2 Mar 2010

CARA PRAKTIS BELAJAR MEMBACA KITAB

oleh : Zul Fahmi

Bisa membaca dan menterjemahkan bahasa arab dengan benar adalah kebutuhan yang sangat esensial bagi seluruh kaum muslimin, untuk memahami isi Al-qur’an dan lebih mendalami ilmu-ilmu Islam. Bahkan bisa berbahasa Arab dengan baik dan benar telah menjadi standar apakah seseorang benar-benar memahami Islam secara mendalam ataukah tidak, walaupun tidak selamanya asumsi ini benar.

Al-qur’an adalah turun dengan bahasa Arab, hadits-hadits Rasulullah SAW. Juga berbahsa Arab, kemudian kitab-kitab yang menjelaskan kandungan isi Al-qur’an dan Al-hadits yang disusun oleh para ulama’ yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan jilid dari berbagai jenis ilmu, semuanya juga berbahasa Arab. Bahkan dari kitab-kitab tersebut, banyak sekali yang belum atau tidak mungkin akan diterjemahkan. Maka dari itu, belajar bahasa Arab adalah hal yang harus dilakukan oleh siapapun, apabila ingin mempelajari Islam dengan baik dan benar. Karena, akan kesulitan orang yang ingin mendalami Islam tanpa mempelajari bahasa Arab. Apalagi jika tahap belajar sudah sampai pada ilmu tafsir, ilmu hadits, usul fiqih, dan lain-lain.

Namun untuk bisa menguasai bahasa Arab, terutama bagi orang yang sejak kecil tidak pernah belajar di Ma’had atau pondok pesantern, bukanlah persoalan yang mudah, seperti halnya membalikkan telapak tangan. Banyak orang yang sudah mencoba belajar, namun merasa putus asa dan berhenti di tengah jalan. Banyak pula majelis-majelis ta’lim dan tempat-tempat prifat yang menyediakan kajian bahasa Arab, namun mereka keburu bubar, sebelum sampai di akhir pembahasan. Semua orang punya keinginan yang tinggi untuk bisa menguasai bahasa Arab, namun sedikit sekali yang bisa lolos mencapai keberhasilanya. Bahkan, banyak pula orang yang telah belajar bertahun-tahun dan lulus dari Ma’had, namun mereka juga sulit untuk dikatakan bahwa ia telah berhasil menguasainya. Apakah benar-benar sulit mempelajari bahasa Arab? Dan apakah tips yang paling praktis untuk bisa menguasainya?

Semangat Yang Tinggi

Sebelum mulai belajar bahasa Arab, pertama tanamkan anggapan bahwa bahasa Arab itu adalah bahasa yang mudah. Dan tidak ada bahasa yang paling mudah untuk memahami Al-qur’an kecuali bahasa Arab. Dan yang penting, seseorang harus bisa menentukan metode belajar, berdasarkan orientasi kemampuan yang diinginkan. Maksudnya, kalau target yang diinginkan adalah baca kitab dan menterjemahkan, maka tidak perlu terlalu memfokuskan diri untuk belajar muhadatsah. Termasuk dalam hal ini, seseorang harus pandai memilih jenis-jenis mufrodat yang paling utama untuk di hafal dan memilih kitab-kitab panduan yang lebih berorientasi pada melatih kemampuan membaca dan menterjemahkan daripada melatih berbicara {Hiwar} dan pengungkapan { Ta’bir}.

Khatamkan Dalam Mempelajari Qo’idah

Dalam mempelajari bahasa Arab jelas sekali seseorang harus mempelajari qo’idah-qo’idah bahasa Arab minimal qo’idah nahwu dan shorof dari bab awal sampai bab yang terakhir. Maka, pilih saja kitab-kitab yang menyuguhkan materi itu, dan sabarkan diri untuk menela’ah dan memahaminya hingga selesai. Dan kitab-kitab tersebut jumlahnya banyak sekali, baik kitab klasik seperti Matan Ajrumiyah, yang bermacam-macam pula kitab syarhnya, kitab Imrithi, Syarh Ibnu ‘Aqil dan lain-lanya, atau pilih kitab-kitab sekarang yang disusun dengan system metode cepat seperti Amtsilati, Al-furqon, dan kitab-kitab praktis lainya. Intinya, qo’idah-qo’idah itu harus dipelajari sampai selesai, karena itulah teori bagaimana membaca dan menterjemahkan. Dan tidak usah putus asa kalau seandainya merasa bingung dan tidak faham sebelum semua itu selesai, karena bisa jadi, kefahaman itu datang ketika semua materi dari awal sampai akhir secara utuh telah dipelajari. Karena seluruh materi dan qo’idah-qo’idah tersebut, satu dengan yang lainya saling berkaitan. Beberapa pesantren terutama pesantren-pesantren salafiyah milik kaum Nahdhiyiin, justru memiliki doktrin, “ikuti dan hafalkan saja! nanti akan faham pada akhirnya.”

Memperkaya Mufrodat ( Kosa kata )

Disamping mempelajari qo’idah, seseorang juga harus rajin menghafalkan mufrodat atau kosa kata bahasa Arab. Ibarat manusia, qo’idah bahasa Arab adalah jasadnya, sementara kekayaan mufrodat adalah ruhnya. Jasad manusia tidak akan bisa berjalan tanpa ruh, dan ruh juga tidak ada artinya kalau tidak ada jasad. Artinya faham seluruh qo’idah tetapi miskin mufrodat, atau sebaliknya kaya mufrodat tetapi tidak memahami qo’idah, sama saja tidak akan bisa baca kitab. Maka antara mempelajari qo’idah dan menghafalkan mufrodat harus dilakukan semuanya secara maksimal. Maka, kamus yang cukup lengkap seperti kamus Al-Munawir misalnya, adalah sarana yang wajib ada. Aneh sekali kalau ada orang yang belajar bahasa Arab, tetapi tak memiliki kamus.

Bahasa Arab adalah bahasa yang paling kaya perbendaharaan katanya. Tidak ada bahasa ‘ajam yang bisa mengunggulinya dalam hal ini. Bahkan dalam kitab “Lisanul Arob ” karya Ibnu Mandhur disebutkan, satu benda saja, ada yang sampai puluhan atau ratusan lebih jumlah kata padananya {murodif-nya}. Oleh karena itu bagaimana mungkin orang bisa membaca kitab dengan baik, kalau miskin perbendaharaan katanya, atau bahkan kamus saja tak punya. Oleh karena itu, miliki kamus! kalau perlu lebih dari satu atau lebih.

Latihan Secara Intensif

Untuk bisa baca kitab dan menterjemahkanya, tidak hanya pula mengandalkan kemampuan memahami qo’idah, dan banyaknya menghafalkan kosa kata saja, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah latihan secara intensif, dengan rajin membaca kitab-kitab dan menterjemahkan semampunya. Di samping hal itu akan sangat membantu memperkaya mufrodat, juga akan melatih seseorang untuk peka dan faham karakter bahasa Arab yang jelas berbeda dengan bahasa lainya. Latihan terus menerus ini akan menghidupkan dhouq atau perasaan seseorang dalam memahami rangkaian kata bahasa Arab. Dan tentu saja, ini harus ditopang dengan rajin membuka kamus.

Harus difahami bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama’ itu sangat banyak sekali dan bermacam-macam pula tingkat kerumitan serta ketinggian bahasanya. Kitab-kitab itu juga bermacam-macam gaya pengungkapanya sesuai dengan perkembangan bahasa di setiap zaman dan kelihaian penulisnya. Maka dari itu tidak mungkin orang akan langsung bisa membaca semua kitab, hanya dengan menguasai seluruh qo’idah dan kosa kata bahasa Arab saja. Tetapi kepekaan, kejelian dalam mengartikan kata, dan menyimpulkan maksud kalimat sesuai dengan konteks kalimat {siyaqul kalam-nya} itulah, yang harus dilatih terus menerus, agar seseorang bisa tepat dalam menganalogikan bahasa kitab ke dalam bahasanya. Banyak sekali orang yang berusaha memahami kalimat, dia sudah tahu cara membacanya ( qo’idahnya ), masing-masing kata sudah tahu artinya, namun tidak bisa faham kalimat itu apa maksudnya. Hal ini disebabkan karena ia kurang latihan dan kurang membaca. Inilah perlunya banyak latihan.

Orang yang rajin membaca dan menterjemahkan, kadang-kadang akan menemui kata atau kalimat yang tak pernah ia duga arti sebenarnya, atau arti itu sangat jauh dari makna kata aslinya. Sehingga kadang-kadang ia keliru dalam mengartikanya. Sebuah kata yang maksud sebenarnya adalah arti secara ishtilah dimaknai dengan arti kata, atau sebaliknya arti kata dimaknai dengan arti ishtilah. Atau nama orang, dimaknai dengan arti katanya, dan sebaliknya arti kata dianggap sebagai nama orang. Ini adalah Kesalahan-kesalahan orang yang yang biasanya kurang latihan. Sekarang ini banyak orang yang tampil sebagai penerjamah tetapi kurang teliti dalam masalah ini. Misalnya kata muhdits dalam bahasa Arab sering diartikan dengan ahli hadits. Padahal tepatnya adalah orang yang berhadats. Sedangkan ahli hadits bahasa Arabnya adalah muhaddits.

Banyak orang merasa gagal belajar bahasa Arab, sebelum menempuh tahap ini. Mereka mengira bahwa hanya belajar dengan menelaah kitab-kitab nahwu dan shorof sampai selesai, lantas langsung bisa membaca kitab arab. Dan ketika kenyataan berlainan dengan angan-angan, mereka putus asa dan menganggap bahasa Arab adalah bahasa yang sulit. Padahal persoalanya adalah dia sendiri yang kurang latihan, kurang mengasah pemahaman dan kemampuanya.

Harus difahami bahwa belajar bahasa Arab hingga mampu menguasainya, membutuhkan waktu dan proses yang lama dan tidak boleh tergesa-gesa menguasainya. Dan sebenarnya, tidak ada standart yang jelas seperti apakah orang dikatakan bisa membaca kitab. Mungkin seseorang bisa membaca kutaib {kitab-kitab yang kecil dan sederhana}, namun belum tentu bisa membaca kitab-kitab yang tebal dan lebih rumit bahasanya. Mungkin juga orang bisa membaca kitab-kitab tebal, tetapi belum tentu bisa membaca kitab-kitab klasik yang lebih lembut dan jlimet bahasanya. Mungkin orang bisa membaca kitab-kitab seputar aqidah dan fikih, tetapi belum tentu bisa membaca kitab-kitab tentang tarikh, siyasah atau filsafat. Dan kalau mau jujur banyak orang yang bisa membaca kitab-kitab cetakan Saudi Arabia yang sekarang banyak disertai syakal, tetapi tidak bisa membaca kitab-kitab kuno cetakan penerbit-penerbit Indonesia seperti Toha Putra semarang yang tetap bertahan dengan kegundulannya ( tanpa syakal ). Bahkan ada jenis-jenis kitab yang disusun,pada saat qo’idah nahwu dan shorof belum sempurna ditulis para Ulama’, sehingga kitab-kitab tersebut bahasanya agak aneh, dan orang-orang yang belum mendalam ilmu bahasanya, merasa sulit memahaminya. Contohnya adalah beberapa kitab karya imam Syafi’i yang ditulis oleh para muridnya, serta kitab-kitab karya para ulama’ sebelum atau sezamanya. Inilah yang pernah dialami oleh seorang ulama’ sekaliber Ahmad Syakir ketika meneliti atau mentahkiq kitab al-Umm-nya Imam Syafi’i. Beliau pernah merasa kebingungan ketika mendapati di sepanjang tulisan Syafi’i kalimat menurut qo’idah umum dibaca nasob tetapi oleh Imam Syafi’I dibaca rofa’. Misalnya kalimat “ inna fiel fashli zaidun “ padahal pada umumnya “ inna fiel fashli zaidan “. Tetapi kemudian beliau menyimpulkan bahwa Imam Syafi’I sepenuhnya benar karena dalam nahwu ada qo’idah yang seperti itu.

Jadi, kemampuan masing-masing orang baca kitab itu juga bertingkat-tingkat, dan seseorang akan terus meningkat kemampuanya sesuai dengan keseriusan ia mendalaminya, serta berapa lama waktu yang telah dihabiskanya. Oleh karena itu, seseorang hendaknya belajar terus-menerus, dan tidak mudah berputus asa. Sebagaimana Khalifah Ali radhyallahu’anhu berkata, “ Kamu tidak akan sampai pada ilmu kecuali dengan enam perkara, kecerdasan, tamak { terhadap ilmu }, kesabaran, harta { bekal }, guru yang lurus, dan waktu yang panjang.”

Kalau Imam Syafi’i rahimahullah saja yang ‘arobiy {orang keturunan Arab}lagi pula keturunan suku yang paling fasih di kalangan bangsa Arab yakni suku Quraisy, menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh tahun untuk belajar bahasa Arab di sebuah kampung pedalaman Arab yang bernama perkampungan Bani Khudzail, kenapa orang yang bukan Arab hanya menghabiskan waktu dua sampai empat tahun saja belajar bahasa Arab, dan kemudian putus asa untuk belajar bahasa Arab?

Followers