24 Jul 2009

Perang Salib: Sepenggal Sejarah Mengenai Alasan Barat Mengerahkan Pasukan Salib ke Tanah Suci Palestina

Oleh: Tsalis Muttaqin
Pendahuluan
11 September 2001, dari Amerika, babak baru bagi lembaran sejarah dunia seolah sedang dimulai. Serangan terorisme terhadap Amerika yang meruntuhkan gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York serta menghancurkan sayap gedung Pentagon, telah mengubah wajah dunia untuk selama-lamanya. Menyusul serangan terorisme terbesar dalam sejarah manusia tersebut, Presiden George W. Bush mengumumkan pihak-pihak yang bertanggung jawab. Al-Qaeda, jaringan ekstremis Islam pimpinan Usamah bin Laden menjadi tertuduh utama pada aksi tersebut, meskipun harus di catat pula, bahwa sampai sekarang bukti-bukti atas tuduhan ini belum terungkap.


Amerika lalu mengumumkan perang melawan terorisme Internasional yang oleh W. Bush dinyatakan, bahwa kampanye anti terorisme ini bukan perang melawan Islam. Bahkan dia berharap mendapat dukungan dari negeri-negeri Muslim seperti Iran, Mesir dan Suriah.
Tidak lama setelah September kelabu itu, Amerika pun membuktikan komitmennya untuk menghancurkan sel-sel terorisme. Afganistan, negara miskin yang diduga sebagai tempat persembunyian Usamah bin Laden pun dimusnahkan tanpa perlawanan berarti. Masih atas nama perang melawan terorisme, Irak menyusul menjadi korban kedua setelah Afganistan.
Mungkin Amerika belum puas melampiaskan dendam kesumatnya atas serangan terorisme terhadapnya. Tetapi usaha-usaha untuk melawan terorisme ini telah menimbulkan tragedi dan luka baru. Serangkaian serangan Amerika atas Irak dan Afganistan yang notabene adalah negeri Muslim, telah melukai ribuan masyarakat Muslim di negeri-negeri lain.
Tragedi gedung kembar WTC memang memilukan. Siapa pun yang melakukan aksi teror itu harus mendapat hukuman dan kutukan. Tetapi penghancuran negeri Irak dan Afganistan yang melibatkan orang-orang yang tidak berdosa oleh Amerika telah melahirkan resiko yang cukup mahal bagi kemanusiaan. Dan Amerika harus menebusnya.
Tetapi George W. Bush tidak ambil pusing, tanggapan terhadap terorisme disebutnya sebagai kelanjutan dari Perang Salib. Entah apa yang melatar belakangi, sehingga dalam menanggapi isu global ini ia harus memilih kata yang amat mungkin memancing rasa benci dari kalangan Muslim.
Makalah ini mencoba untuk menelusuri sebab-sebab, peristiwa-pristiwa dan akibat-akibat Perang Salib, baik bagi Barat maupun Islam. Namun kajian lebih dipusatkan pada suasana di Barat pada masa-masa tertentu saat berlangsungnya Perang Salib. Hal ini karena kepentingan makalah ini terutama untuk memberi konstribusi terhadap pengenalan peradaban Barat, di samping perang itu sendiri.

Dunia Sebelum Perang Salib
Sebelum Tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099 dan membantai 40.000 orang Yahudi dan Islam secara biadab, para pemeluk ketiga agama itu telah hidup bersama dalam suasana yang relatif damai di bawah naungan hukum Islam selama 460 tahun, hampir separuh millenium. Shalahuddin al-Ayyubiy berhasil menaklukkan kembali Yerusalem untuk orang Islam di tahun 1187, tapi hubungan ketiga agama Ibrahimi ini tak pernah sebaik di Yerusalem sebelum Perang Salib. Semenjak itu umat masing-masing agama memandang satu sama lain dengan waspada, selalu ketakutan pada serangan atau pengambil-alihan tempat-tempat ibadah dan rumah mereka. Perang Salib telah menimbulkan lautan perubahan yang tragis di Yerusalem. Tempat hidup berdampingan secara damai yang dulu pernah ada, kini menjadi sekadar impian.
Di Barat, Perang Salib juga peristiwa yang menentukan. Perang Salib telah membuat kebencian kepada kaum Yahudi menjadi sebuah penyakit yang tak tersembuhkan di seluruh Eropa, dan Islam kemudian dipandang sebagai musuh peradaban Barat yang tak terdamaikan. Prasangka-prasangka kalangan Barat semacam ini jelas telah memberi andil dalam situasi konflik masa kini, dan telah mempengaruhi pandangan orang Barat terhadap Timur Tengah saat ini dalam cara pandang yang betul-betul rumit.
Perang Salib bukanlah gerakan kecil di Abad Pertengahan. Perang Salib justru merupakan hal pokok pagi proses pembentukan identitas baru bagi orang-orang Barat, yang membuka jalan ke masa kini dan bertahan hingga hari ini. Perang Salib juga menampilkan wajah terburuk agama.

Pada Mulanya Mengapa Ada Perang Suci?
Pada tanggal 25 November 1095, di konsili Clermont, Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib pertama. Bagi Eropa Barat, seruan itu merupakan peristiwa penting dan menentukan. Peristiwa itu hingga kini juga masih berdampak di Timur Tengah. Berkhotbah di hadapan kerumunan para pendeta, ksatria, dan orang-orang miskin, Paus Urbanus menyerukan Perang Suci melawan Islam. Orang-orang Turki Saljuk, jelas Paus Urbanus, adalah ras barbar Asia Tengah yang baru saja menjadi Muslim, yang menyerbu hingga Anatolia di Asia Kecil (Turki modern) dan mencaplok negeri-negeri ini dari kerajaan Byantium Kristen. Paus Urbanus mendesak para ksatria Eropa untuk berhenti berkelahi dengan sesama mereka sendiri dan membulatkan niat bersama untuk memerangi musuh-musuh Tuhan ini. “Orang-orang Turki itu”, teriak Paus, “adalah ras yang terkutuk, ras yang sungguh-sungguh jauh dari Tuhan, orang-orang yang hatinya sungguh tidak mendapat petunjuk dan jiwanya tidak diurus Tuhan”.
“Membunuh Monster tak ber-Tuhan ini adalah tindakan suci: orang Kristen wajib memusnahkan ras keji ini dari negeri kita. Begitu para ksatria Kristen Eropa itu telah menyerbu Asia Kecil dan membersihkan negeri itu dari najis-najis kaum Muslim, mereka akan memikul tugas yang akan lebih suci lagi. Mereka akan berbaris menuju Yerusalem dan membebaskan Kota Suci itu dari tangan umat Islam. Sungguh memalukan bahwa makam Kristus berada di genggaman kaum Muslim”. Demikian seruan Paus Urbanus II.
Sambutan terhadap seruan Paus Urbanus itu sungguh luar biasa. Para pengkhotbah populer seperti Peter si Pertapa menyebarkan kabar tentang Perang Salib. Pada Musim semi tahun 1096, berangkatlah lima pasukan yang terdiri atas 60.000 tentara. Mereka diiringi oleh sekelompok peziarah yang tak bertempur bersama para isteri dan keluarga mereka. Gelombang pertama itu disusul pada musim gugur oleh lima pasukan lagi yang terdiri atas kira-kira 100.000 lelaki dan segerombolan pendeta dan peziarah. Untuk masa itu, jumlah tersebut sungguh mengagumkan. Ketika pasukan pertama mendekati ibukota Byantium, Konstantinopel, tampak di mata puteri Anna Comnena, yang terkejut sekaligus tertarik, seakan “seluruh Barat, dan seluas tanah yang terhampar di atas laut Adriatik hingga pilar-pilar Hercules (Giblartar) –seluruh lautan manusia memasuki wilayah Asia dalam jumlah massa yang penuh sesak, dengan seluruh garta benda milik mereka”.
Bagi orang-orang Byantium yang berpengetahuan luas, gelombang itu tampak sama dengan invasi besar-besaran kaum Barbar, serupa dengan serbuan yang telah menghancurkan kekaisaran Romawi di Eropa. Barat mulai menginvasi Timur pada abad ini. Invasi ini dipenuhi oleh perasaan benar sendiri yang agresif dari sebuah Perang Suci, sebuah perasaan yang akan menjadi ciri Barat di masa sesudahnya dalam berurusan dengan Timur. Perang Salib ini merupakan tindakan kerja sama pertama dari Eropa Baru saat benua itu sedang merangkak keluar dari Abad kegelapan. Perang Salib menarik minat semua kelas masyarakat: para paus, raja-raja, kaum bangsawan, pendeta, tentara, dan para petani. Orang-orang menjual semua yang mereka miliki sebagai bekal dalam ekspedisi yang panjang dan berbahaya. Sebagaian besar dari mereka tidak terilhami oleh nafsu keuntungan material. Mereka tercengkeram oleh gairah keagamaan. Mereka menjahitkan tanda salib di baju mereka dan berbaris ke tanah tempat Yesus wafat untuk menyelamatkan dunia. Perjalanan itu merupakan ziarah penuh pengabdian sekaligus perang pemusnahan.
Pada bulan Maret 1096. Tentara Perang Salib mulai merayap menuju ke Timur. Paus Urbanus masih mengkhotbahkan Perang Salib di Prancis, ketika semua tentara ini memulai perjalanan mereka. Lima rombangan tentara lagi bersiap-siap di rumah, tapi amat mungkin tentara Salib pertama ini menganggap diri mereka sendiri sebagai tentara garda depan dari seluruh Perang Salib, tak terpisahkan dari rekan Tentara Salib yang akan meninggalkan Eropa pada musim gugur. Pasukan Walter Sansavoir yang dengan mengagumkan dengan amat berdisipilin berbaris langsung melalui Eropa Timur dan tiba di Konstantinopel pada akhir bulan Juli 1096. Tentara Salib lainnya tak seberuntung itu. Karena mereka tidak cukup membawa bekal, kelompok besar ini bergantung kepada pemberian makanan dari penduduk setempat yang mereka lewati. Jika pemberian ini tidak tersedia, mereka harus menjarah dan menyerbu desa-desa. Masyarakat di desa-desa yang dilalui Perang Salib ini nyaris tidak dapat menyediakan makanan yang cukup untuk diri mereka sendiri, apalagi harus memberi makanan bagi ribuan prajurit dan peziarah itu.
Pertempuran pun tak terhindarkan. Pada akhir bulan Juni, tentara Folmar dihancurkan di Nitra, Hungaria, oleh tentara Hungaria yang marah. Tak lama kemudian tentara Gottschalk juga dipaksa menyerah oleh tentara Hungaria di Pannonhalma. Orang Hungaria begitu marah oleh Tentara Salib sehingga tidak mengijinkan tentara Emich memasuki negeri mereka. Tentara Salib Emich mencoba memaksa masuk dan mereka mengepung kota Weisenberg selama enam pekan. Tetapi mereka tidak dapat maju lebih jauh dan akhirnya terpaksa membubarkan diri dan pulang dalam kehinaan. Tentara Peter Sang Pertapa lebih berhasil, tetapi menderita korban amat besar selama perjalanan. Di Nish, Byantium, pertempuran pecah di pasar, ketika Tentara Salib mencoba untuk membeli makanan. Pasukan Peter diserang dengan hebat di pasar tersebut, tetapi para prajurit yang tersisa berhasil mencapai Konstantinopel pada awal bulan Agustus tahun yang sama. Kaisar Alexius, yang meminta pasukan biasa pada Urbanus, memandang massa besar Tentara Salib dan peziarah ini dengan penuh rasa takut dan secara halus menggiring mereka keluar dari Bosphotus dan menuju Asia Kecil. Namun, di sana, terjadi lebih banyak lagi penjarahan karena kelaparan dan karena semua disiplin tak lagi ditaati di negeri yang asing itu. Sesudah itu, di bulan Agustus juga, nyaris semua pasukan Peter dan Walter dibantai oleh tentara Turki.
Para pencatat sejarah tidak membuktikan keberadaan Tentara Salib pertama ini dan mereka meniadakan penyebutan Tentara Salib pertama ini dalam semua catatan mereka, atau meremehkan mereka sebagai gerombolan orang-orang fanatik dan petani.
Keberhasilan adalah sesuatu yang amat penting bagi Perang Suci dan kegagalan besar dari Tentara Salib pertama ini akan membuat seluruh gerakan ini menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan. Jika tentara yang bergabung dalam Perang Salib merupakan kehendak Tuhan, mengapa mereka bisa gagal? Kekalahan mengerikan di tangan kaum Eropa sendiri dan oleh orang-orang Turki bukanlah sesuatu yang dicari oleh Barat.
Lepas dari kegagalan ini, Tentara Salib pertama adalah tanda pertama dari Ekspansi Barat baru. Ekspedisi ambisius ini benar-benar menampakkan bahwa dunia Barat kini merasa siap untuk sekali lagi memasuki kancah Internasional.

1146-1148 Perang Salib Paling Religius
Kabar tentang Edessa mengejutkan orang-orang Kristen di Eropa Barat. Namun demikian, ketika Paus Eugenius dan Raja Louis VII dari Prancis menyerukan Perang Salib baru, tanggapan masyarakat sungguh mengecewakan: masyarakat terlanjur mendengar terlalu banyak soal yang mengerikan dalam Perang Salib pertama lima puluh tahun sebelumnya. Tapi pada tanggal 31 Maret 1146, Bernard, kepala biara dari Clairvaux, berpidato kepada sejumlah besar baron Prancis di Vezela dan meyakinkan mereka bahwa kejatuhan Edessa bukanlah suatu bencana, tetapi bagian dari rencana Tuhan. Tuhan bahkan "membiarkan" atau "menyebabkan" Zangi dapat menaklukkan Edessa untuk memberi kesempatan yang mengejutkan kepada kaum Kristen. Tuhan akan bersama umat-Nya dalam Perang Salib baru, yang akan menjadi pengungkapan cinta Ilahiyah dan salah satu kejadian paling penting dalam sejarah penyelamatan.
Bernard mungkin orang yang paling berkuasa di Eropa pada masa itu. Raja Prancis berada di bawah pengaruhnya dan Paus sendiri menjadi anggota dari ordo religius yang dipimpinnya. Ia menampilkan pamor kekuasaannya yang kuat karena kefasihannya yang kharismatik. Ketika ia mengakhiri pidatonya saat kehadiran Raja di Vezela, seperti biasa timbul keriuhan yang bernuansa keramat. Raja langsung berlutut dan mengambil Salib, diikuti oleh begitu banyak massa dari semua kelas masyarakat, yang membuat persediaan salib buatan yang begitu banyak menjadi habis. Bernard sampai harus merobek pakaiannya untuk dipotong-potong dan diberikan kepada kerumunan orang yang riuh rendah itu.
Orang yang tidak akrab dengan kisah Perang Salib mungkin akan dibuat kebingungan perihal mengapa ekspedisi tahun 1146 ini secara umum disebut sebagai "Perang Salib Kedua" oleh para ahli sejarah. Padahal tampaknya Perang Salib tak pernah berhenti: sejak penaklukan Yerusalem pada tahunh 1099, selalu ada arus ekspedisi yang tidak pernah berhenti ke Timur Tengah. Beberapa di antaranya dalam skala yang cukup besar. Tentara Salib pergi ke Tanah Suci sepanjang waktu selama dua ratus tahun, selama kaum Frank itu bertahan dengan kekuasaan mereka di Timur Tengah. Memang lama setelah kaum Frank itu kehilangan Negara-negara mereka di Timur Tengah, amatlah biasa bagi para raja dan baron untuk mengambil Salib dan bersumpah bahwa dia akan berangkat ke Yerusalem. Walaupun benar bahwa terminologi tradisional yang menyebutkan bahwa ada delapan kali Perang Salib dalam pengertian tertentu akan cukup menyesatkan, tetapi acuan tersebut masih mengungkapkan kebenaran yang bermakna penting. Tentu saja ada arus Salib yang tanpa henti ke Timur, tapi arus tersebut sebagian besar ekspedisi individual, dilaksanakan oleh para bangsawan atau ksatria perseorangan. Tapi dalam delapan kesempatan para Paus bersama para pemimpin sekuler mengumumkan upaya-upaya yang bersifat mendunia yang dilakukan oleh orang-orang Eropa. Ada delapan kepausan yang menyerukan untuk angkat senjata. Seluruh Eropa menyatakan perang terhadap Islam delapan kali selama periode Perang Salib. Seruan Paus Urbanus adalah yang pertama dari upaya-upaya Eropa memerangi Islam ini. Seruan Paus Eugenius, melalui kefasihan Bernard yang luar biasa, adalah yang kedua kali. Untuk memahami sifat khusus dari Perang Salib kedua ini kita harus memandang Eropa pada tahun 1146 demi memahami sebab mengapa Bernard begitu berpengaruh dan berkuasa.
Bernard memiliki banyak gagasan ideal tentang Tentara Salib Pertama. Seperti Urbanus, ia mendesak para ksatria agar berhenti saling bunuh satu sama lain dan bergabung untuk melawan Islam. Dengan begitu, mereka akan dapat menyelamatkan jiwa mereka. Para pendosa besar pun akan mendapat banyak keuntungan dengan mengambil bagian dalam operasi perang ini, demikian ia berargumen, karena mereka akan mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa mereka. Bernard amat terkesan oleh kesucian negeri tempat Kristus pernah hidup dan wafat. Negeri itu "dibumbui oleh mukjizat-mukjizatnya, disucikan oleh darahnya dan dihiasi oleh pemakamannya".
Bernard meyakini sepenuhnya bahwa kesucian hanya dapat terbuka bagi umat pilihan Tuhan. Penolakan Bernard terhadap kaum Muslimin bukan berdasarkan pada kebencian apa pun atas Islam sebagai agama, tapi lebih pada kaum Muslim sebagai ancaman bagi Tanah Suci dan karena itu juga ancaman bagi seluruh dunia. Pandangan Bernard ini sepenuhnya disambut oleh kaum mapan Kristen.
Pada akhir bulan Mei 1146 pasukan besar dari Jerman berangkat menuju Konstantinopel. Disusul oleh gelombang pasukan tentara Prancis pada tanggal 8 Juni 1146. Dalam perjalanan panjang yang melelahkan, nasib tentara Perang Salib kedua ini tidak berbeda jauh dengan Perang Salib pertama. Di Asia kecil, Tentara Salib kedua menanggung badai salju yang ganas. Disamping itu, karena aksi-aksi penjarahan yang mereka lakukan dalam perjalanan, mereka pun menanggung serangan-serangan yang dilancarkan oleh penduduk setempat. Misalnya serangan dari tentara Saljuk yang membantai sekitar sembilan puluh persen pasukan Conrad sebagai tindakan belas dendam.
Akibat dari badai salju yang ganas, kaum peziarah yang miskin mulai berguguran mati secara berkelompok. Kuda-kuda juga mati atau dibunuh untuk di makan. Para ksatria kurang kemampuan tempurnya. Tentara itu selalu diserang oleh pasukan Turki yang menyebabkan jatuhnya banyak korban.
Pasukan yang telah tercabik-cabik ini akhirnya sampai juga di Tanah Suci mereka, Palestina. Ketika Tentara Salib akhirnya tiba di Tanah Suci, mereka dihibur secara meriah oleh kaum Frank yang tumbuh berkembang di Palestina. Kaum Frank di Palestina itu dengan cemas menunggu kedatangan Tentara Salib kedua. Namun begitu, tampaknya perjumpaan itu canggung. Para peziarah dan Tentara Salib dari Barat selalu terkejut melihat gaya hidup mewah dan ketimuran dari kaum Frank di Palestina. Sebagian dari kaum Frank ini telah melakukan perkawinan dengan perempuan Palestina. Mereka terkejut saat menemukan bahwa kaum Frank di Palestina berkawan baik dengan Muslim. Bagi Tentara Salib yang taat tapi berpikiran sederhana, ini pastilah pengkhianatan besar dan membuat antusiasme mereka bergabung dalam Perang Salib menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Tentu saja semua ini mengakibatkan segala upaya besar untuk Perang Salib kedua menjadi sia-sia sepenuhnya.
Untuk mencari penyebab kenapa Pasukan Perang Salib kedua ini dengan mudah masuk ke wilayah Muslim dan kebaradaan Kaum Frank di Palestina, perlu dijelaskan disini saat bahwa Perang Suci (jihad) pada masa ini telah berakhir bagi kaum Muslim, sebaliknya bagi kalangan Kristen merupakan titik awal. Di dunia Islam, sejak abad ke sepuluh, suatu aliran yang berlawanan dengan kekhalifahan, yakni aliran Fathimiyah (Syi'ah) yang muncul pertama kali di Tunisia dan merembes ke Mesir, menentang kekuasaan Abbasiah yang Sunni. Fathimiyah mengaku dirinya sebagai penguasa tunggal kekhalifahan Islam dan mendaulat Abbasiah untuk diambil alih kekuasaannya. Selanjutnya ada tiga kekhalifahan di dunia Muslim. Abbasiah, Fathimiyah dan Bani Umayyah II di Cordova Spanyol. Keretakan dalam tubuh Muslim (baik pertentangan aliran maupun kekuasaan) akhirnya menjadi perhatian utama waktu itu. Hingga pergesekan dengan pihak lain di perbatasan menjadi terlupakan. Akibat konflik internal yang berkepanjangan ini, maka "Masa kepahlawanan" bagi kaum Muslimintelah usai dan berlalu.
Lantaran terjadi perpecahan yang meliputinya, dunia Islam menjadi lemah. Pasukan Salib yang masuk ke negeri Muslim menjadi mendapat angin. "Orang lain" mengambil keuntungan atas kekacauan ini.
Akhirnya, sejak tahun 1098, (sebelum Perang Salib dua) kelompok-kelompok Kristen dari Eropa Barat berhasil menaklukkan sebagian dunia Muslim dan untuk sementara menguasai dataran pantai Syria dan Palestina.

Richard Si Hati Singa dan Perang Salib Sekuler
Pada tanggal 6 Juli 1189, Raja Inggris, Henry II wafat. Ia digantikan oleh Richard. Richard yang mewarisi mahkota Inggris amat ingin berangkat ke medan Perang Salib. Keinginan ini bukanlah karena semangat religius. Richard adalah seorang prajurit dan Perang Salib adalah sebuah tantangan militer yang menggairahkan dan penuh gelora.
Richard merupakan sosok yang kharismatik, tampan, penyair dan prajurut kelas satu. Dalam Perang Salib yang dipimpinnya, ia tiba di kancah peperangan bersama 25 kapal dengan senjata lengkap. Kedatangan Richard menjadikan semangat dan harapan-harapan kaum Frank melambung. Mereka menyalakan api unggun besar untuk merayakan kedatangan Richard.
Pengepungan Acre oleh pasukan Richard menjadi sebuah langkah Perang Salib yang paling berkepanjangan dan membuat putus asa. Di Dalam kota, pasukan-pasukan benteng kaum Muslim dan kaum sipil menderita akibat pengepungan selama dua tahun. Di sekeliling benteng kota tentara Kristen berkemah. Sementara di sekeliling kaum Kristen itu berkemahlah tentara pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi, yang tak dapat menghubungi kaum Muslimin di dalam kota.
Dalam suasana penantian yang melelahkan ini, Shalahuddin memerintahkan untuk membacakan hadits-hadits Nabi untuk memotivasi pasukannya. Tapi taktik Richard jauh lebih pragmatis. Tidak ada khotbah-khotbah yang membangkitkan semangat. Tidak ada puasa. Richard malah menawarkan kepingan emas bagi setiap orang dalam pasukan yang dapat mengambil sebongkah batu dari benteng kota yang sedang diruntuhkan oleh Tentara Salib. Cara ini berhasil, tetapi sangat berbeda dengan Perang Salib sebelumnya.
Perang Suci telah beralih sisi, karena kini kaum Musliminlah yang religius, sedang kaum Kristen malah bermotivasi sekuler. Tapi benteng kaum Muslim tidak terselamatkan oleh upaya-upaya religius mereka dan akhirnya terpaksa menyerah pada serangan kristen yang baru ini. Ketika melihat bendera Kristen dikibarkan dari benteng kota pada tanggal 12 Juli 1191, Salahuddin Al-Ayyubi menangis.
Kemenangan Tentara Salib ini benar-benar meninggalkan luka yang mendalam. Ketika Shalahuddin memiliki terlalu banyak tahanan, ia bebaskan ribuan dari mereka. Tetapi Ridhard bersemangat untuk meju terus. Ia merasa dirinya terbebani sejumlah besar tahanan perang dan pada tanggal 20 Agustus 1191 ia menggiring 2700 Muslim, termasuk anank-anak dan perempuan, keluar benteng kota dan membunuh mereka dengan darah dingin di hadapan tentara Shalahuddin.
Tapi sebuah pragmatisme yang kejam ini juga terbukti sebagai sebuah kesalahan: semangat tentara Muslim sedang amat rendah, tetapi ketika tentara Shalahuddin menyaksikan betapa kaum Frank itu masih saja siap untuk melakukan kebiadaban, maka tentara Shalahuddin mendedikasikan diri mereka kepada jihad dengan sebuah tekad baru, karena menyadari bahwa tidak akan ada perdamaian di antara mereka, hingga mereka mampu mengusir kaum Kristen itu dari Palestina.
Peperangan-peperangan terus berlanjut. Para Tentara Salib tidak terbiasa dengan hawa panas dan terik sinar matahari yang begitu menyengat yang membuat mereka menderita.
Perang Salib ketiga yang begitu lama dan melelahkan ini kemudian menjadi peperangan yang justru membingungkan. Baik Shalahuddin maupun Richard, sebenarnya sudah kelelahan untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini. Di antara mereka terkadang terlibat perundingan, kemudian perang lagi, dan begitu seterusnya. Seolah-olah antara Richard dan Shalahuddin seperti sahabat lama, meskipun pada dasarnya mereka adalah dua panglima yang sedang bermusuhan dan berebut kemenangan.
Beginilah kiranya, jika dua jagoan perang bertemu di medan laga. Richard seorang Raja Inggris pemberani, sedangkan Shalahuddin Panglima Muslim yang pantang menyerah. Mereka saling menikam dan memburu, namun di saat tertentu mereka saling menaruh hormat. Hormat seorang pemberani dan ksatria kepada keberanian dan kekesatriaan lawannya.
Hingga mendekati bulan Agustus 1191, Richard merasa putus asa untuk mencari suayu penyelesaian. Dia betul-betul berhadapan dengan jalan buntu militer, seperti juga Shalahuddin Al-Ayyubi. Pasukan Richard, karena telah dua kali dicegah untuk menaklukkan Yerusalem, merasa marah dan nyaris memberontak. Dia mendapat kabar buruk dari rumah: Philip Augustus -mantan Tentara Salib sebelumnya- menyerbu tanah kekuasaannya di Prancis. Akhirnya Richard jatuh sakit. Shalahuddin dengan ramah mengirimkan dokter pribadinya dan memberi hadiah buah-buahan dan Es untuk dibuat minuman dingin. Tapi Richard tetap tidak mau menyerah dan tidak mau membuat konsesi lebih jauh. Akhirnya pada tanggal 2 September 1191, Richard menyerah. Sebuah perjanjian ditanda tangani untuk jangka waktu lima tahun, yang menunjukkan bahwa kedua belah pihak harus berkompromi. Shalahuddin harus menerima bahwa dia tidak akan bisa mengusir semua kaum Frank itu dan kemudian memburu mereka ke Eropa. Richard harus menerima bahwa dia tidak akan menaklukkan kembali Kota Suci, tapi dia mendapatkan hak bagi para peziarah Kristen untuk berdoa di sana. Kaum Muslim dan Kristen harus saling menghargai satu sama lainnya di Palestina dan Kota Suci itu.
Kisah tentang Richard ini di Eropa diungkapkan dengan cara yang penuh heroik. Dia tentu saja menjadi salah satu raja Inggris yang paling melegenda. Sesudah penobatannya, dia menghabiskan waktu hanya beberapa bulan saja di negerinya. Dia mengerahkan semua kemampuannya untuk membayar kegiatan perangnya di Prancis dan Tanah Suci. Tapi selama Perang Salib dia menjadi terkenal dengan julukan "Si Hati Singa" dan dianggap sebagai Raja Agung Inggris yang sebenarnya, karena ia memimpin pasukannya ke Tanah Suci. Ini menunjukkan bahwa Perang Salib betul-betul bermakna penting sebagai sebuah nilai di Eropa, meskipun tampaknya Perang Salib kemudian lebih menjadi sebuah perburuan yang bersifat sekuler. Bagi mereka yang tetap tinggal di Eropa, Perang Salib menjadi peristiwa yang jauh bermakna dan sangat menarik, sangat berbeda dengan kenyataannya yang bersimbah darah.

Beberapa Catatan
Dengan pemaparan Singkat kisah Perang Salib di atas, berikut ini dijelaskan beberapa fenomena di Barat pada sekitar abad kesebelas:
1. Perang Salib jelas suatu tindakan Eropa yang mengingkari ajaran Kristen. Bukankah Yesus menitahkan para pengikutnya untuk mencintai musuh-musuh mereka, bukannya memusnahkan mereka? Yesus seorang pencinta damai dan mungkin lebih mirip dengan Gandhi daripada dengan Paus Urbanus.
2. Alasan Kristen Eropa dalam ekspedisi Perang Salib, pada dasarnya lebih karena ketakutan mereka terhadap Islam yang mereka anggap sebagai ancaman, daripada seruan agama. Seperti diketahui, jauh sebelum Perang Salib, Islam sudah memasuki wilayah Spanyol dan pulau-pulau di Laut Tengah, khususnya Sisilia, melintasi pegunungan Pirenia, hingga mengancam seluruh Eropa Barat. Sementara Dari sisi Timur, Islam sudah bergerak menuju Yunani dan wilayah Kristen hingga jantung kerajaan Byantium.
3. Perang Salib pertama dan kedua menunjukkan pengalaman perang bangsa Eropa yang masih sangat primitif. Bagaimana terbayangkan, Perang Suci yang sedemikian penting, sampai terjadi kehabisan bekal di tengah jalan, hingga mereka merampok di kampung-kampung yang membuat marah pasukan Hungaria. Dan dengan mudah di usir oleh pasukan Turki dengan cara yang sangat memalukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Arab lebih berpengalaman dan maju dalam hal perang. Pasukan Khalid bin Walid ketika melawan Romawi di Yarmuk menunjukkan hal ini. Demikian pula dengan Thariq bin Ziyad saat melakukan serangan ke Spanyol yang dramatis itu.
4. Masa Perang Salib adalah masa dominasi Kristen di Eropa, sehingga para raja dan bangsawan pun kalah kharisma dan begitu hormat dengan para Paus dan pendeta.
5. Palestina merupakan negeri yang memiliki banyak masalah yang sangat rumit. Di sana Nabi Muhammad saw memulai perjalanan mikraj ke langit. Tanah ini merupakan tanah yang dijanjikan kepada Bani Israil di masa Nabi Musa as. Dan di sana Nabi Isa as dilahirkan. Tiga agama samawi ini hingga saat ini belum menemukan jalan tengah yang terbaik untuk menyelesaikan sengketa tanah Palestina.
6. Perang salib secara tidak langsung telah membuka sendiri mata Eropa terhadap perkembangan negeri-negeri lain. Kunjungan terpaksa (untuk perang!) rupanya memberikan manfaat pula, berupa pelepasan diri dari kepicikan.
7. Perang Salib merupakan invasi yang dipenuhi oleh perasaan benar sendiri yang agresif dari sebuah Perang Suci, sebuah perasaan yang akan menjadi ciri Barat di masa sesudahnya dalam berurusan dengan Timur. Perang Salib ini merupakan tindakan kerja sama pertama dari Eropa Baru saat benua itu sedang merangkak keluar dari Abad kegelapan.
8. Tentara Salib pertama adalah tanda pertama dari Ekspansi Barat baru. Ekspedisi ambisius ini benar-benar menampakkan bahwa dunia Barat kini merasa siap untuk sekali lagi memasuki kancah Internasional.
9. Perang Salib dapat menjelaskan kenapa terjadi polarisasi yang berlabel “Islam dan Barat”. Meskipun penghadapan Islam versus Barat terasa janggal menurut logika bahasa. Namun dalam logika orientalis Barat, yang menjadi ancaman buat mereka adalah Islam, bukan Timur.
Penutup
Demikian sepenggal kisah dari Perang Salib yang telah mengubah dunia pada abad-abad itu. Sebelum Perang Salib, pemeluk agama Kristen dan Yahudi bisa hidup berdampingan di Palestina dan sekitarnya di bawah naungan Daulah Islam. Tetapi setelah kedahsyatan Perang Salib yang memakan waktu sampai dua abad lamanya, ketiga agama samawi ini (Islam, Kisten dan Yahudi) tidak pernah akur.
Akibat Perang Salib, dendam, curiga, waspada dan merasa terancam menjadi watak masing-masing agama ini, jika satu sama lain saling berhadapan. Dengan demikian kita menemukan alasan mengapa George W. Bush mengkaitkan isu terorisme internasional sebagai kelanjutan Perang Salib Modern.
Wallahu A’lam.



DAFTAR PUSTAKA


Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern, terj. Yudian W. Asmin dkk (Yogyakarta: Tiara Wacana) cet ke-1 1994

Bernard Lewis, Muslim menemukan Eropa, terj. Ahmad Niamullah Muiz. (Jakarta: Pustaka Firdaus) 1988

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Bandung: Mizan) 1999, cet ke-5

Hassan Hanafi, Al-Muqaddimah fi Ilmi Al-Istighrab (Kairo: Madbuli), tt.

Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono dkk. (Jakarta: Serambi Ilmu semesta), 2000. Cet ke-1

Karen Armstrong, Perang suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003) Cet ke-1

Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zainul Am (Bandung:Mizan), 2002. Cet ke-6

William G. Carr, Yahudi Menggenggam Dunia, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar)

No comments :

Followers