Al-Syafi`i wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Al-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam al-Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada al-Syafi`i , “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Al-Syafi`i menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”

Karangan-Karangannya
Sekalipun al-Syafi`i hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.

Sumber:
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal. 3-33
2. Siyar A’lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-’Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i.

26 Jul 2009

PERKEMBANGAN ILMU HADIS

Oleh. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
(Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)

Hampir semua kajian keislaman sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Karenanya, dalam sudut pandang ini secara praktis ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu Hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan ilmu musthalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas Hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi.

Suatu malam, misalnya, Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi saw telah menceraikan isteri-isterinya. Tentu saja Umar kaget mendengar berita itu. Kekagetan Umar bukan lantaran salah seorang dari isteri Nabi itu adalah puterinya sendiri, Hafshah. Kekagetan itu lebih disebabkan karena Umar merasa ada yang janggal dalam berita itu. Menurutnya, mungkinkah Nabi melakukan itu? Benar saja, berita itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Karena keesokan harinya ia mendapatkan kepastian bahwa berita itu tidak benar adanya, dengan mengklarifikasikan hal itu langsung kepada Nabi.
Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. Tentu saja akan berbeda ceritanya ketika Nabi telah wafat. Penelitian lebih khusus terhadap pembawa berita atau periwayat Hadis yang datang dari Nabi harus dilakukan. Rentang yang cukup jauh dengan sumber beritanya, yaitu Nabi itu sendiri, menyebabkan segala kemungkinan dapat saja terjadi.
Sepeninggal Nabi, kita menemukan suasana menarik terkait dengan penyebaran Hadis. Pada masa itu, sebagian sahabat dan pembesar tabi’in harus melakukan perjalanan ke beberapa kota untuk hanya memperoleh satu Hadis saja. Metode pembukuan Hadis yang belum juga populer dan penyebaran Hadis masih tetap dilakukan melalui medium oral menyebabkan hal ini harus terjadi.
Ada beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar âdil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan) apapun selain al-Qur’an.
Meski demikian, kritik Hadis sebagai upaya untuk mencari suatu Hadis yang benar-benar otentik berasal dari Nabi, pada masa-masa itu sudah mulai banyak dilakukan dan lebih digalakkan. Kritik Hadis bahkan dirasa lebih diperlukan kala itu, karena Nabi tidak lagi berada di tengah-tengah mereka. Karenanya, apapun yang disandarkan pada Nabi harus diteliti, sejauh mana hal itu benar-benar otentik berasal dari Nabi.
Lebih-lebih, seperti dituturkan Muhammad bin Sirin (w. 110 H), setelah terjadi al-fitnah al-kubra al-ula (perpecahan pertama dalam tubuh umat Islam menyusul wafatnya Usman bin Affan, 36 H). Ketika itu, setiap ada suatu Hadis disampaikan, pasti akan ditanyakan dari siapakah Hadis itu diperoleh? Apabila Hadis itu diperoleh dari penyebar bid’ah, maka Hadis itu akan tegas-tegas ditolak. Sebaliknya, jika Hadis itu diterima dari kalangan Ahlus-Sunnah, Hadis itu akan diterima untuk dijadikan hujjah (dasar hukum).
Setelah kurun seratus tahun Hijriah pertama, periwayat-periwayat Hadis didominasi oleh perawi sahabat dan tabi’in senior (al-tabi’i al-kabir), yang tentu saja masih dapat diandalkan ketsiqahanya. Mereka juga dikenal ketat dalam menerima dan menyampaikan periwayatan. Sekiranya ada kesalahan, tentu hanya kesalahan yang sangat kecil sekali. Kesalahan-kesalahan kecil itu rupanya juga menarik sejawat mereka sebagai sesama periwat Hadis untuk memberikan catatan kritis terhadap Hadis dimaksud. Kalangan sahabat yang dikenal sebagai kritikus terhadap kevalidan suatu Hadis kala itu, antara lain, Ibnu Abbas, Ubadah bin Shamit, Anas bin Malik, dan Aisyah. Sedang dari kalangan tabi’in, sebut misalnya, al-Sya’bi, Ibn al-Musayyab, Ibnu Sirin, dan yang lainnya.
Jika pada masa ini, kritik hanya berpusat pada satu dua orang yang memang bermasalah, karena saat itu masih sedikit sekali bisa ditemui perawi-perawi dhai’f (al-dhu’afa’). Berbeda dengan pada awal-awal seratus tahun kedua, masa tabi’in-tabi’in pertengahan (awasith al-tabi’in), di mana banyak ditemukan perawi yang meriwayatkan Hadis mursal, Hadis munqathi’, dan perawi yang sering melakukan kesalahan.
Pada masa tabi’in-tabi’in yunior (shighar al-tabi’in), permasalahan justru semakin komplek. Munculnya faksi-faksi politik, aliran-aliran keagaman, fanatisme, persinggungan dengan budaya-budaya non Arab, dan banyaknya orang-orang yang berdusta demi kepentingan golongannya, menyebabkan semakin meruyaknya Hadis-hadis yang diidentifikasi sebagai bukan berasal dari Nabi. Hal ini mendorong para ulama yang ahli dalam jarh dan ta’dil untuk memperluas obyek kajian, melakukan ijtihad dalam meneliti para periwayat Hadis, dan kritik terhadap sanad-sanad yang berkembang di masyarakat. Tampil di garda depan dalam memimpin gerakan ini, antara lain, Syu’bah, Malik, Hisyam, Ma’mar, Dastawa’i, Ibn al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Yahya bin Sa’id al-Qattan. Sedang pada seratus tahun ketiga, gerakan ini didominasi oleh angkatan Ahmad bin Hanbal beserta murid-muridnya, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.

Perkembangan Ilmu Hadis Pada Masa Al-Syafi’i
Ilmu Hadis mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada awal-awal abad ke-3 Hijriah. Sayangnya, perkembangan itu masih berkutat pada upaya untuk mengetahui Hadis yang bisa diterima (al-maqbul) dan Hadis yang tertolak (al-mardud). Karenanya, pembahasan seputar periwayat (al-rawi) dan Hadis yang diriwayatkan (al-marwi) selalu diacu berdasarkan sudut pandang itu. Perkembangan ini berupa pembukuan, yang sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan yang terjadi pada pembukuan matan Hadis, yang merupakan proyek Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Pada masa ini ditemukan beberapa karya yang memberikan penilaian terhadap suatu Hadis, komentar seputar cacat dalam Hadis (illat), dan kritik terhadap beberapa periwayat Hadis. Dalam karya-karya itu juga diapresiasi mengenai beberapa komentar ulama mengenai isnad (sistem transmisi), inovasi-inovasi ulama terkait dengan permasalahan matan dan sanad, mengumpulkan kembali diskusi dan perdebatan yang berlangsung di kalangan ulama.
Ketika terjadi perkembangan seputar karakteristik dan moralitas para periwayat Hadis yang berhubungan langsung dengan permasalahan jarh dan ta’dil, pembahasan menjadi semakin meluas yang berujung pada pemilihan antara Hadis yang “sehat” (shahih) dan yang “sakit” (saqim).
Banyak sekali karya-karya yang ditulis mengenai beberapa obyek kajian dalam ilmu Hadis. Mengenai kondisi isnad dan periwayat-periwayat Hadis (rijal), misalnya, ditulis beberapa karya mengenai sejarah rawi, peringkat rawi (al-thabaqat), tanggal wafat rawi (al-wafayat), mengenal periwayatan tunggal, mengenal periwayatan rawi senior dari rawi yunior, dan kelompok rawi-rawi mudallis yang rajin berdusta. Sedang mengenai kondisi suatu Hadis, telah ditulis beberapa karya mengenai cacat dalam Hadis, ungkapan-ungkapan peringkatan Hadis yang diterima dan yang tertolak, dan interpretasi mengenai istilah-istilah teknis jarh dan ta’dil yang disampaikan para ahli Hadis. Bahkan jumlah obyek kajian yang merupakan cabang dari disiplin ilmu Hadis ini cukup fantastis. Menurut Ibn al-Mulaqqin, jumlahnya mencapai lebih dari dua ratus obyek kajian.
Sayangnya, tidak ada satu kitab pun yang membahas secara menyeluruh dan komprehensif terhadap obyek-obyek kajian ilmu Hadis yang ada. Hampir seluruh karya yang ditulis masa itu, hanya menyoroti satu obyek kajian saja, atau kalau tidak kitab itu akan bercampur dengan pembahasan dalam disiplin ilmu yang lain. Di antara karya-karya yang ada saat itu, karya al-Syafi’i, al-Risalah, diklaim sebagai karya paling otentik dalam ilmu Hadis. Klaim ini disampaikan oleh Ahmad Syakir, editor kitab al-Risalah, yang menyatakan bahwa kitab al-Risalah merupakan kitab pertama yang ditulis dalam disiplin ilmu Hadis.
Meski klaim ini banyak menuai kritik dari para ahli, karena nyatanya buku ini tidak tertulis sebagai suatu kitab yang memuat disiplin ilmu yang terpisah dan mandiri, namun sesungguhnya klaim itu cukup mendasar, bila dilihat dari keotentikan buku al-Syafi’i itu sebagai buku pertama yang mengulas ilmu Hadis sebagai sebuah disiplin ilmu. Dan kitab al-Syafi’i tersebut walaupun membahas sebagian kecil tentang ilmu Hadis dan pembahasannya bercampur dengan pembahasan ilmu ushul fikih, namun karya ini memang memberi warna baru dalam kancah ilmu Hadis konvensional yang saat itu masih disampaikan secara oral.
Selain al-Risalah, karya al-Syafi’i lainnya yang juga memberikan perhatian terhadap ilmu Hadis adalah kitab al-Umm. Tak beda dengan al-Risalah, kitab al-Umm juga bercampur kajiannya dengan disiplin lainnya, seperti ilmu fikih dan ushul fikih. Ciri lain yang juga terdapat dalam kedua karya ini adalah bahwa ilmu Hadis baru dibahas sebatas kesesuaian dan keterkaitan antara ilmu Hadis dengan ilmu lain yang kebetulan dikaji secara bersamaan dalam kedua kitab itu. Dalam kitab al-Risalah, misalnya, kita hanya mendapati pembahasan kecil tentang pengertian Hadis secara umum dan secuil pembahasan tentang Hadis ahad. Lain itu, kita akan mendapati banyak pembahasan seputar permasalahan-permasalahan dalam ilmu ushul fikih.
Dari pemotretan di atas, secara umum yang menjadi ciri khas kajian ilmu Hadis pada abad-abad awal, khususnya masa al-Syafi’i, (1) ilmu Hadis dijadikan sebagai alat untuk memilah antara Hadis yang shahih dengan yang saqim; (2) ilmu Hadis merupakan alat Bantu dalam memahami Hadis; dan (3) menkanter serangan yang dilancarkan kalangan munkir al-sunnah, meskipun pada masa-masa ini belum cukup populer.

Pembukuan Ilmu Hadis
Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing disiplin ilmu telah terpisah dan mandiri dari disiplin-disiplin ilmu lainnya. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Ilmu Hadis telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan. Perkembangan ini terjadi akibat semakin marak lahirnya disiplin-disiplin ilmu baru dan persinggungan budaya dengan bangsa lain yang kian mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri.
Dalam disiplin ilmu Hadis, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya al-Qadli Abu Muhammad bin al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khalan bin al-Ramahurmuzi (w. 360 H), Al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i, yang memuat beberapa cabang penting dari ilmu Hadis. Namun upayanya itu belum maksimal, karena masih banyak cabang penting lainnya dalam ilmu Hadis yang belum diapresiasi dalam karya itu. Meski demikian, al-Ramahurmuzi diakui sebagai orang pertama yang menyusun kitab ilmu Hadis dengan ketercakupan pembahasan yang cukup memadai. Dan karyanya itu memang sebuah terobosan baru dalam duni ilmu Hadis dan paling menonjol di antara karya-karya yang ada pada masanya.
Datang setelah al-Ramahurmuzi adalah al-Hakim Abu Abd Allah al-Naisaburi (w. 405 H). Ia melanjutkan babat alas yang dirintis oleh al-Ramahurmuzi dengan menuliskan karyanya yang diberinya judul Ma’rifat Ulumul al-Hadis, yang berupaya melengkapi kajian yang terlupakan al-Ramahurmuzi. Namun, seperti dituturkan al-Suyuti dalam Tadrib al-Rawi, kitab al-Hakim itu tidak teratur dan belum sistematis. Ibnu Hajar juga menyampaikan penilaian yang serupa terhadap karya ini. Bahkan oleh Ibnu Hajar karya ini masih dianggap belum lengkap. Padahal kitab ini telah memuat 50 cabang dalam ilmu Hadis. Belakangan kitab ini dirangkum oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dengan judul Taujih al-Nadzar.
Kitab al-Hakim ini juga menarik perhatian Ahmad bin Abd Allah al-Ashfahani (w. 430 H), yang kemudian menulis kitab yang diberinya judul Al-Mustakhraj ala Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kitab ini juga masih menyisakan banyak pembahasan bagi orang setelahnya untuk membuat karya yang lebih lengkap dan sempurna.
Beberapa tahun setelah itu, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menulis beberapa kitab yang mempunyai andil besar dalam laju perkembangan ilmu Hadis, sehingga, menurut Ibnu Nuqthat, mereka yang hidup setelah al-Khatib mutlak memerlukan karya-karya al-Khatib sebagai rujukan. Karena ketercakupan pembahasanya yang dilakukan secara luas dan mendalam. Dari karya-karya al-Khatib itu ada beberapa yang memang ditulis secara tersendiri dalam satu kitab khusus yang mencapai sekitar 50-an kitab. Sebagian yang lain ditulis dalam pembahasan yang utuh, sebut saja misalnya Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan Al-Jami’ baina Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.
Kemudian al-Qadli Iyadh al-Yahshubi (w. 544 H) juga melakukan hal yang sama. Ia menulis kitab dengan nama Al-Imla’ fi Dhabth al-Riwayah wa Taqyid al-Sama’. Menyusul berikutnya Abu Hafsh Umar bin Abd al-Majid al-Miyanji (w. 580 H). Ia menulis satu juz yang membahas cukup baik pembahasan-pembahasan ilmu Hadis dalam kitab yang diberinya judul Ma La Yasa’ al-Muhaddis Jahluhu.

Gaung Bernama Muqaddimah Ibn al-Shalah
Pola kajian Hadis yang ada mulai al-Ramahurzi sampai al-Miyanzi tampaknya tak jauh berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada masa-masa awal. Dalam bahasa yang sederhana dapat digambarkan bahwa grafiknya masih datar, tidak ada peningkatan juga tidak terjadi penurunan. Sorotan kajiannya masih berkutat pada bagaimana memahami suatu Hadis, memilah mana Hadis yang shahih dan mana yang saqim, dan mulai ada sedikit perbincangan mengenai munkir al-sunnah.
Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah. Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya.
Secara metodologis juga materi pembahasan, karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu pada kitab ini. Popularitas kitab ini disebabkan karena ketercakupan bahasannya yang mampu mengapresiasi semua pembahasan ilmu Hadis. Bahkan keunggulan kitab ini telah menarik para ulama, khususnya yang datang sesudahnya, untuk memberikan komentar kitab tersebut. Tidak kurang dari 33 kitab telah membahas kitab Ibnu al-Shalah itu, baik berupa ikhtishar (ringkasan), syarh (ulasan), nazhm (puisi, syair), dan mu’radhah (perbandingan).
Dalam bentuk ulasan (syarh), muncul beberapa kitab yang sangat detail memberikan ulasannya. Misalnya Al-Taqyid wa al-Idhah lima Athlaqa wa Aghlaqa min Kitab Ibn al-Shalah karya al-Iraqi (w. 608 H), Al-Ifshah an Nuqat Ibn al-Shalah karya al-Asqalani (w. 852 H), dan karya al-Badar al-Zarkasyi (w. 794 H) yang belum diketahui judulnya. Sedang dalam bentuk ringkasan (ikhtisar), antara lain memunculkan kitab Mahasin al-Ishthilah wa Tadlmin Kitab Ibn al-Shalah karya al-Bulqini. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan.
Masih dalam bentuk ringkasan, muncul kitab Al-Irsyad yang kemudian diringkas lagi oleh penulisnya sendiri, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan judul Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir. Anehnya, kitab yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian diberikan syarh oleh al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab yang diberinya judul Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Suyuti juga menulis kitab Al-Tadznib fi al-Zaid ala al-Taqrib yang menambal di sana-sini kekurangan kitab al-Nawawi.
Ringkasan terhadap karya Ibn al-Shalah terus saja dilakukan para ahli Hadis. Badr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah al-Kannani (w. 733 H), misalnya, menulis kitab Al-Minhal al-Rawi fi al-Hadis al-Nabawi, yang kemudian diberikan syarh oleh Izz al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Jama’ah dengan judul Al-Manhaj al-Sawi fi Syarh al-Minhal al-Rawi. Abu al-Fida’ Imad al-Din Ismail bin Katsir (w. 774 H) juga tidak ketinggalan. Ia menulis ikhtisar terhadap karya Ibn al-Shalah itu ke dalam satu kitab yang diberinya judul Al-Ba’is al-Hasis. Upaya serupa juga dilakukan oleh Ala’ al-Din al-Mardini, Baha’ al-Din al-Andalusi, dan beberapa ualama lainnya.
Selain dalam bentuk syarh dan ikhtisar, karya Ibn al-Shalah ini juga mendorong para ulama untuk menuliskan bait-bait syair yang berisi kaidah-kaidah pokok ilmu Hadis sesuai yang tercantum dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalah. Upaya ini dikenal dengan nama nazham yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh al-Zain al-Iraqi Abd al-Rahim bin al-Husain (806 H). Bahkan ia menulis hingga seribu-an (alfiyah) bait-bait itu dalam Nazhm al-Durar fi Ilm al-Atsar yang lebih mashur dengan julukan Alfiyah al-Iraqi.
Entah mengapa al-Iraqi kemudian juga memberikan syarh terhadap bait-baitnya sendiri. Ada dua syarh yang ditulis oleh al-Iraqi. Syarh yang ringkas dan yang panjang lebar. Syarh yang ringkas diberinya judul Fath al-Mughis bi Syarh Alfiyah al-Hadis, sedang yang panjang belum diketahui judulnya. Di samping itu, bait-bait yang diciptakan al-Iraqi itu juga memacu para ulama untuk memberikan syarh terhadap syair gubahan al-Iraqi itu. Ada banyak ahli Hadis yang menulis sebuah karya khusus mengomentari bait-bait itu, seakan tak henti-hentinya menguras energi ide para ulama. Di antara sekian banyak karya itu, karya al-Sakhawi yang diberi judul sama dengan syarh yang ditulis al-Iraqi, Fath al-Mughis fi Syarh Alfiyah al-Hadis, merupakan karya yang paling cukup dikenal.
Mungkin melihat popularitas Alfiyah al-Iraqi yang sedimikian hebat, al-Suyuti—ulama yang dikenal rival ilmiah al-Sakhawi—lalu menulis kitab alfiyah tentang ilmu Hadis yang berisi beberapa tambahan penjelasan penting terhadap materi dalam Alfiyah al-Iraqi. Al-Suyuti juga memberikan syarh sendiri terhadap bait-bait yang dibuatnya itu. Namun, syarh yang diberinya judul Al-Bahr al-Ladzi Zakhar fi Syarh Alfiyah al-Atsar, tak selesai ia rampungan secara keseluruhan. Belakangan hari, karya itu dilengkapi oleh ulama Indonesia asli, Syekh Mahfuz al-Tirmasi. Ulama kelahiran Tremas, dekat Ngawi, menulis sebuah syarh yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar fi Syarh Mandhumat Ilm al-Atsar, yang hingga kini masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah.
Pendeknya, karya-karya yang mengapresiasi Muqaddimah Ibn al-Shalah itu tak pernah berhenti mengalir dari pena-pena ulama-ulama ahli Hadis. Memang Muqaddimah Ibn al-Shalah mempunyai pesona yang luar biasa, sehingga tidak mungkin semua karya itu dapat dituliskan di sini satu persatu. Pendeknya, energi karya-karya yang ditulis dalam ilmu Hadis selalu merupakan apresiasi atas karya Ibn al-Shalah itu. Memang gaung Muqaddimah Ibn al-Shalah begitu luar biasa dahsatnya.

Orientalis dan Ilmu Hadis
Sejak masa yang sangat dini, seperti telah diungkap di muka, para ulama telah melakukan apa yang disebut “Kritik Hadis”, yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Bahkan upaya itu telah dilakukan, ketika Nabi masih hidup. Hanya saja, kritik Hadis yang mereka lakukan pada masa Nabi maupun masa sahabat terbatas pada kritik matan Hadis. Masalahnya karena pada saat itu faktor dusta tidak dikenal dalam perilaku hidup keseharian mereka.
Baru sesudah terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 36 H, menyusul munculnya faksi-faksi politik dalam tubuh umat Islam, para ulama di samping tetap melakukan kritik matan Hadis, juga mulai memberlakukan kritik rawi Hadis di mana seorang rawi sebagai pembawa atau periwayat Hadis perlu diketahui identitasnya, apakah dia termasuk orang yang taat beragama dan jujur yang kemudian dikenal dengan istilah âdil, apakah dia kuat ingatannya dan tidak pelupa, yang kemudian dikenal dengan isitlah dhâbit, dan lain-lain.
Maka kriteria-kriteria otentisitas Hadis kemudian dirumuskan oleh para ulama generasi sesudah mereka, bahwa Hadis dinyatakan sebagai shahih (otentik) apabila ia memenuhi empat syarat. Yaitu, ia diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai pada Nabi. Sanad ini terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya, sementara materi Hadis itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan Hadis lain yang diriwayatkan dengan sanad yag lebih unggul kualitasnya, dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan.
Persyaratan otentisitas Hadis seperti itu telah diterapkan oleh para ulama, khususnya ahli-ahli Hadis, dalam menyeleksi dan mengkritik Hadis, sejak abad pertama hijriah sampai kira-kira abad ke-13 hijriah tanpa ada seorang pun yang mempersoalkan. Dan baru pada tahun 1890 M, dunia penelitian Hadis dikejutkan dengan munculnya metoda ‘baru’ dalam kritik Hadis, yaitu setelah terbitnya buku Muhammadenishe Studien (Studi Islam) yang ditulis oleh Ignas Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, di mana ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas Hadis seperti tersebut di atas. Dan sejak saat itu sampai kini, buku Goldziher ini menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Ignaz Goldziher adalah sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian tentang Hadis. Kemudian, kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher tersebut, Joseph Schact–yang juga orientalis Yahudi—menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis, dalam sebuah buku berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak saat itu 1950 H, buku J. Schact juga menjadi “kitab suci” kedua di kalangan orientalis.
Di banding I. Golziher, J. Schact memiliki “keunggulan”, karena Schact sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun Hadis yang otentik berasal dari Nabi saw, khusunya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schact ini memperoleh reputasi yang luar biasa. Tak kurang dari Prof. Gibb mengatakan bahwa buku Schact ini kelak akan menjadi rujukan pokok bagi semua kajian tentang Peradaban dan Hukum Islam, paling tidak di dunia Barat. Bahkan Prof. Anderson dari Universitas London melarang mahasiswanya mengkritik buku Schact itu.
Meski demikian tidak semua kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis bisa dikatakan otentik, memenuhi standar ilmiah dan nilai akademis. Setelah terbitnya dua buku itu, kalangan orientalis juga mengalami kevakuman selama tiga perempat abad. Mereka dalam kurun waktu itu tidak pernah menerbitkan buku, kecuali hanya menerbitkan beberapa makalah. Kajian tentang Hadis, misalnya, hanya bisa dilihat dalam sebuah buku yang ditulis A. Guillaume berjudul The Traditions of Islam (Hadis-hadis Islam). Itupun oleh Azami dianggap sebagai sebuah karya yang menjiplak teori Goldziher. Karena ia sama sekali tidak menyuguhkan sesuatu yang baru dalam penelitian Hadis. Karenanya, menurut Azami, buku Guillame ini tidak memiliki nilai ilmiah. Hal serupa juga dapat didapati pada karya Prof. Robson, yang telah menerjemahkan kitab Misykah al-Mashabih dan al-Madkhal karya al-Hakim, di mana ia semula diharapkan dapat merivisi pendapat Goldziher dan Schact. Namun ternyata ia juga terkecoh oleh teori-teori Schact.
Bagaimanapun juga, ternyata pemikiran-pemikiran kalangan orientalis, terutama Ignaz Goldziher, berpengaruh sangat luas. Bukan hanya di kalangan orientalis saja, melainkan juga di kalangan pemikir Muslim. Sebut saja misalnya, Ahmad Amin, seorang pemikir kenamaan dari Mesir. Ia, dalam bukunya Fajr al-Islam, banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam mengkritik Hadis. Begitu pula seorang yang bernama Mahmud Abu Rayah, juga berasal dari Mesir, dalam bukunya Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah. Ia juga banyak mengikuti metoda-metoda Goldziher. Bahkan Abu Rayah lebih sadis dalam membantai ahli-ahli Hadis dibanding Ahmad Amin.
Dan yang tidak kalah menariknya adalah seorang ulama kontemporer, Syeikh Muhammad al-Ghazali. Baik dalam bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, maupun dalam diskusi-diskusi yang diadakan di Cairo dan lain-lain, beliau banyak melakukan kritik Hadis dengan prinsip-prinsip yang juga dipakai oleh kalangan orientalis, meskipun tidak dapat dikatakan beliau terkecoh seratus persen dengan teori-teori orientalis.
Padahal, sekiranya bila dikaji lebih mendalam mengenai apa yang telah dilakukan oleh kalangan orientalis, akan didapat bahwa sebagian mereka ternyata mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah dan kenyataan sejarah. Goldziher sendiri misalnya, menuduh al-Zuhri memalsu Hadis untuk kepentingan Abd al-Malik bin Marwan yang beroposisi dengan Ibn al-Zubair. Kenyataannya, al-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abd al-Malik kecuali sesudah tujuh tahun setelah wafatnya Ibn al-Zubair.
Goldziher juga merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma’rifah), yaitu “al-ahadits”. Ini tampaknya bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. Pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis Hadis yang belum pernah ada saat itu.
Plintiran-plintiran seperti ini mengakibatkan Goldziher dapat dengan mudah melakukan apa saja yang ia mau untuk mendukung teori dan tujuan yang hendak dicapainya. Sehingga dalam teorinya dapat ditemukan ucapan Goldziher yang mengatakan, “Bagian terbesar dari Hadis tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun social. Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa Hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini, melainkan adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. Ini pula yang mengakibatkan Schact mengatakan, “Bagian terbesar dari sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijrah”.

Era Baru Kajian Hadis di Timur Tengah
Sampai akhir abad ke-19, bisa dikatakan hampir semua karya yang ditulis dalam ilmu Hadis dipengaruhi oleh tiga ulama ini. Al-Syafi’i, al-Khatib, dan Ibn al-Shalah. Begitu juga corak kajian yang mewarnai masing-masing karya itu sangat kental sekali nuansa ketiga tokoh itu. Karena memang ketiga tokoh itu yang paling besar jasanya dalam meletakkan pondasi-pondasi cabang-cabag pembahasan ilmu Hadis. Tidak heran jika dikatakan bahwa semua ahli Hadis, khususnya yang datang setelah tiga ulama itu, berhutang cukup besar kepada ketiganya.
Namun demikian, pola kajian ilmu Hadis dengan bahasa yang sedikit ekstrem bisa dikatakan “monoton” dengan grafik datar apa adanya, meskipun ada beberapa kemajuan penting setelah munculnya Ibn al-Shalah. Perkembangan yang sama sekali baru terjadi dimulai pada awal-awal abad ke-20, setelah maraknya kajian kalangan orientalis yang menyerang secara sporadis tata bangun ilmu Hadis yang telah dibangun oleh pendahulu ulama-ulama ahli Hadis. Mereka yang mengkaji Hadis bukan untuk mencari kebenaran-kebenaran ajaran yang terkandung di dalamnya, melainkan dalam rangka mencari bukti-bukti bahwa apa yang disebut Hadis oleh kaum muslimin tidak ada kaitannya dengan Nabi Muhammad saw. Dan ketika bukti-bukti itu tidak ditemukan, karena memang tidak ada, mereka kemudian membuat argumen-arguemn palsu untuk mendukung tujuannya.
Namun kiranya Allah tidak membiarkan hal itu terjadi. Disiapkan-Nya para ulama untuk merontokkan argumen-argumen kalangan orientalis, utamanya dua dedengkot itu. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami juluki sebagai “Pendekar dari India”, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama Goldziher dan Schact.
Apabila al-Siba’i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis, maka Azami dalam buku yang awalnya merupakan disertasinya di Universitas Cambridge, telah membabat habis semua pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis. Azami adalah sosok cendikiawan Muslim ideal, karena meskipun belajar di bawah asuhan Barat, namun beliau tidak menjadi terompet yang meneriakkan pikiran-pikiran orientalis di kalangan masyarakat Islam. Justru sebaliknya, beliau ibarat bumerang yang menghantam posisi mereka.
Wajar apabila dunia Islam mengakui keunggulan Azami dengan karyanya. Maka dianugerahkanlah Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu.

Corak Utama Kajian Hadis Kontemporer
Tak urung, langkah yang telah dirintis oleh ketiga ahli ini membuat warna atmosfir dunia kajian Hadis—terutama di Timur Tengah—menjadi lebih segar. Kalau sebelumnya kajian Hadis masih sangat konvensional, setelah tiga orang ini dalam buku-buku, kitab-kitab, kajian-kajian, dan diskusi-diskusi ilmu Hadis selalu membahas tentang materi tambahan berupa sanggahan dan bantahan terhadap serangan-serangan seporadis kalangan orientalis. Kalaupun ada beberapa karya tidak melakukan itu panjang lebar, namun minimal mereka memberikan warning atas keculasan dan kecurangan kedok kajian ilmiah yang dilakukan kalangan orientalis, agar diketahui khususnya oleh kalangan terpelajar Islam, sehingga mereka tidak terkecoh lagi teori-teori itu.
Corak lainnya menyangkut reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadis (tahammul al-Hadits). “Akhbarana” (kami diberitahu oleh), “haddatsana” (kami diceritai oleh), dan sejenisnya, yang oleh sementara orang dipahami hanya membuktikan adanya penyebaran Hadis secara lisan(oral transmission). Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis.
Perkembangan lainnya yang tidak dapat dikesampingkan adalah mengenai munculnya metode pentakhrijan Hadis. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadis kontemporer. Kalau sebelumnya takhrij hanya dilakukan oleh kalangan terbatas yang mempunyai kemampuan dan kapasitas tertentu dalam ilmu Hadis, dalam kajian Hadis kontmporer takhrij dicoba untuk dibumikan. Sehingga siapapun akan bisa mengetahui suatu Hadis dapat diterima atau tidak. Metodenya pun tidak rumit dan sangat memudahkan, asal dilengkapi buku-buku dan kitab-kitab penunjang yang memadai, penilaian terhadap suatu Hadis akan dapat dengan mudah bisa dilakuakan.
Dalam corak ini, tokoh yang paling berjasa mengembangkan metode ini adalah Prof. Mahmud al-Tahhan, Guru Besar Hadis di Universitas Islam Kuwait, dalam bukunya Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Buku al-Tahhan ini sangat membantu memudahkan pentakhrijan suatu Hadis, karena buku ini sedikitnya menghidangkan lima alternatif untuk memudahkan keberhasilan pentakhrijan suatu Hadis. Metode ini sekarang sudah lazim dipergunakan, bahkan memacu munculnya beberapa karya sejenis yang tampaknya masih mengadopsi teori dan metode takhrij al-Tahhan itu.
Betapapun, perkembangan yang terjadi dalam dinamika ilmu Hadis yang terjadi di awal sampai paruh pertama abad ke-20 layak disyukuri. Karena apapun alasannya, pencapaian itu sangat mengagumkan dan menggembirakan. Keberhasilan ini bukan saja keberhasilan ilmiah semata. Keberhasilan ini lebih mencerminkan kemenangan psywar dari sebuah jihad aqli melawan penjajahan berkedok kajian ilmiah. Dan ulama-ulama itu berhasil memenangkannya, sehingga umat Islam layak mensyukurinya, sekaligus telah membuat kajian Hadis menjadi semakin menarik untuk dikaji.

Followers