29 Jul 2009

ETIKA MENJAWAB SOAL

Oleh : Zul Fahmi

Bagi para du’at, para penceramah, dan orang-orang yang senantiasa bergelut dengan ilmu dien dan penyebaranya, mejawab sebuah pertanyaan adalah hal yang sering dilakukan baik dalam forum-forum yang formal maupun nonformal. Aktifitas bertanya dan menjawab soal bisa terjadi kapan saja, di mana saja dan dalam keadaan apa saja. Namun dalam hal ilmu agama (Islam), sekarang ini mungkin masih banyak orang yang belum memahami bahwa dalam hal menjawab sebuah pertanyaan, ada beberapa adab dan etika yang diajarkan oleh Islam sendiri yang telah dipraktekkan oleh para sahabat, tabi’in dan para ulama’ yang setiap saat senantiasa bergelut dengan ilmu dan pertanyaan. Nampak dibeberapa majlis pengajian, seorang ustadz atau da’I, sering menjawab sebuah pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang bernuansa tipuan, tidak ilmiah dan sering tidak bisa menyelesaikan persoalan.
Dari hadits-hadits Rasulullah SAW juga kisah-kisah para sahabat dan para ulama’, maka ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dalam hal bagaimanakah etika dan adab-adab yang harus dilakukan seseorang ketika menjawab sebuah pertanyaan,
Menjawabnya Dengan Ilmu Yang Benar.

Orang tidak dibenarkan menjawab pertanyaan dengan kira-kira saja, tanpa memahami landasan-landasan kebenaranya. Apalagi jawaban-jawaban itu membutuhkan dalil-dalil atau dasar-dasar yang I’timad (kokoh). Jangan sampai seorang da’i berbicara tentang fikih, aqidah, tafsir sebuah ayat dan lain sebagainya, hanya dengan pendapat akal dan interpretasinya semata.
Allah Ta’ala berfirman,

“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(QS.Al-Isro’: 36)

Ibnu Abbas berkata tentang ayat ini bahwa, “wa laa taqfu” artinya adalah “janganlah kamu berkata tentang sesuatu (yang kamu tidak mengilmuinya)”. Sementara Ibnu Katsier mengatakan tentang ayat diatas, ”Sesungguhnya Allah melarang berkata tentang ilmu dengan prasangka saja”
Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa yang berkata tentang Al-qur’an dengan pendapatnya semata atau dengan apa yang ia tidak mengetahuinya, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”
Khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu berkata,” Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan menjadi pijakanku jika akau mengatakan sesuatu tentang kitab Allah yang aku tidak tahu tafsirnya.”
Said bin Jubair radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sungguh celaka orang yang mengatakan apa-apa yang ia tidak mengetahuinya dengan ucapan aku tahu”
Sementara itu Abu Husain juga berkata, ”sungguh diantara kalian ini mudah berfatwa dalam satu urusan yang seandainya hal itu ditanyakan kepada Umar, ia akan mengumpulkan seluruh ahli badar untuk menjawabnya”
Demikianlah riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa dalam menjawab sebuah pertanyaan seseorang harus mengetahui dengan benar ilmunya, dan janganlah ia terburu-buru menjawabya sebelum betul-betul memahaminya. Janganlah orang terlalu berani mengeluarkan kata-kata dan fatwa tentang ilmu agama hanya dengan pendapat dan persangkaaanya saja.

Jangan Tamak Untuk Mendapatkan Dan Menjawab Pertanyaan.
Menjawab pertanyaan akan berujung pada dua kemungkinan, pertama salah dan kedua benar. Dan seseorang harus berhati-hati dan jangan tamak melakukanya, karena jika ternyata salah maka semua itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Apalagi hal itu dibarengi dengan ketidak hati-hatianya atau kecerobohanya.
Tamak dalam bertanya adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan, maka demikian pula tamak dalam menjawab pertanyaan juga tidak diperbolehkan. Dalam Al-qur’an, banyak ayat-ayat yang isinya Allah melarang orang bertanya, dengan hal-hal yang bila dijawab justru menyulitkan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah juga pernah marah ketika didesak beberapa pertanyaan yang dirasa tidak ada manfaatnya. Para ulama’ juga tidak suka jika ada orang yang bertanya dengan hal-hal yang belum terjadi, atau dengan hal-hal yang memang belum saatnya untuk ditanyakan. Semua itu menunjukkan bahwa tamak dalam bertanya dilarang, begitu pula tamak dalam menjawab juga dilarang.
Dari Nafi’ dia menyebutkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya sebuah masalah kepada Ibnu Umar. Namun ia malah menundukkan kepalanya dan sama sekali tidak menjawab pertanyaan itu. Orang-orang mengira bahwa beliau tidak mendengar pertanyaan tersebut. Kemudian laki-laki tersebut kembali berkata,”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu. Apakah kamu tidak mendengar pertanyaanku?” Ibnu Umar menjawab, “ Aku mendengarnya akan tetapi kalian seakan-akan mengira bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban kepadaku atas pertanyaan yang kalian ajukan kepadaku. Oleh karena itu tinggalkanlah aku terlebih dahulu sampai kami bisa memahami pertanyaanmu. Jika aku menemukan jawabanya, maka akupun akan menyampaikan jawaban terebut. Akan tetapi jika tidak, maka akupun akan memberitahukan kepadamu bahwa aku tidak memiliki pengetahuan tentang hal itu.”

Sahnun seorang ulama’ ahli fikih bermadzhab Maliki berkata bahwa para ulama’ terdahulu jika hendak mengucapkan sebuah kalimat ( dalam rangka menjawab pertanyaan), maka ia terlebih dulu akan mengatur niatnya dengan benar. Seandainya ucapanya itu sangat penting bagi banyak orang, maka ia akan ( berfikir) untuk menahan atau meneruskanya. Dia melakukan itu karena khawatir kalau niatnya berubah menjadi kesombongan. Namun apabila diam ia mulai merasa sombong, maka ia akan mulai bicara lagi. Ketika itu ia berkata,” Orang yang paling berani mengeluarkan fatwa, maka dia itu adalah orang yang paling sedikit ilmunya.”

Dalam sebuah riwayat juga dikisahkan,bahwa pernah pada suatu hari Imam malik radhiyallahu’anhu ditanya oleh seorang muridnya dengan empat puluh buah pertanyaan, namun dari empat puluh tersebut hanya lima yang dijawabnya sedangkan tiga puluh lima yang lainya dijawab dengan ucapan “saya tidak tahu”. Kalau difikir, tidak mungkin orang fakih seperti Imam Malik tidak tahu banyak persoalan? Maka yang terjadi sebenarnya adalah ,beliau tahu jawabanya tetapi tidak mau menjawab karena sangat berhati-hati dan tidak mau terjerumus pada kesalahan.

Maka dari itu, seandainya sekarang ini, di jaman yang sudah serba maju, berbagai kejadian dan persoalan juga semakin komplek, kalau ada orang yang sangat gampang menjawab pertanyaan, dan tidak pernah berkata saya tidak tahu terhadap seluruh pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka ialah orang yang telah bertindak ceroboh dan tidak mau berhati-hati mengantisipasi kesalahan.

Demikianlah para ulama’ dahulu, mereka tidak merasa haus menerima pertanyaan, dan tidak tamak untuk menjawab pertanyaan, namun mereka lebih senang menghindar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut agar terbebas dari tanggungjawab dan kesalahan. Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Barang siapa yang selalu menjawab (berfatwa) terhadap setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya, maka ia telah gila.”

Menjawab Dengan Bahasa Yang Sopan Dan Memahamkan
Dalam menjawab sebuah pertanyaan, kepada siapapun haruslah dengan cara-cara yang sopan, tawadlu’ serta menggunakan bahasa yang enak, santun dan tidak membingungkan. Jangan membeda-bedakan status dan kedudukan masing-masing penanya, semuanya harus sama-sama direspon dan diperhatikan. Tidak pandang miskin atau kaya, pejabat atau orang biasa, orang berkedudukan ataupun orang pinggiran, juga golonganya atau bukan. Bukankah Rasulullah SAW pernah ditegur oleh Allah SWT, karena lebih memperhatikan pertanyaan orang yang dianggap memiliki pengaruh bagi kaumnya daripada pertanyaan seorang tua yang dirasa tidak memiliki keistimewaan yang sama.
Banyak orang menganggap bahwa orang yang bertanya selalu dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan dan kebodohanya, padahal tidaklah demikian. Banyak orang yang bertanya, tujuanya hanya sekedar menguji pengetahuan orang yang ditanya, atau ingin mendalami pikiran dan mengetahui pendapatnya. Ada pula orang yang bertanya agar jawaban dari pertanyaan tersebut diketahui oleh orang banyak . Terhadap orang yang seperti ini janganlah sekali-kali meremehkan dan membodohkanya, atau menjawabnya dengan cara berpura-pura (mengilmuinya). Dan terkadang, menjawab dengan ucapan “saya tidak tahu” itu lebih terhormat daripada memaksa menjawab tetapi tidak memahami persoalan. Karena jika dipaksa seperti itu, maka harga dirilah yang akan menjadi korban. Lebih parah lagi kalau sebuah pertanyaan ditanggapi dengan kata-kata yang keras, serta emosi yang tak terkendali, tentu ini sangat tidak pantas dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang da’i.

Sementara itu bagi orang-oang yang memang ingin mendapatkan pengetahuan dan kejelasan, maka hendaklah dijawab dan dijelaskan dengan cara yang paling baik dan memahamkan. Jawaban itu tentu saja adalah jawaban yang ada landasan dalil dan nilai ilmiahnya, serta menggunakan metode dan bahasa yang sesuai dengan tingkat kecerdasan penanya.

Untuk memberikan jawaban yang baik dan benar, maka janganlah terbiasa menjawab sebuah pertanyaan dengan mengedepankan dogma dan doktrin, yang menonjolkan pribadi dan golongan sebagai barometer kebenaranya. Dan juga, jangan pula terlalu mendominasi jawaban dengan pendapat dan pikiran sendiri, dengan meninggalkan pendapat atau qoul-qoul para ulama’. Karena, ini adalah ilmu agama yang sermua orang harus jelas kemana ia meng-intisabkanya. Di samping itu umat tak akan pernah pandai dan berkembang pengetahuanya jika hanya disuguhi dengan dogma, tanpa mengetahui sumber-sumbernya(dalil-dalilnya) dengan manhaj dan herarki keilmuan yang menjadi kesepakatan para ulama’.
Membaca Istighfar

Allah dan Rasul-NYA telah mengajarkan bahwa setiap muslim yang telah selesai melaksanakan tugas dan amanatnya, maka diperintahkan untuk beristighfar terhadap Allah SWT, sebagai ekspresi sikaf tawadlu’nya dan juga penghapus dosa apabila secara tidak sengaja telah melakukan kesalahan-kesalahan di dalamnya. Dalam Al-qur’an surat Al-baqoroh ayat 58 Allah memerintahkan kepada Bani Israil yang diberi kemenangan memasuki palestina (al-Quds) untuk beristighfar kepada Allah SWT sebelum atau ketika memasukinya. Dalam surat An-Nashr, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin utnuk beristighfar ketika berhasil membuka kota Mekkah dan memasukinya.

Menjawab pertanyaan adalah sebuah amal amanah yang nampaknya sederhana, namun bisa berdampak besar jika keliru dalam menjawabnya. Karena jawaban akan dianggap sebagai pedoman ,dan tentu saja akan diamalkan. Apa salahnya jika sebuah amal yang mengandung resiko kesalahan, dilakukan dan ditutup dengan membaca istighfar.

No comments :

Followers