18 Sept 2011

PERBEDAAN SHALAT HARI RAYA DI INDONESIA


PERBEDAAN SHALAT HARI RAYA DI INDONESIA


Di Indonesia, Penetapan Hari Raya Idul Fitri atau tanggal satu bulan Syawal, telah menjadi persoalan yang cukup membingungkan dan meresahkan, terutama kaum awam yang kurang memahami hakekat persoalan. Pada malam hari sebelum pelaksanaan sholat Ied, Keresahan dan kebingungan ini sangat terasa sekali, dari perselisihan antar pengurus masjid atau panitia sholat Ied, kepanikan mencari informasi kesana- kemari, pengumuman shalat Ied yang berkali-kali dan berubah-rubah dalam satu masjid, jadwal khotib yang kacau karena hari yang dipilih khotib berlainan dengan panitia sholat Ied, sampai dengan  kepengurusan zakat fitri, serta persiapan tempat dan peralatan shalat yang juga ikut kacau. Bahkan, perselisihan itu gaungnya sudah bisa didengar dan dirasakan sejak awal Ramadhan, karena sebagian pihak telah membicarakannya di mimbar-mimbar khutbah jum'at, pengajian-pengajian umum, atau brosur-brosur yang ditempel di masjid-masjid dan dibagikan kepada kaum muslimin. Mereka mengumumkan hari pelaksanaan sholat Ied sejak awal bulan Ramadhan padahal pemerintah dalam hal ini Dewan Itsbat belum menetapkanya dengan pasti, karena harus menunggu hasil Ru'yatul Hilal di akhir bulan Ramadhan.

Ini adalah fenomena yang sangat memprihatinkan, shalat hari raya yang sebaiknya dilaksanakan bersama-sama oleh seluruh umat Islam dalam satu kawasan, atau daerah satu mathla', terpaksa harus diwarnai dengan perselisihan, yang dalam hal ini tidak ada pihak yang diuntungkan kecuali mereka orang-orang kafir, musuh-musuh Islam yang sangat menginginkan perselisihan dan perpecahan umat Islam.

Dalam menentukan masuknya tanggal satu bulan Ramadhan atau tanggal satu bulan Syawal, ada dua metode yang dikenal oleh umat Islam saat ini. Pertama Ru'yatul Hilal, yang kedua dengan Hisab. Ru'yatul Hilal adalah menyaksikan hilal di akhir bulan dan menyempurnakannya menjadi tiga puluh hari apabila ada penghalang, Sedangkan hisab adalah melakukan penghitungan berdasarkan ilmu falak untuk menentukan atau memperkirakan secara tepat masuknya awal bulan. Hisab adalah metode baru yang dikenal umat Islam, yang dipakai sebagai penguat dan petunjuk dalam melihat hilal.

Ru’yatul hilal ataupun Hisab sesungguhnya didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

صوموا لرؤ يته وافطروا لرؤ يته فاء ن حال بينكم وبينه سحاب فكملوا العد ة ثلا ثين .رواه أحمد

" Siyamlah kamu sekalian karena melihat hilal, dan berbukalah kamu sekalian karena  melihatnya pula. Maka jika terjadi antara kamu dan ia penghalang {awan}, sempurnakanlah hitunganya menjadi tiga puluh" {HR.Imam Ahmad}

Di antara sebab Perselisihan shalat ied di Indonesia seperti tahun ini, adalah perbedaan interpretasi terhadap hadits yang memerintahkan shoum dan berbuka setelah melihat bulan di atas. terutama perbedaan dalam memposisikan kedudukan hisab di sisi ru’yah. Sebagian kaum muslimin menganggap, bahwa hisab bisa menjadi metode yang mandiri dalam menentukan hilal. Hisab diyakini sebagai metode yang lebih akurat, tepat dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan janggal yang menyertai penentuan hilal, seperti pembuatan kalender nasional, kebingungan puasa arofah, dan penyatuan waktu shalat ied di berbagai daerah. Hisab adalah bagian dari ilmu exact yang punya rumus-rumus pasti dan bisa menelorkan keputusan pasti walau dibuat beberapa bulan atau beberapa tahun sebelumnya.

Bagi kelompok ini, ru’yatul hilal bisa di-tahrif maknanya, bukan semata melihat dengan mata kepala secara klasik, akan tetapi bisa dimaknai lain, yaitu melihat  dengan ilmu pengetahuan. Pengetahuan disini tentu saja adalah ilmu falak yang digunakan sebagai dasar melakukan hisab. Sedangkan dalam melakukan ru’yatul hilal, kelompok ini punya prinsip bahwa naiknya bulan dari ufuk yang telah mencapai 1derajat atau lebih, sudah cukup memenuhi syarat untuk di-ru’yah. Kondisi seperti itu bisa diyakini hilal telah wujud dan bisa dipastikan bulan baru telah masuk.  Sedangkan Mengenai matla’ (tempat terbitnya bulan),  apakah harus memegang wihdatul mathla’ (kesatuan tempat terbitnya bulan) ataukah ikhtilaful matholi’ (perbedaan tempat terbitnya bulan), maka kelompok ini cendrung  memilih wihdatul matla’. Atau sebagian kaum muslimin yang lain secara tegas memilih wihdatul mathla’. Oleh karena itu mereka ikut berbuka dan shalat ied pada hari selasa, karena mengetahui negeri Saudi Arabia dan sekitarnya juga sudah berbuka.

Sedangkan kelompok yang kedua, yang biasa menyempurnakan hitungan bulan sya’ban atau ramadhan menjadi 30 hari, yang dalam hal ini diprakarsai oleh Dewan Itsbat Kementrian Agama, memegang kuat hadits Rasulullah SAW. yang memerintahkan ru’yah, dan setia kepada seluruh prinsip lama dalam memahami hadits tersebut.

Pertama, ru’yatul hilal adalah metode utama yang dipakai dalam menentukan awal bulan. Penghitungan dengan dengan ilmu falak (hisab) tetap dilakukan, namun jika hasil hitungan tersebut tidak cocok dengan fakta ru’yah secara umum, maka hisab tersebut dinamakan dengan hisab qoth’I yang tidak memungkinkan untuk melihat bulan, dan apabila terjadi hisab qoth’I seperti ini, kemudian ada beberapa pihak yang mengaku menyaksikan bulan saat itu, maka kesaksian itu tertolak walaupun orang yang bersaksi tersebut orang yang adil. Prinsip inilah yang banyak tertulis dalam kitab-kitab fikih klasik yang hingga saat ini masih jadi pegangan Dewan Itsbat Kementrian Agama.

Kedua, mereka berpegang bahwa kata ru’yah adalah mashdar dari fi’il ra’ay yang artinya melihat. Kata ra’ay yang tidak hanya memiliki satu bentuk mashdar saja, mengkhususkan mashdar ru’yah hanya bisa dimaknai dua hal yaitu mimpi dan melihat dengan mata kepala. Konsederan hadits-hadits tentang ru’yah menunjukkan kata itu tidak bisa ditahrif dengan makna melihat memakai ilmu pengetahuan, tetapi yang benar memakai mata kepala. Oleh karena jika dikaitkan dengan melihat bulan, maka ru’yatul hilal disini hanya bisa dimaknai dengan melihat secara langsung dengan mata, bukan ilmu pengetahuan sebagaimana faham kelompok yang pertama. Kemudian dalam mensikapi naiknya bulan dari ufuk, kelompok kedua ini berprinsip bahwa bulan bisa diru’yah jika naiknya sudah mencapai 2 derajat. Karena naiknya bulan yang belum mencapai 2 derajat tersebut walaupun bisa diyakini wujudnya tetapi belum bisa dilihat fisiknya.

Ketiga, Dewan Itsbat Kementrian Agama bersikukuh bahwa ikhtilaful matholi’ adalah lebih realistis untuk dipegang, dan itu sesuai dengan pendapat para ulama’. An-Nawawi dalam "Al-Majmu' " mengatakan :

“ bahwa sudah masyhur dalam madzhab Syafi'i, apabila hilal telah terlihat di suatu negeri, sedangkan ia tidak terlihat di negeri yang lain, maka kalau dua negeri tersebut berdekatan, hukumnya sama dengan satu negeri. Dan penduduk negeri tersebut diwajibkan untuk melaksanakan shoum. Tetapi kalau dua negeri tersebut berjauhan, maka ada dua pendapat, dan pendapat yang paling shahih adalah yang mengatakan bahwa shoum tidak wajib atas penduduk negeri yang lain. “ [1]

Imam Qurthubi juga mengatakan: “ Dalam madzab Maliki ditegaskan, apabila suatu negeri saling berjauhan seperti jauhnya Syam dan Hijaz, maka wajib atas setiap penduduk dari masing-masing negeri untuk melaksanakan ru'yah di negerinya tanpa menggunakan ru'yah negeri yang lain, walaupun telah menjadi keputusan khalifah selama khalifah tidak mewajibkanya. Dan apabila ia mewajibkanya, maka tidak diperbolehkan untuk menyelisihi perintahnya.” [2]

Wihdatul mathla’, di mana umat islam telah tersebar ke seluruh dunia ini menjadi sulit dipegang, tidak seperti ketika umat Islam perkembangannya masih berkutat di Timur Tengah. Kendatipun demikian pada saat Islam belum tersebar ke seluruh dunia para ulama’ pun banyak yang sudah memegang prinsip ikhtilaful matholi’. Berbicara mathla’ berarti berbicara tentang perputaran bumi dan bulan. Siang hari di Mekkah pada saat yang sama bisa jadi malam hari di belahan bumi yang lain. Jam 8 pagi di Mekkah bisa jadi jam 1 malam di London. Oleh karena itu kalau semua harus sama dengan Mekkah sangat tidak realistis. Termasuk pula puasa Arafah harus dilaksanakan pada saat jama’ah haji sedang wukuf di Arafah oleh seluruh kaum muslimin sedunia itu juga sulit dilaksanakan.

Sebagian orang dengan mudah mengatakan bahwa tanggal satu Syawal yang benar pada tahun ini adalah hari Selasa, karena pada malam Rabu kemarin bulan sudah tinggi. Ucapan  seperti ini menurut kelompok yang kedua adalah ucapan yang tidak memakai ilmu walaupun misalnya benar. Posisi bulan itu mau setinggi berapa pun pada malam Rabu itu tidak ada kaitannya dengan ru’yah pada malam selasa. Bahkan walaupun pada malam selasa itu sebenarnya bulan sudah naik tinggi, akan tetapi jika tidak kelihatan karena terhalang, maka sesuai dengan hadits tentang ru’yah di atas, shoum bisa digenapkan 30 hari.

Inilah perbedaan yang terjadi di kalangan umat  Islam di Indonesia mengenai penentuan shalat hari raya atau tanggal 1 bulan syawal. Masing-masing bersikukuh dengan kebenaran yang diyakininya, dan beramal sesuai dengan keyakinan tersebut.

Namun realitas di tataran bawah, persoalannya tidak sesederhana itu. Perbedaan tersebut secara umum telah memunculkan kebingungan dan keresahan dikalangan masyarakat. Mereka selalu ragu (istilah jawanya mamang) siapa yang harus mereka ikuti serta pihak mana yang benar sehingga amal ibadah mereka juga benar. Apalagi di sebagian masyarakat, perbedaan itu telah memicu konflik dan perseteruan yang memprihatinkan. Perasaan bahwa dirinya sebagai pihak yang benar telah menyebabkan sikap saling menyalahkan satu sama lain. Suasana lebaran yang tidak serempak, yaitu sebagian sudah shalat tapi sebagian masih syiam, sebagian sudah bergembira memakai baju baru dan berangkat ke mushola tapi sebagian masih di rumah dalam keadaan berpuasa, sebagian masjid sudah berkumandang takbir tapi sebagiam masjid masih sunyi dan asyik dengan shalat tarawihnya, dan itu terjadi dalam satu daerah bahkan satu kampung, maka sungguh itu sebuah pemandangan yang lucu, aneh, dan hanya terjadi di abad ini dan di Negara Indonesia ini.

Oleh karena itu, semua pihak harus memikirkan persoalan ini. Jangan biarkan umat kebingungan dan dipaksa untuk ikut berdosa tenggelam dalam fanatisme dan sentiment kelompok. Idiom hari selasa ikut kelompok A dan hari Rabu ikut kelompok B atau hari selasa ikut kelompok A dan hari Rabu ikut pemerintah adalah tak pantas untuk terus didengungkan dan menjadi alat untuk saling membanggakan. Masing-masing pihak terutama para tokoh agama hendaklah bisa bersifat arif, bersikap dewasa dan mampu menjadi pengayom bagi semua pihak bukan hanya bagi kelompoknya. Mengapa kita tidak kembali kepada tradisi yang diwariskan oleh para pendahulu kita, para sahabat, para khalifah, dan para ulama, bagaimana tradisi mereka dalam membuat keputusan masuknya tanggal satu syawal. Tradisi yang mereka wariskan ternyata yang terbaik dan lebih bermaslahat bagi umat, termasuk tradisi mereka memberikan otoritas menentukan tanggal 1 Syawal kepada  penguasa adalah keputusan terbaik yang hingga hari ini masih diikuti oleh semua Negara-negara muslim sedunia kecuali Indonesia.

Hal yang terpenting adalah masing-masing pihak saling menghargai, menghormati, dan tidak mengecam orang lain apalagi memaksa keyakinan orang lain. Perbedaan tersebut hendaknya semakin mendewasakan umat, tidak justru membuat semua orang berpikiran sempit. Mengedepankan ilmu dan kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada egoisitas dan nafsu sesaat. Kemenangan sejati bukanlah karena popularitas kelompok dan banyaknya pengikut, tetapi kemenangan sejati itu karena konsistensi kita kepada ilmu serta sehatnya pemahaman Islam sebagai dasar utama untuk beramal.

Zul fahhmi





[1] Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz 6/274-275
[2] Tafsir Al Qurthubi, Juz 2/295-296

Followers