10 Jul 2009

HARAMNYA DAGING ANJING

Saat ini, ada sebagian dari kaum muslimin yang secara sadar atau tidak, telah menghina dan merendahkan Rasulullah SAW, dengan pikiran dan pemahaman yang mereka dakwahkan kemana-mana, yang pemahaman itu sangat jauh dari pemahaman islam yang benar, dan bertentangan dengan standart ilmu yang telah disepakati oleh para ulama', baik ulama' salaf maupun kholaf, hingga ulama'-ulama' komtemporer yang tsiqoh dan berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip ulama' salaf.

Orang-orang yang menghina dan merendahkan Rasulullah tersebut adalah orang-orang yang saat ini berkata dimana-mana, bahwa ada sebagian dari hadits-hadits Rasulullah SAW, yang bertentangan isinya dengan Al-qur'an, walaupun hadits-hadits itu shohih baik matan maupun sanadnya. Mereka berkesimpulan, bahwa setiap hadits yang isinya tidak sesuai dengan Al-qur'an {menurut mereka}, maka hadits itu adalah hadits yang palsu.
Konsekwensi dari pemahaman mereka ini, adalah penghalalan anjing, ular dan semua binatang yang telah diharamkan oleh hadits, namun tidak diharamkan oleh Al-qur'an. Mereka mengatakan, bahwa Al-qur'an hanya mengharamkan empat macam makanan saja, yaitu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan tidak menyebut asma Allah. Sebagaimana firman-NYA,
 
"Sesungguhnya Allah hanyalah mengharamkan bagi kamu sekalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih tidak atas nama Allah.."{QS.Al-Baqoroh:173}

Mereka juga mengatakan bahwa orang yang sudah masuk ke dalam neraka, maka tidak akan keluar selamanya walaupun ia beriman. Karena Al-qur'an mengatakan "Khoolidiina fiiha" kalaupun ada hadits yang menerangkanya{walaupun shohih} namun karena bertentangan dengan Al-qur'an, maka hadits itu palsu. Itulah dua contoh pemahaman mereka, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainya. Mereka mempertentangkan antara Al-qur'an dan hadits dan menilai keshohihan hadits dengan cara membandingkanya dengan Al-qur'an, bukan dengan "Al-jarhu wat Ta'diil" sebagaimana yang telah disepakati dan dilakukan oleh para ulama'.
Orang yang menganggap bahwa ada hadits{As-Sunah} yang bertentangan dengan Al-qur'an, atau orang mengatakan bahwa daging ular dan anjing itu tidak haram karena haditsnya tidak bisa dipercaya, atau mengatakan bahwa orang yang sudah di neraka tidak bisa naik ke surga karena haditsnya juga bohong, maka orang tersebut minimal telah terjebak dalam dua keburukan. Pertama, orang tersebut secara tidak langsung telah menganggap bahwa Rasulullah SAW. bodoh, tidak memahami Al-qur'an, sehingga ucapanya menyelisihi al-qur'an. Kedua, kalau mereka tidak membodohkan Rasulullah seperti itu, maka mereka telah menuduh Rasulullah berkata dusta dan mendurhakai Allah Ta'ala, sebab beliau berani mengharamkan sesuatu yang tidak pernah diharamkan oleh Allah. Karena menurut ilmu hadits, hadits yang mereka katakan palsu itu, sungguh bisa dibuktikan keshohihanya bahwa itu benar-benar ucapan Rasulullah SAW. Berarti kalau dikatakan bertentangan dengan Al-qur'an, maka sama saja dengan mengatakan, bahwa Rasul telah berkata sesuatu yang bertentangan dengan Al-qur'an atau sama saja mengatakan Rasul salah dalam memahami Al-qur'an.
Di tengah keberanian dan kesombongan mereka dalam menyebarkan pemahaman tersebut, ada syubhat dan kesalahan besar, yang akan bisa diketahui oleh semua orang yang sedikit saja mengerti dasar-dasar dienul islam. Syubhat dan kesalahan mereka itu bisa diperinci sebagai berikut:
Pertama, mereka tidak memahami bagaimanakah membedakan antara Al-qur'an dan hadits, serta tidak memahami ilmu hadits, sehingga tidak tahu dengan kriteria apa sebuah hadits itu harus ditolak atau diterima. Seharusnya, sebuah hadits jika ingin diketahui palsu atau tidaknya, harus dilihat kedudukan sanad dan matanya, tingkatan-tingkatan rowinya, dengan sistem ilmu yang telah disepakati dan dikodifikasi oleh para ulama' ahli hadits. Atau seseorang bisa merujuk dari kitab-kitab takhrij yang menjelaskan macam-macam kedudukan hadits tersebut.
Kalau sebuah hadits sudah bisa dipastikan keshohihanya menurut metode ini, apalagi hadits itu sampai derajat mutawatir, maka hadits itu mutlak harus diterima sebagai hujjah. Dalam kitab "Al-lu'lu'u Wal Marjan", dikatakan, bahwa hadits shohih dan Al-qur'an, kedudukanya sama-sama wahyu Allah, Allah Ta'ala menegaskan,

"Dan tiadalah Rasul itu berkata menurut kemauan hawa nafsunya. Tetapi ia adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."{QS.An-Najm: 3-4}

Maka dari itu, Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam "Majmu' Fatawa",

فدين المسلمين مبني علي كتاب الله والسنة رسول الله صلي الله عليه وسلم وما اتفقت عليه الائمة فهذه الثلا ثة هي اصول معصومة

"Dienul Islam itu dibangun di atas landasan kitabullah, sunah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para ulama'. Tiga hal ini, adalah landasan yang maksum.{lepas dari kesalahan}"

Kalaupun ada hadits shohih yang nampaknya bertentangan dengan Al-qur'an seperti yang mereka katakan, maka sebenarnya hal itu tidak bertentangan, jika diteliti dengan qoidah-qoidah bahasa Arab dan uslubnya, serta qoidah-qoidah ushul fiqih yang benar. Artinya, kalau ada orang yang berpandangan bahwa sebuah hadits bertentangan isinya dengan Al-qur'an, maka sesungguhnya yang bermasalah bukan haditsnya tetapi akalnya yang bodoh dan tidak punya cukup alat untuk meneliti hadits dan Al-qur'an dengan cara yang benar.
Kedua, mereka juga tidak faham bagaimanakah kedudukan hadits disisi Al-qur'an. Mereka menganggap apa yang tercantum dalam hadits, harus tercantum pula dalam Al-qur'an, dan apa-apa yang diterangkan hadits namun tidak diterangkan dalam Al-qur'an, maka hadits itu adalah hadits palsu yang harus dibuang. Sungguh ini kekeliruan yang sangat fatal. Kalau qoidah seperti ini dijadikan pegangan oleh umat Islam? Akan banyak hadits-hadits Rasulullah yang dibuang, dan akan banyak sekali hukum-hukum fikih yang tidak bisa dirumuskan. Karena perincian sholat, perincian haji, puasa, zakat dan ibadah-ibadah yang lain, hanya ada dalam hadits dan tidak ada dalam Al-qur'an.
Imam Syafi'i rahimahulloh dalam kitabnya "Ar-Risalah" menjelaskan bagaimanakah kedudukan hadits di sisi Al-qur'an. Pertama, hadits sebagai penguat Al-qur'an, artinya hal-hal yang sudah diterangkan dalam Al-qur'an juga diterangkan kembali oleh hadits. Kedua, hadits sebagai penafsir atau pemerinci Al-qur'an. Artinya hal-hal yang diterangkan secara global dalam Al-qur'an, maka diperinci oleh hadits. Hal-hal yang bersifat mutlak dan 'am, maka ditaqyid dan ditakhsis oleh hadits. Contohnya adalah hadits-hadits tentang tata cara sholat, haji, zakat, juga hadits yang menyatakan bahwa orang beriman tidak akan kekal di neraka seperti kekalnya orang kafir.
Kemudian yang ketiga, hadits {As-Sunah}berfungsi sebagai pembuat hukum baru yang belum ditetapkan oleh Al-qur'an. Artinya hukum-hukum yang tidak ada dalam Al-qur'an, maka ditetapkan oleh hadits. Contohnya adalah hadits-hadits yang mengharamkan binatang buas, binatang berkuku tajam, bertaring dan lain-lainya. Dalil tentang persoalan ini adalah firman Allah Ta'ala,


"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."{QS.Al-Hasyr: 7}

Itulah penjelasan Imam Syafi'i, orang yang sangat 'alim, sangat cerdas dan brilian akalnya, yang tidak akan berpendapat hanya dengan mengandalkan keberanianya saja, tetapi dengan ilmu yang mendalam dan penuh kehati-hatian.
Kesalahan yang ketiga, adalah prinsip mereka yang mencukupkan diri dalam mempelajari Islam hanya dengan membaca Al-qur'an dan matan-matan hadits saja, tanpa mau merujuk kepada pendapat para ulama'. Mereka tidak mau mempelajari ayat-ayat Al-qur'an bersama kitab-kitab tafsirnya, juga tidak mempelajari hadits-hadits Nabi sekaligus syarahnya. Mereka langsung menyimpulkan hukum dari Al-qur'an dan hadits yang mereka baca, tanpa melihat qoul-qoul ulama' yang menjelaskanya. Padahal nampak sekali mereka bukanlah orang yang faham bahasa Arab dengan baik { tata bahasa maupun sastranya}, ushul fiqih, ilmu hadits serta perangkat ilmu lain yang menjadi syarat seseorang punya otoritas untuk menyimpulkan dan mengisthimbat hukum dari Al-qur'an dan As-sunah secara langsung.
Banyak sekali umat Islam khususnya kaum awwam, yang terpukau dan hanyut dengan slogan-slogan mereka yang lantang, bahwa umat Islam harus kembali pada Al-qur'an dan sunah. Namun sebenarnya, kembali kepada Al-qur'an dan Sunah yang mereka maksudkan itu adalah kembali pada Al-qur'an dan Sunah sesuai dengan pikiran dan pemahaman mereka yang kacau, dengan meninggalkan pendapat dan kesepakatan para ulama' yang jauh lebih pandai, lebih luas ilmunya dan lebih mengerti bagaimana cara kembali kepada Al-qur'an dan sunah yang benar daripada mereka.
Bagaimana mereka bisa dikatakan kembali pada Qur'an dan Sunah, kalau kenyataanya mereka lari dari perintah Al-qur'an dan As-sunah? Allah Ta'ala berfirman,


"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."{QS.An-Nisa':115}
Itulah syubhat-syubhat mereka, yang menyebabkan mereka terjebak dalam perbuatan dosa dan bid'ah, yakni menghina Rasul, melecehka para ulama', dengan mempertentangkan antara isi Al-qur'an dengan As-sunah.
Allah Ta'ala berfirman,


" Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan."{QS.Al-Ahzab : 57}

Wallohu a'lamu bi showaab.
Zul Fahmi

No comments :

Followers