18 Sept 2011

PERBEDAAN SHALAT HARI RAYA DI INDONESIA


PERBEDAAN SHALAT HARI RAYA DI INDONESIA


Di Indonesia, Penetapan Hari Raya Idul Fitri atau tanggal satu bulan Syawal, telah menjadi persoalan yang cukup membingungkan dan meresahkan, terutama kaum awam yang kurang memahami hakekat persoalan. Pada malam hari sebelum pelaksanaan sholat Ied, Keresahan dan kebingungan ini sangat terasa sekali, dari perselisihan antar pengurus masjid atau panitia sholat Ied, kepanikan mencari informasi kesana- kemari, pengumuman shalat Ied yang berkali-kali dan berubah-rubah dalam satu masjid, jadwal khotib yang kacau karena hari yang dipilih khotib berlainan dengan panitia sholat Ied, sampai dengan  kepengurusan zakat fitri, serta persiapan tempat dan peralatan shalat yang juga ikut kacau. Bahkan, perselisihan itu gaungnya sudah bisa didengar dan dirasakan sejak awal Ramadhan, karena sebagian pihak telah membicarakannya di mimbar-mimbar khutbah jum'at, pengajian-pengajian umum, atau brosur-brosur yang ditempel di masjid-masjid dan dibagikan kepada kaum muslimin. Mereka mengumumkan hari pelaksanaan sholat Ied sejak awal bulan Ramadhan padahal pemerintah dalam hal ini Dewan Itsbat belum menetapkanya dengan pasti, karena harus menunggu hasil Ru'yatul Hilal di akhir bulan Ramadhan.

Ini adalah fenomena yang sangat memprihatinkan, shalat hari raya yang sebaiknya dilaksanakan bersama-sama oleh seluruh umat Islam dalam satu kawasan, atau daerah satu mathla', terpaksa harus diwarnai dengan perselisihan, yang dalam hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan kecuali mereka orang-orang kafir, musuh-musuh Islam yang sangat menginginkan perselisihan dan perpecahan umat Islam.

Dalam menentukan masuknya tanggal satu bulan Ramadhan atau tanggal satu bulan Syawal, ada dua metode yang dikenal oleh umat Islam saat ini. Pertama Ru'yatul Hilal, yang kedua dengan Hisab. Ru'yatul Hilal adalah menyaksikan hilal di akhir bulan dan menyempurnakannya menjadi tiga puluh hari apabila ada penghalang, Sedangkan hisab adalah melakukan penghitungan berdasarkan ilmu falak untuk menentukan atau memperkirakan secara tepat masuknya awal bulan. Hisab adalah metode baru yang dikenal umat Islam, yang dipakai sebagai penguat dan petunjuk dalam melihat hilal.

Ru’yatul hilal ataupun Hisab sesungguhnya didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

صوموا لرؤ يته وافطروا لرؤ يته فاء ن حال بينكم وبينه سحاب فكملوا العد ة ثلا ثين .رواه أحمد

" Siyamlah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena  melihatnya pula. Maka jika terjadi antara kamu dan ia penghalang {awan}, sempurnakanlah hitunganya menjadi tiga puluh" {HR.Imam Ahmad}

Di antara sebab Perselisihan shalat ied di Indonesia seperti tahun ini, adalah perbedaan interpretasi terhadap hadits yang memerintahkan shoum dan berbuka setelah melihat bulan di atas. terutama perbedaan dalam memposisikan kedudukan hisab di sisi ru’yah. Sebagian kaum muslimin menganggap, bahwa hisab bisa menjadi metode yang mandiri dalam menentukan hilal. Hisab diyakini sebagai metode yang lebih akurat, tepat dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan janggal yang menyertai penentuan hilal, seperti pembuatan kalender nasional, kebingungan puasa arofah, dan penyatuan waktu shalat ied di berbagai daerah. Hisab adalah bagian dari ilmu exact yang punya rumus-rumus pasti dan bisa menelorkan keputusan pasti walau dibuat beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya.

Bagi kelompok ini, ru’yatul hilal bisa di-tahrif maknanya, bukan semata melihat dengan mata kepala secara klasik, akan tetapi bisa dimaknai lain, yaitu melihat  dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan disini tentu saja adalah ilmu falak yang digunakan sebagai dasar melakukan hisab. Sedangkan dalam melakukan ru’yatul hilal, kelompok ini punya prinsip bahwa naiknya bulan dari ufuk yang telah mencapai 1derajat atau lebih, sudah cukup memenuhi syarat untuk di-ru’yah. Kondisi seperti itu bisa diyakini hilal telah wujud dan bisa dipastikan bulan baru telah masuk.  Sedangkan Mengenai matla’ (tempat terbitnya bulan),  apakah harus memegang wihdatul mathla’ (kesatuan tempat terbitnya bulan) ataukah ikhtilaful matholi’ (perbedaan tempat terbitnya bulan), maka kelompok ini cendrung  memilih wihdatul matla’. Atau sebagian kaum muslimin yang lain secara tegas memilih wihdatul mathla’. Oleh karena itu mereka ikut berbuka dan shalat ied pada hari selasa, karena mengetahui negeri Saudi Arabia dan sekitarnya juga sudah berbuka.

Sedangkan kelompok yang kedua, yang biasa menyempurnakan hitungan bulan sya’ban atau ramadhan menjadi 30 hari, yang dalam hal ini diprakarsai oleh Dewan Itsbat Kementrian Agama, memegang kuat hadits Rasulullah SAW. yang memerintahkan ru’yah, dan setia kepada seluruh prinsip lama dalam memahami hadits tersebut.

Pertama, ru’yatul hilal adalah metode utama yang dipakai dalam menentukan awal bulan. Penghitungan dengan dengan ilmu falak (hisab) tetap dilakukan, namun jika hasil hitungan tersebut tidak cocok dengan fakta ru’yah secara umum, maka hisab tersebut dinamakan dengan hisab qoth’I yang tidak memungkinkan untuk melihat bulan, dan apabila terjadi hisab qoth’I seperti ini, kemudian ada beberapa pihak yang mengaku menyaksikan bulan saat itu, maka kesaksian itu tertolak walaupun orang yang bersaksi tersebut orang yang adil. Prinsip inilah yang banyak tertulis dalam kitab-kitab fikih klasik yang hingga saat ini masih jadi pegangan Dewan Itsbat Kementrian Agama.

Kedua, mereka berpegang bahwa kata ru’yah adalah mashdar dari fi’il ra’ay yang artinya melihat. Kata ra’ay yang tidak hanya memiliki satu bentuk mashdar saja, mengkhususkan mashdar ru’yah hanya bisa dimaknai dua hal yaitu mimpi dan melihat dengan mata kepala. Konsederan hadits-hadits tentang ru’yah menunjukkan kata itu tidak bisa ditahrif dengan makna melihat memakai ilmu pengetahuan, tetapi yang benar memakai mata kepala. Oleh karena jika dikaitkan dengan melihat bulan, maka ru’yatul hilal disini hanya bisa dimaknai dengan melihat secara langsung dengan mata, bukan ilmu pengetahuan sebagaimana faham kelompok yang pertama. Kemudian dalam mensikapi naiknya bulan dari ufuk, kelompok kedua ini berprinsip bahwa bulan bisa diru’yah jika naiknya sudah mencapai 2 derajat. Karena naiknya bulan yang belum mencapai 2 derajat tersebut walaupun bisa diyakini wujudnya tetapi belum bisa dilihat fisiknya.

Ketiga, Dewan Itsbat Kementrian Agama bersikukuh bahwa ikhtilaful matholi’ adalah lebih realistis untuk dipegang, dan itu sesuai dengan pendapat para ulama’. An-Nawawi dalam "Al-Majmu' " mengatakan :

“ bahwa sudah masyhur dalam madzhab Syafi'i, apabila hilal telah terlihat di suatu negeri, sedangkan ia tidak terlihat di negeri yang lain, maka kalau dua negeri tersebut berdekatan, hukumnya sama dengan satu negeri. Dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melaksanakan shoum. Tetapi kalau dua negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah yang mengatakan bahwa shoum tidak wajib atas penduduk negeri yang lain. “ [1]

Imam Qurthubi juga mengatakan: “ Dalam madzab Maliki ditegaskan, apabila suatu negeri saling berjauhan seperti jauhnya Syam dan Hijaz, maka wajib atas setiap penduduk dari masing-masing negeri untuk melaksanakan ru'yah di negerinya tanpa menggunakan ru'yah negeri yang lain, walaupun telah menjadi keputusan khalifah selama khalifah tidak mewajibkanya. Dan apabila ia mewajibkanya, maka tidak diperbolehkan untuk menyelisihi perintahnya.” [2]

Wihdatul mathla’, di mana umat islam telah tersebar ke seluruh dunia ini menjadi sulit dipegang, tidak seperti ketika umat Islam perkembangannya masih berkutat di Timur Tengah. Kendatipun demikian pada saat Islam belum tersebar ke seluruh dunia para ulama’ pun banyak yang sudah memegang prinsip ikhtilaful matholi’. Berbicara mathla’ berarti berbicara tentang perputaran bumi dan bulan. Siang hari di Mekkah pada saat yang sama bisa jadi malam hari di belahan bumi yang lain. Jam 8 pagi di Mekkah bisa jadi jam 1 malam di London. Oleh karena itu kalau semua harus sama dengan Mekkah sangat tidak realistis. Termasuk pula puasa Arafah harus dilaksanakan pada saat jama’ah haji sedang wukuf di Arafah oleh seluruh kaum muslimin sedunia itu juga sulit dilaksanakan.

Sebagian orang dengan mudah mengatakan bahwa tanggal satu Syawal yang benar pada tahun ini adalah hari Selasa, karena pada malam Rabu kemarin bulan sudah tinggi. Ucapan  seperti ini menurut kelompok yang kedua adalah ucapan yang tidak memakai ilmu walaupun misalnya benar. Posisi bulan itu mau setinggi berapa pun pada malam Rabu itu tidak ada kaitannya dengan ru’yah pada malam selasa. Bahkan walaupun pada malam selasa itu sebenarnya bulan sudah naik tinggi, akan tetapi jika tidak kelihatan karena terhalang, maka sesuai dengan hadits tentang ru’yah di atas, shoum bisa digenapkan 30 hari.

Inilah perbedaan yang terjadi di kalangan umat  Islam di Indonesia mengenai penentuan shalat hari raya atau tanggal 1 bulan syawal. Masing-masing bersikukuh dengan kebenaran yang diyakininya, dan beramal sesuai dengan keyakinan tersebut.

Namun realitas di tataran bawah, persoalannya tidak sesederhana itu. Perbedaan tersebut secara umum telah memunculkan kebingungan dan keresahan dikalangan masyarakat. Mereka selalu ragu (istilah jawanya mamang) siapa yang harus mereka ikuti serta pihak mana yang benar sehingga amal ibadah mereka juga benar. Apalagi di sebagian masyarakat, perbedaan itu telah memicu konflik dan perseteruan yang memprihatinkan. Perasaan bahwa dirinya sebagai pihak yang benar telah menyebabkan sikap saling menyalahkan satu sama lain. Suasana lebaran yang tidak serempak, yaitu sebagian sudah shalat tapi sebagian masih syiam, sebagian sudah bergembira memakai baju baru dan berangkat ke mushola tapi sebagian masih di rumah dalam keadaan berpuasa, sebagian masjid sudah berkumandang takbir tapi sebagiam masjid masih sunyi dan asyik dengan shalat tarawihnya, dan itu terjadi dalam satu daerah bahkan satu kampung, maka sungguh itu sebuah pemandangan yang lucu, aneh, dan hanya terjadi di abad ini dan di Negara Indonesia ini.

Oleh karena itu, semua pihak harus memikirkan persoalan ini. Jangan biarkan umat kebingungan dan dipaksa untuk ikut berdosa tenggelam dalam fanatisme dan sentiment kelompok. Idiom hari selasa ikut kelompok A dan hari Rabu ikut kelompok B atau hari selasa ikut kelompok A dan hari Rabu ikut pemerintah adalah tak pantas untuk terus didengungkan dan menjadi alat untuk saling membanggakan. Masing-masing pihak terutama para tokoh agama hendaklah bisa bersifat arif, bersikap dewasa dan mampu menjadi pengayom bagi semua pihak bukan hanya bagi kelompoknya. Mengapa kita tidak kembali kepada tradisi yang diwariskan oleh para pendahulu kita, para sahabat, para khalifah, dan para ulama, bagaimana tradisi mereka dalam membuat keputusan masuknya tanggal satu syawal. Tradisi yang mereka wariskan ternyata yang terbaik dan lebih bermaslahat bagi umat, termasuk tradisi mereka memberikan otoritas menentukan tanggal 1 Syawal kepada  penguasa adalah keputusan terbaik yang hingga hari ini masih diikuti oleh semua Negara-negara muslim sedunia kecuali Indonesia.

Hal yang terpenting adalah masing-masing pihak saling menghargai, menghormati, dan tidak mengecam orang lain apalagi memaksa keyakinan orang lain. Perbedaan tersebut hendaknya semakin mendewasakan umat, tidak justru membuat semua orang berpikiran sempit. Mengedepankan ilmu dan kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada egoisitas dan nafsu sesaat. Kemenangan sejati bukanlah karena popularitas kelompok dan banyaknya pengikut, tetapi kemenangan sejati itu karena konsistensi kita kepada ilmu serta sehatnya pemahaman Islam sebagai dasar utama untuk beramal.

Zul fahhmi





[1] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz 6/274-275
[2] Tafsir Al Qurthubi, Juz 2/295-296

26 Jan 2011

MANAGEMEN SYAHWAT


Oleh : Zul Fahmi

Dalam kitab riyadus shalihin juz 1 hadits yang ke 101 rasulullah SAW. menjelaskan bahwa jalan menuju neraka itu adalah menyenangkan dan sangat disukai oleh jiwa, dan sebaliknya jalan menuju surga itu selalu membosankan dan menjenuhkan jiwa. Jelasnya hadits itu berbunyi sebagai berikut :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: حجبت النار بالشهوات، وحجبت الجنة بالمكاره
“ sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : ditutupi neraka dengan syahwat dan ditutupi surga dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. “
Hadits ini menegaskan bahwa jika manusia menginginkan neraka maka amal yang ditempuh selalu menyenangkan dan sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, dan jika manusia menginginkan kebahagiaan di surga maka dia harus selalu siap berhubungan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan dan bertentangan dengan keinginan sahwatnya.
Dalam kitab syarh Riyadus shalihin Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa sahwat adalah sesuatu yang cendrung disukai oleh nafsu yang biasanya bertentangan dengan akal sehat, bertentangan dengan bashirah ( nurani ), aturan-aturan agama dan juga bertentangan dengan sifat keperwiraan manusia. Artinya orang yang sudah terjebak pada sahwatnya maka ia terlena melakukan apa saja yang menyenangkan dirinya, walaupun jika dilihat dari aturan-aturan agama, pertimbangan akal sehat, hati nurani, dan kehormatan dihadapan orang lain, perbuatan-perbuatan tersebut buruk dan tak pantas dilakukan oleh manusia.
Ibnul Qoyyim menjelaskan Bahwa nafsu atau syahwat adalah gejolak jiwa yang bila sudah memuncak reaksinya sangat susah dikendalikan manusia. Orang yang syahwatnya memuncak, maka degup jantungnya kencang dan aliran darahnya cepat. Aliran darah tersebut akan mampu naik ke atas memenuhi otak dan akan mengganggu syaraf-syaraf kesadaranya. Maka dari itu jika sudah sangat kuat keinginannya untuk memenuhi syahwat, maka separuh akalnya telah hilang dan tidak bisa lagi diajak berdiskusi apakah perbuatannya baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya. Ibnul Qoyyim menggambarkan orang yang sudah terperosok kepada syahwat seperti orang yan naik kuda di jalan yang sempit menuju jurang yang dalam. Kuda tersebut tidak bisa diputar dan ditarik untuk mundur ke belakang. Namun jika tidak diundurkan ke belakang maka kuda dan juga penunggangnya pasti celaka terperosok ke dalam jurang.
Berkaitan dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“ janganlah kamu dekati zina karena sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan.”
Maka para mufassir mengatakan bahwa kalimat janganlah kamu mendekati perbuatan zina di sini maksudnya adalah janganlah kamu mendekati (melakukan) perbuatan zina dan juga perbuatan-perbuatan yang bisa mengarah kepada zina. Perbuatan yang bisa mengarah kepada zina disini seperti berkhalwat dengan lawan jenis yang bukan mahram, senang mengumbar pandangan, atau perbuatan-perbuatan lain yang bisa mendorong sesorang melakukan zina. Hal ini dilarang karena jika seseorang telah terbiasa melakukannya maka ia akan mudah sekali terperosok ke dalam zina.
Seperti pula berjudi ia adalah perbuatan yang haram dan dihukumi dosa besar. Maka bermain-main dengan alat yang biasanya digunakan berjudi dilarang pula. Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair menjelaskan bahwa jumhur ulama’ tetap mengharamkan bermai-main dengan alat-alat berjudi seperti kartu judi, catur dan lain-lainnya, walaupun tanpa taruhan uang. Kalaupun ada ulama’ yang membolehkan maka itu mesti dengan syarat bahwa permainan itu sama sekali tidak melalaikan seseorang dari ibadah dan dzikir kepada Allah.
Demikianlah karakter syahwat ia adalah keinginan yang penuh dengan jebakan. Orang yang tidak waspada akan dibuai dengan kenikmatannya dan terkungkung dengan lilitan-lilitan maut yang sangat sulit ia melepaskannya. Hari ini banyak orang terlena dengan perbuatan dosa. Kemaksiatan dan kekejian dipertontonkan dimana-mana, rasa malu menjadi hal yang sangat mahal harganya, dan kegemaran menuruti ambisi menjadi kebanggaan kolektif bersama-sama. hal ini karena Iblis telah berhasil menggiring mayoritas manusia ke kubangan lumpur nafsu yang semua orang bingung harus mencari pegangan apa untuk keluar dari bahaya. Iblis telah berhasil mendorong manusia untuk membangun peradaban syetan secara sistemik, sehingga kemaksiatan menyebar di mana-mana dan orang-orang baik yang berusaha membuat perubahan justru mati terlibas oleh konspirasi jahat yang bermain di balik layar-layar otoritas.
Sedangkan jalan menuju surga adalah jalan yang sulit dan penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Surga adalah adalah puncak kenikmatan dan satu-satunya tempat yang bisa memuaskan sahwat manusia. Di dalamnya ada kedamaian, kemulyaan dan segala kemewahan yang bisa direguk manusia secara abadi tanpa batas akhirnya. Kelezatan surga tidak bisa diungkapkan dengan kata, keadaan sesungguhnya lebih mengagumkan daripada yang pernah terdengar di telinga, dan keindahannya tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia. Maka Kenikmatan yang agung tersebut wajar jika manusia harus meraihnya dengan kepayahan dan kesusahan.
Setiap orang muslim harus memahami bahwa dunia ini adalah medan perjuangan yang Allah menghamparkan berbagai macam ujian untuk memilih manusia yang berkwalitas. Segala macam rona tragedi kehidupan diciptakan oleh Allah untuk memisahkan manusia, siapa yang akan memilih jalan ke surga dan siapa yang memilih jalan ke neraka. Jadi jika surga harus dilalui dengan hal-hal yang menyusahkan maka tidak ada jalan lain bagi manusia yang menginginkan surga kecuali bersabar dalam menempuh segala kesusahan tersebut. Pada prinsipnya hidup adalah perjuangan. Dan segala kesuksesan apapun bentuknya termasuk kesuksesan dalam meraih surga maka harus diperjuangkan dengan segenap daya dan kekuatan manusia. Dan siapa saja enggan menempuh perjuangan yang memayahkan tersebut maka ia tak akan pernah meraih surga atau bahkan bisa jadi ia telah terjerumus ke jalan menuju neraka.
Dalam kitabnya Zaadul Ma’ad Ibnul Qayyim membagi, bahwa perjalanan manusia dalam berjihad ( berjuang ) menjalani hidup ada beberapa tingkatan atau urutan. Pertama adalah jihad melawan diri sendiri, kedua jihad melawan syetan, ketiga jihad melawan kaum munafiq dan keempat adalah jihad melawan orang-orang kafir. Pada urutan yang pertama yakni jihad melawan diri sendiri meliputi jihad dalam mencari ilmu, kemudian jihad dalam mengamalkan ilmu, jihad dalam mendakwahkan ilmu dan terakhir jihad untuk bersabar dalam mencari ilmu hingga mendakwahkan ilmu. Ibnul Qayyim membagi urutan-urutan amal seperti di atas dan semua diistilahkan dengan jihad, itu menunjukkan bahwa semua amalan dari mencari ilmu sampai amal yang paling besar yakni berperang di jalan Allah, maka itu semua membutuhkan perjuangan dan usaha yang sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Karena di dalam semua amal itu ada masyaqqah ( kepayahan ), ada kesulitan dan selalu ada hal-hal yang tidak menyenangkan.
Namun, Para ahli hikmah mengatakan bahwa syahwat ( hawa nafsu ) sesungguhnya seperti binatang buas yang bisa dilatih dan dikendalikan untuk kepentingan hidup manusia. Namun jika tidak dilatih dan dikendalikan syahwat tersebut akan sangat liar dan bisa mencelakakan manusia. Allah menurunkan syare’at di bumi ini tujuannya adalah mengajari manusia bagaimana melatih dan mengendalikan syahwat tersebut agar bermanfaat baik bagi manusia. Syahwat yang bermanfaat adalah syahwat yang cenderung kepada kebaikan dan yang bisa diarahkan untuk selalu taat dan mengabdi kepada Allah Swt. sementara syahwat yang belum bisa dikendalikan adalah syahwat yang cendrung kepada keburukan dan menjauhi kebaikan.
Orang yang bisa melatih dan mengendalikan nafsunya adalah orang yang keadaanya telah berbeda dengan keterangan hadits di atas. Orang yang telah sampai pada derajat ini adalah orang yang tidak lagi merasa malas dan tersiksa karena ketaatannya dan tidak merasa lalai dan nikmat ketika menempuh jalan ke neraka. Tetapi sebaliknya orang tersebut merasa nyaman dalam menjalani perjuangannya meraih surga dan merasa tersiksa ketika berbuat dosa. Orang seperti inilah orang yang keimanan terlah menghujam dalam ke dadanya, dan kecintaannya kerpada Allah telah mengalahkan segalanya. Keadaan seperti inilah yang telah mendorong Khalid bin Walid untuk mengatakan bahwa malam-malam ribathnya di medan jihad itu lebih dicintainya daripada malam-malam pengantin bersama istrinya. Keadaan seperti ini pula yang mendorong Mush’ab bin Umair meninggalkan seluruh kemewahan hidup bersama orang tuanya dan tenggelam dalam kemiskinan dalam rangka mempertahankan keislamannya. Keadaan seperti ini pula yang mendorong Abu Bakar menyerahkan semua hartanya untuk biaya perang, mendorong Ali bin Abi Thalib menggantikan posisi Nabi mengahadapi ancaman kematian saat mau berhijrah, dan juga mendorong Bilal untuk kuat dalam menghadapi siksaan tuannya karena masuk Islam. Dan keadaan seperti ini yang telah mendorong imam syafi’I, imam bukhari, imam Ahmad bin Hambal, imam Ghazali dan imam-imam yang lainnya untuk melanglang negeri, meninggalkan hidup mapan mereka, dan rela bersusah payah demi mencari dan mengembangkan keilmuan mereka. Mereka telah berhasil membalik kenyataan bahwa jalan menuju surga penuh dengan kenikmatan, dan jalan menuju neraka penuh dengan kesusahan.

Followers