24 Aug 2010

PERSOALAN ARAH KIBLAT



Oleh : Zul Fahmi

Akhir-akhir ini muncul persoalan di tengah-tengah umat Islam seputar masalah penentuan arah kiblat. Di masjid-masjid sedang ramai dilakukan perubahan arah kiblat yang menurut pengumuman Departemen Agama di berbagai media, telah mengalami pergeseran karena berkali-kali terjadi bencana gempa khususnya di Indonesia.
Ramainya perubahan arah kiblat yang dilakukan oleh masing-masing pengurus masjid, bukanlah hal yang sederhana, namun ternyata menimbulkan persoalan yang sedikit rumit dan membingungkan. Di Sebagian masjid memang tidak terjadi kebingungan itu, namun di masjid-masjid yang lain hal itu terjadi. Misalnya beberapa masjid harus menggeser arah kiblatnya hingga bagian depannya hilang dua shaf. Ada pula masjid yang harus menggeser arahnya hampir 40 derajat. Ada juga masjid yang sudah kadung dibangun dengan susah payah, namun ternyata kiblatnya salah total. Bahkan ada wacana bahwa masjid-masjid itu akan dibongkar dan dan dibangun ulang. Hal ini telah menimbukan polemik di masyarakat, baik antar pengurus masjid maupun antar masyarakat umum apakah hanya menggeser posisi sholat atau membongkar masjid yang sudah berdiri megah. Bagaimana pula dengan masjid yang pergeserannya cukup tajam, apakah juga harus dibongkar dan dibangun yang baru atau cukup diubah posisi sholatnya.

MENGHADAP KIBLAT ADALAH SYARAT SAH DALAM SHOLAT

Menghadap arah kiblat hukumnya wajib dan menjadi syarat sahnya sholat. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 144 Allah Ta’ala berfirman :

“ Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. “ ( QS. Al-Baqoroh :144)
Nabi SAW. bersabda seorang sahabat kholad bin Rafi’ Al-Anshari :
إذَا قُمْتَ إلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ
“ apabila kamu sholat maka sempurnakanlah wudlumu kemudian menghadaplah ke kiblat “( Hadits riwayat Bukhori dan Muslim )
An-Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)
Ayat dan hadits di atas menjadi dalil bahwa dalam melakukan sholat wajib menghadap kiblat, dan tidak sah hukunya jika tidak menghadap kiblat. Namun dalam keadaan tertentu diperbolehkan melakukan shalat dengan tidak menghadap kiblat.
1. Dalam keadaan takut
Dalam keadaan takut misalnya ketika melakukan peperangan, atau ada ancaman binatang buas, atau ada bahaya yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“ Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”( QS. Al-Baqoroh : 239 )

Imam Ibnu Katsier dalam tafsirnya mengatakan bahwa kata farijaalan au rukbaanan, artinya adalah shalatlah dengan keadaan bagaimanapun, baik dengan menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat.

2. Melakukan shalat sunah di atas kendaraan.
Orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan boleh menghadap ke arah yang sesuai dengan arah kendaraannya berjalan. Hanya saja ketika takbiratul ihram ia harus menghadap ke arah kiblat.
Sebuah hadits dari Jabir ra. Berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ
نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“ Adalah Rasulullah SAW. pernah shalat di atas kendaraannya kearah mana saja kendaraannya menghadap. Dan apabila beliau hendak shalat fardhu maka beliau turun dan menghadap kiblat “ ( Hadits riwayat Bukhori )

3. Tidak mengetahui arah kiblat
Apabila arah kiblat tidak diketahui maka hendaklah menghadap kearah mana saja yang diyakini.
Sebuah hadits dari Amir bin Rabi’ah dari ayahnya berkata :

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ فَلَمْ نَدْرِ أَيْنَ الْقِبْلَةُ فَصَلَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا عَلَى حِيَالِهِ فَلَمَّا أَصْبَحْنَا ذَكَرْنَا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَ
{ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ }
“ kami pernah bersama Nabi SAW. dalam sebuah perjalanan di malam yang gelap gulita dan tidak mengetahui arah kiblat. Maka kemudian shalatlah kami menurut pendapat masing-masing. Setelah waktu shubuh kami beritahukan kepada Nabi SAW. maka ketika itu turunlah ayat “ maka kemana saja kamu menghadap, disitulah arah yang disukai Allah “ ( hadits riwayat At-Titmidzi )

KIBLAT DAN PENDAPAT TENTANG MENGHADAP KIBLAT

Mengenai arah kiblat ada dua hal yang perlu dijelaskan yaitu apa pengertian kiblat dan bagaimana yang dimaksud dengan menghadap kiblat.
Kiblat sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab fikih adalah arah ka’bah atau ‘ainul ka’bah yaitu fisik dari bangunan ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Mughnil Muhtaj salah satu kitab yang masyhur dikalangan madzhab Syafi’I disebutkan kiblat secara bahasa adalah arah, dan yang dimaksud dengannya adalah bangunan ka’bah itu sendiri. Disebut kiblat karena kaum muslimin sholat menghadapnya, dan disebut ka’bah karena ketinggiannya.
Sedangkan yang dimaksud menghadap arah kiblat adalah menghadapkan dada menuju arah kiblat ketika melaakukan shalat.
Dalam kitab Al-fiqh ala Al-Madzahibul Al-‘Arba’ah disebutkan bahwa bagi orang yang bermukim di mekkah atau dekat dengannya, maka shalatnya tidak sah kecuali dengan menghadap kiblat ( ka’bah ) secara yakin selama hal itu memungkinkan. Namun jika tidak memungkinkan, maka hendaknya ia berijtihad untuk menghadap ainul ka’bah, karena tidak cukup hanya menyamakan arah saja selama masih muqim di mekkah. sedangkan bagi orang yang bertempat di daerah yang tinggi ( di atas bukit ) atau di daerah yang rendah, yang tidak mungkin ketika shalat bisa mengarah tepat ke ka’bah, maka sah shalatnya jika ia menghadap ke arah yang bertepatan di atas ka’bah atau di bawah ka’bah. Karena menghadap ke udara di atas ka’bah atau menghadap ke tanah di bawah bangunan ka’bah sama halnya dengan menghadap ke arah bangunan ka’bah. Hal ini disepakati oleh semua madzhab kecuali oleh Malikiyah
Sedangkan orang yang hidup di Madinah maka kiblat mereka adalah mihrabnya masjid nabawi, karena mihrab itu diletakkan oleh Nabi SAW. berdasarkan wahyu. Dan tidak wajib bagi mereka berusaha menghadap kepada ‘ainul ka’bah.
Abdurrahman Al-Jaziiri mengatakan bahwa apabila penduduk Madinah bergeser kiblatnya dari ka’bah baik ke kanan atau ke kiri, maka shalatnya tetap sah. Karena inhiraf atau bergeseran yang sedikit itu tidak merusak shalat dan masih bisa dikatakan searah dengan kiblat.
Pendapat sebagaimana penjelasan di atas adalah pendapat jumhur ulama’. Dalil-dalil yang mereka sebutkan diantaranya adalah :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya.
Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih.)
Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa menghadap ke arah kiblat itu harus persis ke bangunan ka’bah. Pendapat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah. Mereka berdalil
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)
Yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,
هَذِهِ الْقِبْلَةُ
“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330).
Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab.
Pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa orang yang tidak bisa melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja berdasarkan hadits “ antara arah timur dan barat ada kiblat “, dan pendapat kelompok Syafi’iyah, yang mengatakan bahwa harus menghadap persis kea rah ka’bah berdasarkan pada sebuah hadits “ inilah arah kiblat “ adalah dalil-dalil yang bisa dikompromikan.
Hadits yang digunakan oleh golongan Syafi’iyah adalah hadits untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung, sedangkan hadits yang digunakan oleh kelompok jumhur adalah hadits bagi orang yang jauh dan tidak bisa melihat ka’bah. Sehingga dapat disimpulkan :
1. Bagi orang yang bisa melihat ka’bah secara langsung, maka ia punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
2. Namun jika seseorang berada jauh dari Ka’bah, maka cukuplah baginya menghadap ke arahnya saja.

KESIMPULAN

Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa berkaitan dengan perubahan arah kiblat di Indonesia dan sekitarnya sebagaimana pengumuman MUI maka umat Islam tidak perlu merubah posisi sholat mereka. Kewajiban menghadap ke arah kiblat persis ke bangunan ka’bah itu berlaku bagi orang yang mukim di mekkah dan bisa menyaksikan bangunan ka’bah. Sementara bagi orang yang berada jauh dari kota mekkah mereka tidak punya kewajiban untuk menghadap kiblat persis ke bangunan ka’bah.
Ash-shon’ani dalam kitabnya subulus salam mengatakan : “Ada yang mengatakan bahwa kami akan berusaha menghadap arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”
Seperti yang disebutkan dalam kitab subulus salam tersebut bahwa menghadap arah kiblat persis ke bangunan ka’bah adalah pekerjaan yang sangat sulit bagi orang hidup jauh dari mekkah. Padahal dien ini diturunkan bukan untuk mempersulit tetapi untuk mempermudah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam
Dari hadits di atas bisa disimpulkan bahwa apabila seseorang memang mampu menghadap kiblat persis ke arah bangunan ka’bah maka itu adalah yang lebih utama. Tetapi jika hal itu menimbulkan kesulitan dan tidak mungkin dilakukan maka tidak mempersulit diri adalah tindakan yang lebih utama.
Kita tahu bahwa bumi itu bulat dan semua wilayah yang jaraknya jauh dari Mekkah seperti Negara Indonesia itu tidak mungkin bisa orang yang melakukan shalat bisa menghadapkan dirinya ( dadanya ) ketika sholat, persis ke arah bangunan ka’bah, tetapi pasti ke arah udara atau ruangan hampa di atas ka’bah.
Maka dari itu berkaitan dengan pengumuman MUI atau DEPAG bahwa arah kiblat mengalami pergeseran, kaum muslimin tidak perlu merubah arah kiblatnya jika hal itu menimbulkan kesulitan atau masalah-masalah yang tidak diinginkan, apalagi harus merobohkan masjid yang sudah terlanjur dibangun. Namun jika perubahan kiblat tersebut tidak menimbulkan kesulitan dan juga tidak menimbulkan kebingungan, maka hal itu baik- baik saja dilakukan.

BAHAN BACAAN
Syarh shahih Muslim, Imam Nawawi.
Mughnil Muhtaj, Imam khatib Asy-Syirbini.
Al-fiqh ala Al-madzahibu Al-arba’ah, Syaikh Abdurrohman Al-jaziiri.
Nailul author, imam Syaukani
Subulus salam syarh bulugul marom, Imam Ash-Shan’ani.

No comments :

Followers